TENTANG
Perempuan adalah cerita kehidupan yang tiada pernah surut. Pada dirinya ada perjuangan yang berlapis-lapis, yang begitu kaya warna. Cinta, tawa, keringat, air mata, semuanya daya hidup yang menggerakkan perempuan.
Sebagai jurnalis, saya bertemu orang-orang baru, menjelajah tempat-tempat baru. Di banyak tempat, di banyak peristiwa, yang tampil ke depan kamera adalah laki-laki. Padahal saya tahu persis bahwa di balik layar yang memainkan peran utama adalah perempuan. “Ah, biar bapak itu saja yang tampil,” atau, “Saya nggak bisa ngomong bagus,” atau “Saya ini kan cuma remahan rengginang,” begitu argumen yang kerap muncul di antara para perempuan yang menolak tampil.
“Saya ini cuma remahan rengginang!”
Kalimat ini terngiang terus di telinga saya. Bagaimana bisa? Program itu, produk itu, kebijakan itu, rumah tangga itu, komunitas itu, lembaga itu, tak akan berjalan tanpa peran sang perempuan. Namun, sang puan dengan rendah hati berkata bahwa bukan dirinya yang layak disorot lampu perhatian.
Perempuan, entah mengapa, cenderung meredupkan cahayanya sendiri. Baru setelah saya ngobrol panjang dengan sang puan, informasi digali sana-sini, tampaklah bahwa dia betul-betul hebat. Setelah tulisan puan tampil di akun Instagram saya, barulah sosok yang saya wawancarai berseru, “Ternyata keren kali aku, kak.”
Kisah-kisah para puan yang meredupkan cahayanya, sengaja atau tidak, itu perlu tampil ke permukaan. Dunia membutuhkan cahaya-cahaya para puan.
Puan Indonesia adalah upaya menampilkan cahaya-cahaya puan. Di sini, kami memunculkan keberagaman kisah keseharian, cinta, tawa, keringat, dan air mata para perempuan Indonesia. Ada jutaan kisah dari 34 provinsi, 500an kota dan kabupaten, puluhan ribu desa di Indonesia, yang menanti dikisahkan.
Ada banyak hal yang membuat hati terasa hangat setelah puluhan kisah yang muncul dalam IG saya @chamimmardiyah dan sekarang tampil di website ini. Tak sedikit pembaca yang kemudian mengirim pesan melalui jalur pribadi, “Terima kasih, Kakak, sudah memuat kisah ini. Saya jadi tidak merasa sendiri.”
Mardiyah Chamim
Jurnalis, pejalan, dan penutur kisah.
Saya jatuh cinta pada dunia jurnalistik yang saya tekuni sejak di bangku kuliah, di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Lulus kuliah, 1996, saya berkesempatan enam bulan intensif menimba ilmu jurnalistik di LP3Y (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta). Suhu kami, antara lain Ashadi Siregar, memberi dasar yang kuat tentang bagaimana jeli melakukan observasi, menata logika, serta menuangkannya dalam tulisan yang jernih dan asyik berkisah.
Usai nyantrik di LP3Y, saya bergabung dengan Warta Ekonomi dan Panji Masyarakat. Segera setelah Tempo terbit kembali, bangkit dari kuburan bredel, Oktober 1998, saya bergabung dengan Tempo. Di sinilah, di Tempo, saya ditempa dalam disiplin jurnalistik yang ketat. Mengenang kelas-kelas bersama para empu jurnalistik, antara lain Goenawan Mohamad, Amarzan Loebis, Toriq Hadad, adalah saat-saat yang membahagiakan.
Berada di Tempo adalah berada dalam pertemanan dan kekeluargaan yang hangat. Saya sangat berterima kasih karenanya. April 2019, setelah 20 tahun, saya memutuskan pensiun dini dari Tempo. Saya memulai perjalanan sendiri, memulai petualangan saya bersama #PuanIndonesia. Semoga berkenan.
***