SETIAP MINGGU KETIGA, setelah pria bermotor merah datang, ibuku akan duduk di kursi retak, ia mencabuti rambut sambil menjerit dan memukul dadanya. Aku memeluk kaki ibu hingga ia tenang, lalu mengambilkannya segelas air. Saat mereda, ia akan memberi isyarat jika aku sudah boleh meninggalkannya.
Tatapan nanar ibu kala itu, selamanya tak pernah kulupakan.
Bertahun-tahun, aku membenci pria bermotor itu, Pak Pareng, rentenir desa. Kupikir ia penyebab kematian ibu, padahal ia membantu kami saat panen gagal. Ayahku sering pergi lama, ia bekerja sebagai blantik (penjual sapi) yang membuatnya sering ke daerah yang jauh.
Dengan kondisi yang simpang siur itu, ibuku menolak pinjaman tetangga karena mengindari gosip. Kupikir stres membunuh ibu, padahal ia digerogoti diabetes yang diperparah dengan kenyataan kami tak mengenali perawatan kesehatan memadai.
Teringat, saat anak-anaknya tak ada, sempat ibu menulis surat, yang hingga kini menjadi harta paling berharga bagiku. Ia mengingatkan kami untuk senantiasa melakukan yang terbaik, lantas menutup suratnya dengan:
“Ibu punya cita-cita agar anak-anakku kelak bisa berbeda dari yang lain karena kita sudah merasakan bagaimana sakitnya waktu itu, ya kan?”
Meski berkubang perih, ibu tak pernah menyebutkan sakitnya.
Setelah ibu meninggal, butuh waktu lama bagiku untuk menerima kenyataan, terutama karena ia menyembunyikan rasa sakitnya itu. Aku menyimpan dendam pada Pak Pareng karena tak bisa menerima kenyataan bahwa ibu pergi begitu cepat, tanpa kesempatan mengucapkan selamat tinggal. Rasanya seseorang harus bertanggung jawab, terutama karena aku belum memenuhi janjiku pada ibu—untuk menjadi berbeda, seperti yang ia impikan.
Demikian sekelumit kenangan Riyani yang termakhtub dalam salah satu kisah di buku The Colours of Mothers yang digarapnya. Ia mendedikasikan banyak langkah serta upayanya sebagai seorang perempuan dari desa dengan segudang harapan, untuk sang ibunda: Sri Dahuni.
Dahuni Foundation, Sebuah Monumen Pengabdian
Riyani Indriyati menghabiskan masa kanak hingga jelang remaja di sebuah desa kecil di Boyolali. Bungsu dari enam bersaudara ini menjadi anak yang paling lama tinggal bersama ibunya yang berlatar pengajar. Tak ayal, hal itu juga yang membentuk keteguhannya sebagai pembelajar yang tekun.
“Karena tidak ada listrik, seringnya aku belajar dalam cahaya redup lampu minyak tanah, dan sebelum ke sekolah, saya membersihkan hidung yang hitam karena asap,” kenang perempuan yang kini bermukim di Porto, Portugal ini.
Nostalgia tentang ibu menjadi pergumulan yang getir sekaligus menguatkan. Riyani mengingat betul bagaimana ibunya bersikeras menganjurkannya berpuasa saat ujian, sebab ia percaya pada kekuatan prihatin. Di waktu lain, ibunya turut menemaninya belajar sembari menjahit atau membaca primbon Jawa.
“Bahkan, saat hujan deras, ibuku menunggu di pinggir jalan dengan daun pisang sebagai payung, karena tahu anaknya harus melewati tiga sungai yang airnya mencapai lutut,” ungkap Riyani sambil tersenyum mengingat serangkaian peristiwa.
Pengabdian ibunya itupun mulai terbayar ketika suatu sore, Riyani melihat perempuan yang melahirkannya itu tertatih-tatih di bawah terik matahari dengan tumpukan jerami di punggungnya. Pemandangan itu membuatnya bertekad untuk berprestasi di sekolah.
Sebegitu berharga sosok ibu di hidup Riyani. Dialah yang memantapkan hati sang putri untuk mendedikasikan diri di dunia pendidikan, hingga akhirnya membangun Dahuni Foundation sebagai wujud meluaskan pengabdian pada apa yang dicita-citakan ibundanya.
“Tak semua orang berprivilege untuk punya ibu, terlepas apakah mereka kaya atau miskin. Aku dari keluarga yang tidak mampu, namun masih merasa beruntung because I was born and raised by an amazing woman.”
Bermula dari Pertemuan di Perusahaan
Jalan panjang Riyani bermula dari sebuah pertemuan di perusahaan tempatnya bekerja selepas lulus kuliah. Ia memercik office romance dengan salah seorang rekannya yang beda divisi. Tak disangka, hubungan mereka berlabuh di pelaminan.
Riyani pun diboyong sang suami ke Negeri Paman Sam. Sementara teman hidupnya itu lanjut bekerja di perusahaan yang telah diakuisisi Chevron, Riyani memilih untuk meneruskan studi di dua tempat berturut-turut.
Ia menyandang dua gelar master; Public Relations di University of Houston dan Applied Linguistic dari Texas A&M University. Ia mulanya sempat sangsi dengan ilmu linguistik yang dipelajarinya sendiri. Namun, seiring waktu berlalu, itu menghantarkannya ke industri media.
“Kalau dipikir-pikir, aku dulu juga tidak tahu belajar linguistik untuk apa. Output-nya baru terlihat di 6-7 tahun belakangan, sejak aku mulai aktif menulis di Jakarta Post. Setelah itu, aku juga diminta jadi editor-in-chief untuk majalah online Eropa, Plaudit.”
Tak kalah penting, ilmu linguistik itu turut menghantarkan Riyani tenggelam ke dunia pendidikan. Ia mengajarkan anak-anak Indonesia tentang penulisan esai, melalui yayasan Dahuni Foundation.
Dan, sang suami, seribu persen mendukung Riyani.
Menjadi Ibu, Menjadi Relawan Kehidupan
Menengok ke belakang, kelahiran Dahuni Foundation sendiri adalah berangkat dari sebuah kegelisahan. Setelah pulang dari Amerika, ia dan keluarganya pindah ke Belanda. Idealnya, dengan sertifikat dan gelar Public Relation yang telah digenggamnya, Riyani berharap bisa langsung melanjutkan karier di sana.
Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Di Belanda, terutama dalam bidang Public Relation yang menjadi latar belakang pendidikan Riyani, kefasihan dalam berbahasa Belanda menjadi syarat mutlak untuk masuk ke dunia korporat.
Sedangkan kala itu, kemampuan bahasa Belanda Riyani masih setara tingkat SMA, belum mencapai tingkat lanjut seperti C1 atau C2. Keputusan untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 lagi tampaknya juga tidak realistis baginya.
Dengan perasaan bingung, Riyani mulai mencari jalan keluar lain hingga akhirnya menemukan informasi tentang peluang menjadi sukarelawan di Asia. Setelah menimbang-nimbang, ia pun memutuskan untuk mendaftar ke salah satu organisasi tersebut.
Penugasan pertamanya adalah mengajar bahasa Inggris di Semarang, salah satunya di sebuah pondok pesantren. Di sinilah, Riyani seolah melihat sosoknya di masa kecil dalam diri anak-anak tersebut; mereka berasal dari latar belakang yang tidak mampu, tapi punya keinginan kuat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dalam hidupnya.
Dari pengalaman tersebut, muncul ide untuk mendirikan Dahuni Foundation atas nama ibunya. Yayasan ini menyediakan beasiswa dan mentorship untuk anak muda yang ingin melanjutkan studi, baik di dalam maupun luar negeri. Sebagai anak seorang guru dan meskipun berada dalam keadaan kurang mampu, keyakinan sang ibunda membuatnya percaya bahwa pendidikan harus tersedia untuk semua, terutama untuk perempuan di desa-desa kecil.
“Ibu meyakini bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara untuk keluar dari kemiskinan. Dan itu benar!” tegas Riyani.
Melewati perjuangan demi perjuangan yang membawanya di titik sekarang, Riyani pun mengabadikan energinya yang bermula dari sosok ibunya tersebut ke dalam sebuah buku bertajuk The Colours of Mothers. Bersama dengan kawan-kawannya dari berbagai negara, ia menghimpun fragmen tentang dedikasi sosok ibu dalam berbagai warna dan peranan yang tak mudah.
“Menjadi ibu yang baik itu bukan cuma dengan satu cara. Di buku ini, aku ingin menangkap berbagai cerita, dari yang paling gelap hingga yang paling terang, tentang peran seorang ibu,” pungkasnya seraya menunjukkan sebuah buku bersampul cerah.***
***Deasy Tirayoh/Nurisma Rahmatika