Yuli Mardona

lulusan Sekolah Tinggi Pertanian Muara Bungo, Jambi. Dia kembali ke desanya, Nagari Sumpur Kudus, yang jauh terkurung di gugus pegunungan Bukit Barisan, Sumatera Barat. ⠀

Bersama para petani di Sumpur Kudus, sudah tiga kali masa tanam padi ini Uni Yuli mengembangkan pertanian organik. “Uni tidak punya lahan sawah, cuma tanam sayur di halaman rumah,” kata Yuli. ⠀

Ketiadaan lahan sawah tidak membuat Yuli enggan berorganisasi. Dia bergabung sebagai sekretaris di Kelompok Tani Organik yg baru dibentuk 2017. Dia tak segan ikut rapat-rapat sampai jauh malam di desa. “Uni ikut sekolah lapang, belajar betul bagaimana bertani padi organik.” Sekolah lapang ini difasilitasi @kki_warsi. ⠀

Senangnya, sudah 3 kali masa tanam ini, panen padi organik di Sumpur Kudus benar-benar memuaskan. Ada kenaikan hasil panen petani, dari biasanya 4,3 ton menjadi 7 ton per hektare. “Lihat tanah sawah pun beda. Sawah organik tanahnya lebih hitam subur. Bumi seperti berterima kasih.” Berbeda halnya dengan sawah konvensional, yang warna tanahnya kekuningan kering sehabis panen. “Kayak habis diperkosa.” Di nagari ini, penduduk bersepakat untuk bertanam padi dua kali dalam setahun (di daerah lain bisa 3-4 kali). “Sudah tradisi nagari. Kami ingin bumi juga bisa ambil jeda. Istirahat.”

Pendapatan petani naik setelah bertani padi organik? ⠀

Rupanya bukan soal penghasilan yg dituju Yuli dan petani Sumpur Kudus. “Lebih untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.” Hasil panen akumulatif dihitung dulu, lalu ada pembagian per keluarga untuk kebutuhan semusim tanam. “Jangan sampai padi terbaik kami dijual keluar, tapi kami makan raskin yg buruk mutu atau mie instan, kan.” ⠀
Bagi Yuli Mardona, bertani organik lebih pada soal ketahanan pangan. “Supaya anak saya, Adzan, dan anak-anak petani lain tumbuh sehat. Petani pun tidak tergantung pada pupuk kimia.” Keren, Uni. ⠀

#PuanIndonesia
#PuanSumbar
#CeritaPerempuan
#WomenStory

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top