Ketika Rastaria “Berburu” Darah

Rastaria Tarigan hari ini bisa tersenyum. “Anak saya sudah dapat darah. Tuh, lihat, kulit Bertran sudah cerah meskipun hitam.” Dipeluknya erat sang anak bungsu, Bertranio, 18 tahun. Berdua mereka tertawa. “Nggak papa ya, Bang. Kan, hitam manis.” Kulit hitam cerah adalah pertanda Bertran sudah mendapat pasokan hemoglobin darah. 

Bertran adalah penyandang kelainan genetik thalassemia, kelainan genetik yang membuat tubuh tak bisa memproduksi hemoglobin —yang mengikat oksigen dan zat besi—dalam keping darah. Sekali dalam tiga pekan, Bertran harus menjalani transfusi darah di RS Fatmawati, Jakarta. Dua kantong darah tiap kali transfusi. Kalau telat, badan Bertran lemas tak bertenaga. “Sakit sekujur badannya,” kata perempuan setengah abad ini.

Situasi pandemi Covid-19, yang membuat banyak orang tinggal di rumah, membuat pencarian darah donor menjadi tantangan tersendiri. PMI dan Unit Transfusi Darah (UTD) RS Fatmawati juga “kekeringan” stok darah. Rastaria pun mengetuk hati kenalan dan sanak saudara.“Belanja di warung pun, saya pasti nanya ke orang-orang, apa ada yang bisa donor buat anak saya,” katanya. Tak dinyana, ada pengunjung warung yang bersedia. “Padahal, saya kagak kenal sama Ibu itu. Masya Allah, senangnya.” 

Esok hari, Rastaria dan Bertran berangkat ke UTD Fatmawati. Sayang seribu sayang, darah si ibu tak memenuhi syarat. Deg. Hati rasa mencelos. “Sedih. Tapi, saya yakin pasti ada jalan,” kata Rasta. Benar. Saat duduk termangu, seorang lelaki memasuki ruangan UTD, hendak donor darah. “Golongan O, Pak? Buat anak saya, ya, Pak. Boleh?” Hati Rasta berbunga saat lelaki itu mengangguk. “Saking senangnya, saya sampai jatuh waktu jalan mengurus berkas ke ruangan lain,” katanya. “Sampai enggak liat jalan, haha.”  

Bertran, anak keempat Rasta, didiagnosa thalassemia saat berusia 11 tahun. Kaget juga Rasta. Tak ada riwayat keluarga dengan sakit seperti ini. Mantan suami Rastaria memang masih terbilang keluarga dekat. “Kata dokter, kemungkinan hubungan keluarga ini yang memunculkan kelainan genetik,” kata Rasta. 

Tak hanya thalassemia. Bertran juga menyandang anemia aplastik, kombinasi yang kompleks, yang membuat tubuhnya tak sanggup memproduksi trombosit, sel pembeku darah. Sedikit saja terjadi pendarahan, maka darah akan terus mengalir. Saat kelas 2 SMP, Bertran mengalami pendarahan hebat. Aktivitas yang melelahkan, makanan yang terlalu banyak zat kimia, berisiko memicu pendarahan tak kunjung henti. Bertran pun kerap jadi sasaran olok-olok teman sekolah, yang bikin hati makin nelangsa. 

Dengan berat hati, Rastaria memutuskan Bertran berhenti sekolah. Di rumah, Bertran bisa lebih menjaga aktivitas, makan, dan juga kebersihan. “Saya juga berhenti dari kerjaan sebagai admin di koperasi,” katanya. Ibu empat anak ini memilih melayani pesanan makanan dan menjual kue. Mantan suami, yang pergi meninggalkan mereka sejak Bertran kecil, tak pernah memberi bantuan nafkah. Tak ada satu pun foto mantan suami di dalam rumah kecil di pinggir rel kereta, di Tanah Kusir, Jakarta Selatan ini. 

Sendirian, dengan berjualan kue, Rastaria, perempuan tangguh ini menghidupi empat anak. “Anak pertama jadi tenaga admin di rumah sakit, yang kedua perawat, yang ketiga nge-Grab, dan yang keempat si Bertan ini.” BPJS, juga bantuan Yayasan Thalassemia, banyak membantu biaya pengobatan Bertran. 

Menjaga kesehatan, kebersihan, adalah menu sehari-hari. “Jadi, bukan hanya pas wabah Covid19 ini. Kakak-kakaknya juga harus menjaga jangan sampai Bertran kena flu,” kata Rasta. Cuci tangan, jaga jarak kalau sedang tak enak badan, itu sudah biasa. Seprai, baju, semua dicuci tiap hari. Temulawak, kunyit, air perasan daun pepaya, adalah suplemen penambah stamina yang diminum tiap hari. 

Tak sedikit peristiwa menarik selama menemani Bertran transfusi. “Biasanya ada perubahan sifat yang terjadi selama seminggu setelah transfusi,” kata Rasta. Pernah Bertran jadi uring-uringan, pernah juga jadi super ramah, kali lain dia jadi suka musik yang belum pernah didengar, pernah pula dia mendadak alergi dan gatal. Apakah itu bawaan sifat pendonor darah? “Kami mana tahu, Kak. Yang penting Bertran sehat.”  

Bertran mengisi hari-hari dengan menemani sang mama, mengantar pesanan kue ke toko di sekitar rumah. Punya banyak teman? “Ada,” kata Bertran. Melalui telepon genggam, dia mengobrol dengan sesama kawan penyandang thalassemia di berbagai daerah. “Dulu banyak. Tapi, sekarang teman saya tinggal dikit, udah pada lewat.” Ada satu kawannya, sesama thalassemia, yang sudah berusia hampir 20 tahun dan kini sudah bekerja. “Dia itu teman yang jadi penyemangat,” kata Bertran.

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top