Menjadi Indonesia Bagi Chandra Prijosusilo

Menjadi Indonesia, bagi saya, adalah menengok ke dalam diri, mengenali jati diri sebagai orang Indonesia. Ya makanan, kain batik, kain tenun, alam, hutan, juga luka-lukanya.

Kita punya banyak sekali trauma, tapi kita tidak diajak berdialog dan belajar memahami apa yang terjadi. Akibatnya, kita cenderung menyalahkan pihak lain untuk banyak hal. Seharusnya kita cek betul apa yang bikin anak-anak STM turun ke jalan, misalnya, bukan sekadar menyalahkan mereka. Apa yang bikin demonstrasi berujung kekerasan, apakah pendekatan aparat keliru, atau bagaimana?

Ibu saya, Ann Prijosusilo, mengajari kami cinta membaca. Setelah koleksi buku anak-anak habis dibaca, kami merambah ke rak yang berjajar buku Gramsci, Freire, Ilych, dan tumpukan majalah NatGeo, Amnesty International, dan The Ecologist. Semuanya membentuk pandangan dan pemikiran saya hingga kini.

Kami tumbuh di Sekaralas, di Ngawi, Jawa Timur. Mommy selalu kasih contoh dalam laku kesehariannya. Perempuan di desa diajaknya ngobrol, Mommy mendengar dan menyerap apa yang terjadi. Lalu, Mommy bikin program simpan pinjam, klinik darurat, kelas menjahit. Sebelum posyandu ada, ibu sudah bikin penimbangan bayi di rumah. Mommy meninggalkan kehidupannya yang nyaman di Australia, menikah dengan bapak, dan tinggal di desa Sekaralas.

Ini kain gringsing dari Tuban, dikenakan saat kita merasa tak enak badan. Agar perasaan tak enak atau gering, sakit, pergi.

Lulus dari Fakultas Psikologi UGM, 1990, saya nyemplung jadi aktivis. Bikin LSM Gita Pertiwi. Pemberdayaan perempuan dan keanekaragaman hayati fokusnya. Kami ingin menjadi nyanyian indah bagi negeri. Kegiatan kami lumayan kritis, misalnya meliput demo perusahaan tekstil yang menutup akses jalan warga desa. Saya juga sering didatangi mahasiswa, yang minta sangu atau bekal demo di Yogya dan Jakarta.

Akibatnya, saya diinterogasi tentara, sekitar 1997-1998. Saya dicecar siapa penunggang Gita Pertiwi, siapa aktor intelektualnya. Saya marah betul dalam hati, siapa kunyuk ini yang berani-beraninya menuduh saya tak bisa berpikir dan bertindak sendiri. “Tidak ada, Pak!” Saya mengulang-ulang kata itu. Enam jam saya diinterogasi, sampai tentara itu bosan.

Saya aktif di bidang lingkungan. Yang paling berkesan adalah saat menjadi staf Prof. Emil Salim, 2001-2004. Ketika itu Prof. Emil menjadi ketua tim independen yang mengevaluasi portofolio World Bank di bidang industri ekstraktif di seluruh dunia, Independent Extractive Review (IER). Sebuah tim yang penting dan ditunggu-tunggu.

Selama empat tahun kami berkeliling ke 51 negara, melalui dialog multi-pihak mengkaji bagaimana penerapan industri tambang dan minyak di semua negara itu, termasuk Indonesia. Pada akhir proses itu Prof Emil gelisah. Draft laporan IER beliau pandang terlalu negatif merefleksikan hal-hal di lapangan yang kurang menggembirakan. Laporan yang pasti bakal menyinggung banyak tokoh yang dikenal baik oleh Prof. Emil.

Saya orangnya blak-blakan. Saya tidak betah melihat Pak Emil gelisah terus. Malam itu, tinggal saya dan Pak Emil di dalam lift sebuah gedung. Setengah berteriak, saya bilang, “Stop being stupid. Bapak nggak boleh mengorbankan generasi masa depan, hanya karena takut menyinggung teman Bapak.”

Aduh, saya deg-degan, kaget sendiri. Pasti saya dipecat, deh. Eh, tidak saya sangka, Prof. Emil membuka kedua tangan lebar-lebar. Dia peluk saya. “Terima kasih, Kiki. You are my conscience, nggak ada orang yang begitu jujur kepada saya kayak kamu.”

Belakangan, laporan Pak Emil sangat keras dan bikin marah banyak petinggi Bank Dunia, kelugasannya melebihi ekspektasi saya. Laporan berjudul “Striking A Better Balance”, tahun 2004, itu merekomendasikan agar Bank Dunia pull out, mundur total, dari semua portofolio industri minyak dan batu bara di seluruh dunia. Tentu saja rekomendasi dalam laporan ini membikin marah banyak orang, termasuk Direktur Bank Dunia James Wolfensohn ketika itu. Rekomendasi laporan ini baru dilaksanakan Bank Dunia pada 2017, artinya Pak Emil jauh mendahului zaman.

Pak Emil memang sosok yang sangat menjaga integritas. Saya beruntung, dimanjakan semesta bertemu dengan ekonom dan pejuang iklim seteguh Pak Emil.

Cintaku di Sungai Utik

Sungai Utik, Putussibau, Kalimantan Timur. Lantai hutannya penuh dengan mangga yang jatuh. Mawang, nama lokalnya. Rasanya mirip mangga kweni dan wangi markisa. Saya ajak warga menghitung berapa kilo mawang yang tersebar di seantero hutan. Eh, ternyata saat musim buah, menurut estimasi penduduk ada 400 ton mangga mawang!

Luar biasa kekayaan hutan kita. Sayangnya, empat ratus ton mawang itu dibiarkan membusuk bersama humus. Tak ada teknologi untuk mengolahnya. Menjangkau akses pasar jauh pun jauh dan mahal.

Tiga tahun lalu, bersama Tim Sekar Kawung, saya mengajak perempuan di Sungai Utik bergerak. Kita olah jadi selai mangga mawang. Tanpa pemanis dan pengawet buatan, kami ingin produk hutan ini benar-benar alami. Sekarang, ibu-ibu sudah bikin berbagai produk mawang, sudah banyak permintaan pasar.

Itu baru mangga mawang. Durian juga tak kurang-kurang di hutan. Kalau pas musim, kita bebas ambil durian jatuh, yang dagingnya oranye, merah, kuning. Lagi-lagi, sebagian besar dibiarkan membusuk menjadi humus. Padahal, kalau diolah jadi tempoyak, dengan standar dan kemasan yang bagus, kan hebat. Diaspora Minang di seluruh dunia pasti kangen makan tempoyak yang bermutu, yang ndak dicampur ubi seperti yang sekarang banyak beredar di pasar.

Ada lagi hasil hutan yang tak kalah menjanjikan, yakni tengkawang (Shorea sp) atau Borneo tallow nut, juga keluwak, yang diambil minyaknya. Saya ngobrol dengan para sesepuh Sungai Utik. Saya tanya, apa makanan paling enak di masa kecil dulu? Mereka menjawab, “Makan nasi hangat yang ditaburi mentega tengkawang.”

Wah, jadi tengkawang dahulu kala dibikin mentega? Saya tantang warga lokal, ayo kita coba hidupkan lagi mentega tengkawang. Sekarang sudah ada. Mentega tengkawang, rasanya gurih dan ada tekstur kacang yang lembut. Enak banget, nabati pula kan.

Begitulah, kerjaan saya. Cinta saya ada pada keanekaragaman hayati. Berdiri di satu titik di hutan, mulai dari tanah lantai hutan hingga ke kanopi pepohonan, kita akan menyaksikan ratusan spesies hidup subur. Semua menyatu, simbiosis mutualisma. Itu yang bikin hati saya adem sekaligus bangga.

Bertahun-tahun saya keluar-masuk hutan, bertemu masyarakat lokal, menggali potensi alam. Sebetulnya, masyarakat itu sadar dan paham, hutan harus dijaga dan dilestarikan. Persoalannya, warga desa di sekitar dan di dalam hutan tidak dilengkapi peralatan dan modal. Mereka disuruh bertarung sendiri, menjaga hutan dengan kondisi jauh dari sejahtera.

Ratusan ton mangga mwang itu, contohnya, kalau diolah dengan tangan, panci dan wajan biasa, ya susah. Durian, kemiri, tengkawang pun begitu, susah kalau hanya diproses manual tanpa peralatan. Masyarakat perlu dibekali modal dan peralatan, supaya mereka bisa menjaga hutan dan mengambil manfaat, secara lestari. Hutan itu hidup kita.

Di Pulau Sumba, Bertemu Tenun Berjiwa

Sebagai orang Jawa, saya sungguh cinta batik. Begitu dalam filosofi yang bisa kita pelajari dari beragam batik, di setiap daerah.

Dan, Indonesia tak hanya punya batik. Kain tenun ada hampir semua wilayah Indonesia, setiap helai punya kisah unik. Seperti kain gringsing dari Tuban, Jawa Timur ini. Kain ini dikenakan saat seseorang merasa sakit, supaya gering (sakit) enyah menghilang. Menarik, kan.

Suatu kali saya ke Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Pulau indah, dengan savana dan tenun yang luar biasa. Saya tercengang dengan begitu panjang jalan harus ditempuh untuk mewujudkan selembar kain tenun. Delapan belas bulan bekerja bersama penenun di Sumba, saya jadi tahu ada 42 langkah, mulai dari membuat desain gambar, menyiapkan benang, mewarnai, membuat ikat, sampai menenun. Semua proses melibatkan lelaki dan perempuan, seluruh komunitas.

Tenun adalah warisan budaya yang terus mengalir, seperti mata air. Dia bertumbuh, berkembang, dan terus menghidupkan struktur ekonomi dan sosial masyarakat. Bayangkan, para seniman tenun berkarya dengan motif-motif yang begitu detil, di tengah alam yang gersang. Pewarna alam yang mereka gunakan menghasilkan tenun yang luar biasa, dengan warna biru yang menghimbau, coklat yang beragam, dan merah yang menyala.

Proses mewarnai tenun tahapan yang sama sekali tak gampang. Sebuah warna didapat dari campuran aneka tanaman, mulai dari mengkudu, indigo, dan beragam daun. Supaya dapat warna cemerlang, proses celup bisa puluhan kali. Itu sebabnya, ahli mewarna biru ada sendiri, yang coklat ada sendiri, yang merah pun ada. Menenun benar-benar kerja kolektif. Ada cinta dan kebersamaan di situ.

Karena terbiasa dengan motif batik, saya bertanya pada ina-ina penenun, ini motif apa? Jawabnya sederhana, ini motif udang, itu bunga, itu jagung. Ah, mungkin pertanyaan saya kurang tepat sehingga cuma mendapat jawaban sepotong-sepotong. Saya gali lagi perlahan kisah-kisah di balik pembuatan sebuah karya tenun.

Saya bersama tim juga ‘membaca’ 55 lembar kain tenun ikat Sumba Timur dari wilayah Kambera. Nah, kami mendapati bahwa ada tiga jenis kain. Pertama, lembaran kain yang dimuati oleh doa-doa dan harapan yang baik, wejangan atau nasihat, dan ucapan syukur. Kedua, kain yang berisi kisah atau sejarah suatu peristiwa. Ketiga, yang terakhir ini pada umumnya adalah kain berisi kisah penguburan raja.

Banyak antropolog mengungkapkan bahwa kain tenun ikat Sumba Timur memiliki peranan penting di dalam tahapan kelahiran, pernikahan dan kematian seseorang. Saya jadi berpikir, apakah mungkin, kain yang dimuati lukisan-lukisan yang dimuati doa dan harapan pada mulanya dulu cenderung dipakai untuk merayakan kelahiran, lalu yang berisi nasihat lebih pas dipakai untuk menandai pernikahan? Mungkin saja, ini akan membutuhkan penelitian lebih jauh.

Proses panjang dan kisah tenun itu meyakinkan saya, pendekatan pada komunitas seniman penenun juga akan berdampak pada konservasi. Puluhan tanaman untuk pewarna alam itu kan harus terus ada untuk proses pewarnaan alam, dan para seniman penenun juga harus merawatnya. Di Sumba Timur mereka memakai lebih dari 20 jenis tumbuhan untuk pewarnaan mereka.

Indonesia memang kaya banget. Proses panjang dan kisah tenun itu meyakinkan saya, pendekatan pada komunitas seniman penenun juga akan berdampak pada konservasi. Puluhan tanaman untuk pewarna alam itu kan harus tumbuh di hutan. Jadi, para seniman penenun juga harus merawat hutan. Itulah sebabnya saya jatuh cinta pada tenun, mondar-mandir ke Sumba, mendampingi komunitas seniman penenun.

Oya, saya menyebut para penenun ini seniman. Kain tenun itu karya seni, work of art. Jiwa seni ini yang memungkinkan mereka bekerja sama dengan seniman dari bangsa lain melalui bahasa seni. Seorang maestro tenun ikat bernama Kornelis Ndapakamang, misalnya, pernah membuatkan kain tenun ikat dengan tema rintik hujan pesanan suku Indian Cherokee. Dan, beneran, titik-titik hujan yang halus itu tampil di kain tenun. Gagah dan magis.

Itu semua, tenun, hutan, alam, kuliner, kebhinnekaan budaya, orangnya, semua adalah rangkaian menjadi Indonesia.

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top