Rosario dan Merah Putih di Everest

Masih ingat kontroversi klaim Prabowo sebagai orang Indonesia pertama yang menaklukkan Everest? Nah, inilah sosok penakluk sebenarnya: Clara Sumarwati.

Suara Clara Sumarwati bergetar saat menunjukkan selembar kertas berlaminating. “Sertifikat ini mahal banget harganya. Tidak ternilai,” katanya. Lembar yang dirilis otoritas Nepal itulah yang meneguhkan bahwa benar Clara Sumarwati, warga Indonesia, telah menjejakkan kaki di Puncak Chomolungma, Gunung Everest, Himalaya, di ketinggian 8.848 meter dari permukaan laut (dpl), pada 26 September 1996.

“Saya sudah sampai di atap dunia,” katanya saat menerima penulis PuanIndonesia https://puanindonesia.com/tentang/, di rumahnya, di Minggiran, Yogyakarta. Tak banyak orang yang bisa berkata seperti itu. Clara, dia adalah pendaki ke-837 yang mencapai puncak Everest, sebuah capaian yang sungguh prestisius. Namanya disejajarkan dengan sedikit pendaki perempuan yang mencapai puncak Everest, antara lain Junko Tabei dan Wanda Rutkiewicz, pendaki perempuan yang menaklukkan Everest lewat jalur dinding selatan.

“Bangga, bahagia, haru, takjub, galau, sedih, jadi satu. Bisa memeluk Ibu bumi rasanya sungguh luar biasa,” kata Clara yang saat itu berusia 31 tahun. Sambil mengamati foto-foto usang, Clara mengisahkan ingat detik-detik saat dia mencapai puncak. Bersama tim sherpa, Clara berangkat dari kamp terakhir sebelum puncak, Camp V, 8.300 meter, mendaki pada pukul 1 dini hari. “Sherpa bilang, cuaca sedang bagus. Ayo, jalan.” Cuaca bagus, bagi pendaki Everest, adalah harta karun yang tak boleh dilewatkan.

Kaji Sherpa, pimpinan tim sherpa yang memandu Clara, sungguh pendaki handal. Kaji seperti dilahirkan untuk mendaki Everest, dia memegang rekor mendaki Everest hanya dalam 20 jam. “Seperti elang, kakinya bergerak lincah mencengkeram bongkahan salju,” kata Clara, yang harus mengimbangi Kaji Sherpa. “Kaji suka saya bisa mengimbangi langkahnya. Dia bilang, you really are my child.

Sepuluh jam berjalan mendaki dari Camp V. Pukul 11 pagi waktu setempat, 26 September 1996, 35 hari sejak pendakian hari pertama, Clara sampai di puncak Everest yang keramat. Chomolungma, 8.848 meter dari permukaan laut. Horee….!! Hawa dingin. Suhu minus 40-60 derajat. Angin kencang berhembus.

Diraihnya kamera analog dan perekam video dari ransel 60 liter yang dipanggulnya. Klik, klik. Aneh. Dua alat penting itu macet di saat yang paling dibutuhkan. Rupanya dua kamera yang dibelinya di Jerman itu tak tahan dingin. Clara kelabakan. Bingung. Suaranya bergetar. “Apa yang harus saya lakukan?” Dia menatap tim sherpa yang mengawalnya di perjalanan dengan taruhan nyawa ini.

Kaji Sherpa, yang paling senior di antara lima sherpa yang ikut ke puncak, menepuk punggung Clara. “Kan ada saya, Clara. Kamu tidak sendiri. Nanti kami semua yang akan menjadi saksimu. Jangan khawatir,” kata Clara menirukan ucapan Kaji. Sherpa lain meyakinkan Clara dengan tatapan menenangkan. Mereka berangkulan.

Sertifikat pembuktian Clara Sumarwati telah sampai di Puncak Chomolungma, Everest, 8.848 meter dpl

Perlahan Clara mengambil bendera dari ransel. Lima puluh kali doa salam Maria dia daraskan sambil memegang rosario. Dikibarkannya merah putih dengan dua tangan, sambil memegang majalah Time dengan gambar sampul Presiden Suharto. Indonesia Raya mengalun. Syahdu. Hikmat. Air mata menganak sungai di pipi. “Terima kasih, Tuhan, saya diberi karunia menginjakkan kaki di atap dunia yang ajaib ini.” Dua tahun penuh kerja keras dengan latihan super spartan, keringat dan darah, terbayar sudah.

Sepuluh menit Clara berada di puncak. Setiap detik teramat berharga. Clara menikmati butiran salju yang menerpa pipi. Angin yang terasa menembus empat lapis jaket khusus pendaki Himalaya. Dipandanginya sekeliling. Cahaya matahari membias warna putih, abu, biru. Berkilau-kilau tebing Himalaya. “Saya rekam semua dalam otak, saya ingin terus mengingat pemandangan megah ini.”

Kaji Sherpa mengajaknya turun. Tak boleh berlama-lama di satu lokasi. Pendaki harus terus bergerak, atau berisiko terkena serangan frostbite yang berbahaya. Badai salju pun segera datang. Kamera dan perekam video dimasukkan dalam jaket Kaji Sherpa, siapa tahu nanti bisa hangat dan berfungsi kembali. Beberapa ratus meter dari puncak, benar, kamera kembali berfungsi. “Saya foto-foto di situ.”

Butuh tiga jam turun dari Chomolungma. Proses turun ini juga tak kalah menantang dibanding ketika mendaki. Tebing tajam, jurang di kiri-kanan, bongkahan salju yang rapuh dan rawan longsor. Harus ekstra hati-hati dan sekaligus melangkah cepat. Jebakan maut ada di setiap jengkal yang dipijak. Hujan angin hebat melanda saat perjalanan turun. Kecepatan angin ketika itu dikabarkan 250 kilometer per jam. Tiga orang pendaki dari Korea Selatan meninggal diterpa hujan angin ini saat mendaki puncak. “Tak bisa saya bayangkan jika hujan angin terjadi saat kami naik.”

Sampai di kamp induk, tubuh Clara gemeretak lumpuh. Batuk, muntah, tak berhenti. Seluruh sel serasa seperti berontak. “Cuapek banget. Saya masih ingat rasanya kaki saya waktu itu. Ngilu, linu, njarem, byuh….” Tidur semalam, juga ramuan khas Tibet, menyembuhkannya.

Foto Clara Sumarwati di Everest

Clara punya waktu cukup untuk beristirahat. Dia masih harus tinggal di Nepal sampai sisa dana sponsor, dari Panitia Peringatan HUT RI ke-50 Sekretariat Negara, benar-benar diterima. “Tim sherpa belum dibayar penuh soalnya, hehe.”

Pada 9 Oktober 1996, Menteri Olah Raga dan Kebudayaan Nepal Bal Bahadur KC menganugerahkan penghargaan pada Clara. Menteri Bahadur mengucapkan selamat kepada Clara dan menekankan perlunya mendirikan sekolah khusus pendaki gunung di Nepal.

Berendam di Sungai, Melompat di Tebing

Perjuangan menuju puncak bukanlah sekadar slogan bagi Clara. Dia benar-benar bekerja keras mewujudkan mimpi memeluk Dewi Bumi Chamolungma. “Kerja keras dan restu alam semesta yang membuat saya bisa mencapai puncak Everest,” kata Clara.

Clara kecil tumbuh mencintai alam. Kesukaannya berjalan menikmati alam di. Tapi, selama sekolah dan kuliah, dia tak pernah bergabung dengan organisasi pecinta alam. Baru setelah lulus, bekerja sebagai sekretaris direksi di Salim Group, Clara leluasa menyalurkan kecintaannya pada alam. Dia bahkan meninggalkan pekerjaannya untuk total menjalani cinta pada mendaki gunung.

Dia bergabung dengan Yayasan Putri Patria, organisasi pecinta alam khusus untuk putri. Saat itu ada seleksi tim yang akan naik ke puncak Annapurna, Himalaya. Luar biasa ketat seleksinya dan Clara lolos. Tim pendaki putri ini mengibarkan prestasi. Mereka mendaki Annapurna, pada 1990, tapi Clara tak berhasil mencapai puncak lantaran kehabisan oksigen. Tiga tahun kemudian, 1993, Clara dan Tim Putri Patria menaklukkan Aconcagua, Argentina. Clara semakin percaya diri, bisa meraih pucak dunia: Everest.

Pada 1994, Clara bergabung dengan Persatuan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD) dan Putri Resimen Mahasiswa Jayakarta. Tim ini merencanakan ekspedisi menuju Everest. Segala persiapan sudah dilakukan, fisik, mental, dan juga peralatan. Sayang, ekspedisi ini terhenti di Camp V di ketinggian 8.300 meter. “Tinggal 584 meter lagi. Kalau nurutin ego, mau nekad aja, tapi keselamatan lebih utama,” kata Clara.

Clara terus memupuk mimpi. Pada 1995, dia mengajukan proposal kepada Panitia Peringatan HUT RI ke-50, Moerdiono. Proposal Clara diterima, dengan dana Rp 500 juta. “Ini tergolong murah. Kalau sekarang, udah berapa miliar dana dibutuhkan.”

Tim sudah siap berangkat, tapi pemerintah Nepal menganjurkan untuk menunda dulu. Badai dashsyat datang tahun itu. Badai yang menelan 208 nyawa pendaki. Clara harus bersabar dulu.

Sembari menunggu, Clara berlatih keras. Panjat tebing, panjat dinding vertikal, berendam subuh di Sungai Suryakencana – Gunung Gede, mendaki Gunung Jaya Wijaya, lari, dijalani dengan disiplin ketat. Latihan rapling, teknik naik-turun seperti monyet, dilakukan di celah-celah Tebing Singgalang, Padalarang. Yang paling berat adalah mengasah teknik jumaring, berjalan tegak lurus di tebing dengan kemiringan 90 derajat. Clara juga berlatih mental, mengasah ketahanan menghadapi situasi jenuh, karena tak ada apa pun yang ditemui di labirin salju Everest.

Clara sangat berdisiplin berlatih, terutama karena dia bertekad melakukan solo climbing. Mendaki sendirian dan hanya ditemani tim sherpa. Belakangan, ada Gibang Basuki, dari Kopassus, yang minta izin bergabung. “Saya iyakan,” kata Clara. Belakangan, Gibang Basuki berhenti di kamp di ketinggian 7.000 meter, dan tidak melanjutkan pendakian. Walhasil, terlaksana juga keinginan Clara untuk ber-solo climbing.

8 Juli 1996, dimulailah petualangan bersejarah. Clara dan Basuki terbang dulu ke Frankfurt, Jerman, yang adalah ‘Mekkah” bagi peralatan pendakian. Berlapis-lapis baju khusus harus yang benar-benar tak punya celah, agar salju tak bisa masuk. Baju yang basah berisiko mendatangkan serangan frostbite, yang membikin badan beku dan harus diamputasi. Kantung tidur, ransel, peralatan komunikasi, harus prima. “Yang saya sesalkan adalah kamera. Ternyata kamera yang saya beli di Frankfurt tidak tahan cuaca dingin membeku,” kata Clara.

Usai belanja peralatan, segera mereka terbang ke Kathmandu, Nepal. “Kami menjemput sherpa. Juga mengurus perizinan,” kata Clara. Izin mendaki cukup mahal, US$ 70 ribu. “Karena saya perempuan, ada diskon jadi cuma US$ 10 ribu.” Perlakuan khusus ini memang untuk mendorong lebih banyak pendaki perempuan di Everest. Sambil mengurus perizinan, Clara melakukan aklimatisasi. Latihan dan penyesuaian diri.

Pada 26 Agustus 1996, hari besar itu datang. Izin sudah di kantong, tim sherpa lengkap, Clara dan Basuki naik ke Base Camp di ketinggian 5.500 meter dpl. Pendakian dimulai. Tahap demi tahap. Ada tujuh pos yang akan dilalui dalam 107 hari, ini termasuk proses membuat rute baru yang juga cukup rumit. Kenyataannya, Clara menempuh dalam 35 hari.

Setiap kali musim pendakian selesai, rute harus diperbarui. Tali-tali dicek, batu-batu yang dipijak tak boleh guyah, tiang pancang untuk menancapkan tali tak boleh ada yang rapuh. “Kami bikin rute baru di dinding selatan, south col,” kata Clara. “Sebetulnya bisa saja kami manfaatkan rute yang sudah eksis, tapi kan kurang menantang, hehe.” Pendaki lain yang menggunakan rute yang eksis, harus minta izin kepada si pembuat rute. “Itu sebabnya, nama saya beredar di kalangan pendaki karena mereka harus minta izin kepada saya dan Pak Basuki.”

Selagi para sherpa menyiapkan rute pendakian, Clara terus berlatih, naik-turun tebing salju di berbagai ketinggian dan kemiringan. Rupanya latihan tanpa berhenti inilah yang membuat Clara liat dan tahan banting. “Yang paling susah di Camp III. Oksigen di sini sangat tipis sehingga banyak yang menderita hipoksia,” katanya. Perjalanan tak hanya menuntut kekuatan fisik, tapi juga ketahanan mental, hingga akhirnya Clara benar-benar sampai ke Puncak Chomolungma.


Menuai Kontroversi

Clara tahu bahwa perjuangan belum usai. Setelah puncak Chomolungma. Ada pertarungan lain yang tak kalah berat dan membuatnya hampir kalah. Kontroversi menanti. “Begitulah sifat petualangan. Saya maklumi saja,” kata perempuan yang kini berusia 54 tahun ini. Ketiadaan dokumentasi foto dan video saat dia benar-benar ada di puncak Chamolungma menjadi pemicu kontroversi.

Benar saja. Thomas Kokta, seorang pendaki Jerman yang bergabung dengan tim pendaki Amerika, menyangsikan kebenaran Clara mencapai puncak. Menurut Kokta, seperti dikutip dalam buku “Indonesia Menjejak Everest”, dia bertemu Clara pada ketinggian 7.000 meter dpl pada 25 September 1996. Sepengetahuannya, kondisi fisik Clara kurang sehat dan juga tak mungkin mencapai puncak. Apakah mungkin sehari kemudian, 26 September, Clara sudah sampai di puncak Chomolungma? Berita inilah yang kemudian memicu kontroversi berkepanjangan.

Menurut catatan log pendakian Clara, pada 23 September dia sudah berada di ketinggian 7.900 meter. Lalu, pada 25 September, Clara sudah mendaki di ketinggian 8.300 meter dpl. Tinggal 548 meter lagi menuju puncak Everest. Catatan log ini membuktikan bahwa Clara tidak berada di ketinggian 7.000 meter, pada 25 September, seperti yang diklaim Thomas Kokta.

Rincian catatan pendakian ini direkam Himalayan Database, sebagai bukti sejarah dan juga untuk kepentingan pemantauan keselamatan pendaki. Nama Clara sebagai pendaki ke-837 dari 9.159 pendaki yang ketika itu berhasil mencapai puncak Everest juga disebut dalam tulisan jurnalis ternama Elizabeth Hawley, dalam laman American Alpine Journal, 1997.

Penelusuran catatan log Thomas Kokta, pada sisi lain, menunjukkan hal yang menarik. Kokta, yang tergabung dalam ekspedisi yang diketuai Craig Calonica, tidak pernah menginjakkan kaki di advance base camp. Tim ekspedisi ini pun sudah meninggalkan Everest pada 23 September 1996. Jadi, Kokta bahkan tak berada di lokasi yang dia sebut pada 25 September itu. Furqon Himawan, dalam buku “Indonesia Menjejak Everest”, mencoba menghubungi Thomas Kokta untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Kokta menyebut bahwa dia tak pernah diwawancara jurnalis Indonesia dan membantah pernah meragukan pencapaian Clara.

Pernyataan Kokta, boleh jadi adalah efek mountain sickness atau sakit gunung, yang banyak mendera di ketinggian dengan oksigen sangat tipis. Tapi, keraguan tanpa dasar Kokta ini menjadi ‘peluru’ bagi pihak-pihak yang sedari awal ingin meruntuhkan catatan Clara. “Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun kemudian, orang masih meragukan saya,” kata Clara.

Puncaknya, di tengah suasana pemilihan presiden 2019, Mardani Ali Sera dari PKS menyatakan bahwa Prabowo adalah orang Indonesia pertama yang menaklukkan puncak Everest, pada April 1997 https://news.detik.com/berita/d-4252112/mardani-jelaskan-soal-prabowo-dan-kopassus-taklukkan-everest.

Pernyataan Mardani yang disampaikan pada acara Mata Najwa ini dikomplain banyak pihak karena dua alasan. Pertama, yang mendaki puncak Everest pada April 1997 bukan Prabowo, melainkan Tim Kopassus beranggota 23 orang yang dipimpin Asmujiono. Kedua, sebelum Tim Kopassus beraksi, ada Clara Sumarwati, perempuan asli Yogya, yang pada 1996 menaklukkan puncak Everest. Namun, sampai kini agaknya Kopassus belum mengakui pendakian Clara, yang terbukti dari tak adanya nama Clara dalam buku ekspedisi Everest yang diterbitkan Kopassus https://seleb.tempo.co/read/1254055/tak-ada-clara-sumarwati-di-buku-ekspedisi-everest-kopassus/full&view=ok.

Clara mengakui, ketika kontroversi tentang pencapaiannya sedang panas, dia justru menarik diri. Dia tak mau memenuhi undangan diskusi dan presentasi, termasuk undangan dari Asmujiono. Akibatnya, kontroversi berkembang liar. “Tapi, saya punya alasan kuat kenapa tidak mau datang,” katanya.

Sarjana psikologi lulusan Universitas Katholik Atma Jaya, Jakarta, ini menarik napas panjang sebelum mengisahkan alasannya. Tak lama setelah kembali ke Indonesia, di tengah kegembiraan yang meluap, dia bertemu seorang anggota TNI yang selama ini sangat mendukung pendakian. “Sertifikat saya diambil, dirobek-robek dia,” kata Clara. Kaget tentu saja. Clara tak tahu apa maksudnya. Robekan kertas itu disatukan lagi, dilem, dan kemudian dilaminating. “Ini bukti robekan itu, Mbak.” Clara juga menyurati pihak Nepal, meminta dikirim sertifikat salinan.

Teror datang lagi. Suatu ketika, saat bersepeda motor di jalanan Yogyakarta, Clara ditusuk pisau. Orang yang menusuk langsung memacu sepeda motornya dengan kecepaan tinggi. Beruntung, ada tas pinggang yang melilit perut Clara saat itu. “Saya aman.” Sorenya, di rumah kosnya, ada orang datang menggedor pintu. Dia langsung menodongkan pistol ke muka Clara. “Rasanya lemes, Mbak. Itu moncong pistol nempel di pipiku.”

Berbagai kejadian ini membuat Clara yakin, ada orang yang tak rela dirinya disebut sebagai orang Indonesia pertama yang mencapai puncak Everest. Idris Gassing, salah satu pelatihnya dari Kopassus, juga menyarankan agar Clara tidak menanggapi kontroversi yang beredar. “Ada orang kuat yang nggak mau nama Clara muncul sebagai yang pertama menaklukkan Everest. Nggak ada gunanya dilawan,” kata Clara menirukan kata Idris Gassing, yang kini sudah almarhum.

Clara menuruti nasehat itu. Dia memilih diam. “Ning, sakjane aku sedih, Mbak. Rumongso disio-sio. Sebenarnya aku sedih, Mbak. Merasa disia-siakan,” kata Clara. “Sebagai orang Jawa, aku pilih ngalah dan ngaleh, menyingkir.”

Menghadapi kesedihan, bagi Clara, rupanya lebih berat dari mendaki medan salju Everest. Dia tak tahan menghadapi komentar nyinyir dan sinis. Tak sedikit kawan yang turut meragukannya, menyebutnya gila, dan berbicara tak masuk akal. Depresi melanda. “Saya sering merasa dikejar, dicekik. Sering terbangun, nggak bisa tidur,” katanya. Beberapa kali Clara pun dirawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. Soeroyo, Magelang. “Saya merasa sendirian.”

Barulah setelah reformasi, setelah kejatuhan Suharto, situasi lebih nyaman bagi Clara. Dia bergabung dengan SAR, diundang ke kampus-kampus, bertemu berbagai organisasi pecinta alam. “Saya melatih teknik-teknik naik gunung. Sedih lihat anak-anak muda naik gunung tanpa persiapan. Akibatnya, nyawa melayang,” kataya. “Sayang, kan.”

Clara juga masih rajin berlatih. Lari, renang, panjat tebing, jumaring, juga tak berhenti. “Tahun depan saya diundang pemerintah Nepal mendaki Everest, menjadi bagian dari tim yang mengevakuasi jenazah pendaki yang terjebak di salju,” katanya. Para pendaki Everest, menurut Clara, adalah peziarah bumi yang sungguh rela bertaruh nyawa, yang diikat persaudaraan kuat, mereka layak mendapat penghormatan dari sesama pendaki yang sudah bertemu Dewi Bumi.

(Mardiyah Chamim)

#PuanIndonesia #PuanYogya #Everest #PendakiGunung #WomenMounteiner

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top