Direktur Perkumpulan ANGGANA yang juga menjadi Kepala Perpustakaan EAN dan relawan pendamping buruh gendong di Yasanti, Yogyakarta. Ia menjadi Pembina Yayasan Harmoni Women Crisis Center Jombang, Pengawas Perkumpulan Sanggar Anak Alam, serta Pengurus Nasional Koalisi Perempuan Indonesia Kelompok Kepentingan Buruh Migran pada 2014-2019 dan Yayasan Annisa Swasti.
PONIRAH seolah-olah tak terhentikan. Perempuan 46 tahun ini begitu bersemangat berkisah. Pandemi Covid-19 memang menghantam kehidupan perempuan 46 tahun tersebut dengan keras. Terutama setelah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengumumkan penutupan sekolah dan penetapan status darurat bencana pada 19 dan 20 Maret 2020. Masyarakat pun diimbau tidak bepergian bila tak mendesak.
“Kalau tidak boleh ke pasar, kami harus makan apa?” ujar buruh gendong di Pasar Beringharjo ini. “Meskipun hati kecil saya menangis karena takut corona, saya harus tetap bekerja. Siapa tahu di pasar ada rezeki untuk saya.”
Perih hati saya mendengar kisah yang dia ceritakan sambil bergurau itu. Siang itu, pada suatu hari di akhir Maret, Ponirah dan beberapa buruh gendong tengah duduk-duduk santai di sentong “endong-endong” di lantai 2 Pasar Beringharjo, yang hanya sepelemparan batu dari Gedung Agung dan beberapa ratus meter dari Keraton Yogyakarta serta kantor DPRD dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka saling cerita derita, tapi tetap dengan tawa meski kecut.
Tak lama setelah seruan dari pemerintah tersebut, Ponirah melanjutkan cerita, hampir seminggu ia tidak mendapatkan pemasukan. Pernah ia hanya mengantongi Rp 2.500 sepanjang sehari. Padahal ongkos jalan pulang-pergi dari rumahnya di Desa Salamrejo, Sentolo, Kulonprogo, ke Beringharjo Rp 14 ribu. Tabungan pun menipis hanya untuk transportasi. Setiap hari, ia mesti menyiapkan Rp 20 ribu untuk jalan dan ongkos menggunakan kamar mandi di pasar. Bekal makan siang ia bawa dari rumah.
Kondisi lebih runyam karena kemudian suaminya tidak bekerja lagi. Bus Kopata, yang biasa dia sopiri, tak lagi beroperasi. Padahal tiga anaknya masih memerlukan hasil keringat mereka. Anak bungsu Ponirah masih sekolah di SMK. Adapun anak sulungnya sudah menikah dan memiliki satu anak, tetapi masih tinggal bersamanya. “Semua kumpul di rumah. Kebutuhan sehari bisa sampai Rp 50 ribu,” ujarnya. Sebelum pandemi, ia biasa mendapatkan Rp 50 ribu sehari, bahkan kadang Rp 100 ribu.
Cerita Bu Tumilah tak kalah pilunya. Ia juga sempat beberapa hari tidak mendapatkan uang. Seperti Ponirah, ia juga pernah mendapatkan Rp 2.500 rupiah meski telah “nongkrong” seharian.
“Sehari setelah pengumuman corona, kami hanya bertiga di tempat saya biasa ngepos di lantai 3 Beringharjo. Pasar sepi. Tidak ada orang ke pasar. Gendongan juga ikut sepi. Kami tiduran di lantai. Rasanya kayak pasar judeg (pusing),” katanya. “Antara takut, sedih, dan menangis dalam hati.”
Bu Rubiyah, 68 tahun, mengalami hal sama. Untungnya, ia membayar kamar kosnya tahunan, Rp 3 juta, dan ia berbagi dengan empat temannya. “Jadi tiap bulan bayar Rp 50 ribu, tambah bayar listrik, air, dan jimpitan (iuran) Rp 35 ribu per bulan,” katanya. Untuk transpor, ia harus merogoh Rp 14 ribu untuk ongkos becak pulang-pergi dari kosnya di Kampung Ledok Ratmakan ke Pasar Beringharjo.
Bu Rubiyah, Tumilah, dan Ponirah hanya sebagian kecil dari para buruh gendong yang menderita akibat pandemi Covid-19. Di Pasar Beringharjo, yang berada di Jalan Malioboro, ini terdapat sekitar 250 buruh gendong yang mengadu nasib, dan semuanya merasakan dampak luar biasa dari pandemi.
Keadaan tak lebih baik juga dialami buruh gendong di Pasar Induk Giwangan, Yogyakarta. Buruh gendong yang berasal dari Purworejo, Bu Ratmi, bercerita bahwa dia sempat tidak bekerja selama sebulan. “Kampung saya lockdown. Suami saya, yang biasa jualan bakso keliling, tidak bisa jualan,” kata perempuan 46 tahun ini.
Ia sendiri juga tidak bisa bekerja. Kampung tempat dia kos pun ditutup. “Rasanya sedih. Mau menangis tapi malu dan takut membuat sedih anak-anak,” ucapnya.
Bu Ratmi mesti membiayai dua anaknya yang masih kuliah. Anak nomor dua berkuliah di Universitas Negeri Semarang, sedangkan yang nomor tiga di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Untungnya, sebelum pandemi memburuk, ia mendapat arisan yang cukup untuk biaya hidup sementara.
Seperti Ponirah, ia juga pernah mendapatkan Rp 2.500 rupiah meski telah “nongkrong” seharian.
Nadlroh as-Sariroh
Setelah sebulan, uang tersebut habis. Bu Ratmi pun nekat mulai bekerja kembali. Ia mengurus surat kesehatan dari puskesmas agar bisa masuk ke kosnya lagi. Namun rupanya keadaan belum membaik. Pasar sepi. Pendapatan pun mungil. Sehari ia hanya bisa mendapatkan paling banyak Rp 20 ribu. Padahal, saat pandemi belum menyerang, ia bisa mendapatkan setidaknya Rp 50 ribu. Uang tersebut ia dapatkan dengan menggendong sayur atau buah minimal 100 kilogram. Terkadang ia juga bisa mengantongi lebih dari Rp 100 ribu kalau gendongannya banyak.
“Dengan uang itu, saya bisa menyekolahkan anak-anak sampai perguruan tinggi,” katanya. “Harapan saya, semoga corona segera berlalu dan pasar menjadi ramai lagi.”
Profesi buruh gendong sudah lama ada di Yogyakarta. Keberadaan mereka nyaris sudah setua usia pasar tradisional besar yang ada. Selain Beringharjo, mereka dulu ramai di pasar induk buah di shopping centre, tak jauh dari Beringharjo. Namun, begitu pasar dipindah ke Giwangan, sebagian dari mereka pun ikut pindah. Sebagian ada yang memilih pindah ke Pasar Gamping. Kini di Pasar Giwangan terdapat sebanyak 135 buruh gendong. Sedangkan di Pasar Buah Gamping ada sekitar 50 orang.
Rata-rata para buruh gendong bekerja dari pagi buta, sebelum matahari terbit, hingga matahari nyaris menghilang. Pekerjaan mereka cukup berat. Dalam sekali gendong, berat gendongan mereka rata-rata 50-100 kilogram. Itu pun tidak hanya sekali. Kadang seorang buruh gendong mengangkat barang dari parkiran ke pasar, atau sebaliknya, hingga 10 kali.
Ongkos menggendong barang seberat 50 kilogram dari lahan parkir ke pasar atau dari pasar ke tempat parkir ratarata Rp 5.000. Sedangkan untuk yang menggendong keliling, membawakan belanjaan pengunjung pasar, upahnya tidak pasti. Ada yang memberi Rp 2.000, tapi kadang ada pengunjung yang baik hati memberi Rp 20-30 ribu.
Namun pandemi telah merampas penghasilan mereka. Belakangan, sedikit demi sedikit, derita itu terangkat. Meski belum bisa pulih seperti dulu.
Hari belum terlalu siang, meskipun tidak lagi layak disebut pagi. Pada akhir Maret itu, sebagian kios di Pasar Beringharjo Yogyakarta masih tutup. Para buruh gendong berkumpul di sentong “endong-endong”. Mereka berdiskusi mencari solusi buat masalah dapur mereka.
Beberapa jenis bantuan memang mereka terima. Misalnya, nasi bungkus dari Solidaritas Pangan Yogya, tapi jumlahnya hanya 60 untuk Pasar Beringharjo dan 80 untuk Pasar Giwangan. Padahal jumlah buruh gendong ratusan. Ada juga pembagian masker dan hand sanitizer dari berbagai komunitas dan pribadi. Namun itu tak menyelesaikan masalah “dapur” mereka.
Saya, yang telah bertahun-tahun bekerja bersama mereka sesuai dengan amanah Yayasan Annisa Swasti, mencoba mencari cara untuk membantu, terutama untuk mereka yang lanjut usia, agar bisa mendapatkan bantuan bahan pangan. Tak lama, ada kabar dari Rahina, teman dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM yang berkeinginan membuka donasi bagi ibu-ibu buruh gendong lanjut usia. Gayung bersambut. Hanya dalam waktu tiga hari, terkumpul donasi untuk membuat bingkisan bahan pangan bagi 160 buruh gendong lansia di Pasar Beringharjo.
Ternyata sumbangan lain datang berturut-turut. Mirota Group, yang memiliki toko di seberang Pasar Beringharjo, juga membantu paket bahan pangan. Kepolisian Daerah Yogyakarta, WeCare, dan Dana Kemanusiaan Kompas pun mengirimkan bantuan kepada para buruh gendong di empat pasar, yakni Beringharjo, Giwangan, Gamping, dan Kranggan. Banyak juga individu yang turut membantu.
Namun sebagian buruh gendong tak hanya pasrah menunggu bantuan. Mereka berinisiatif membuka usaha baru, salah satunya Ponirah. “Dalam sepi saya melamun sambil memperhatikan beberapa orang yang masih belanja di Pasar Beringharjo. Kebanyakan mereka mencari wedang uwuh dan empon-empon,” ujar Ponirah.
Pandangan tersebut langsung membuka pintu idenya. Ia membuat wedang uwuh yang kemudian dia jual. Teman-teman Ponirah pun banyak yang mengikuti langkahnya. Di Pasar Beringharjo, ada 13 buruh gendong yang membuat dan menjual wedang uwuh. Mereka menitipkannya ke warung-warung empon-empon di pasar.
“Alhamdulillah, banyak yang pesan wedang uwuh. Bahkan ada yang dari luar kota ikut memesan wedang uwuh. Sampai sekarang, saya lanjutkan usaha wedang uwuh dan wedang secang sambil tetap gendong di pasar,” Ponirah menutup cerita.
Yogyakarta, September 2020