Hera, Menembus Menara Gading

Nduk, jangan biarkan dirimu lungset, kusut. Cintai keindahan, rumahmu, lingkunganmu, dan terutama dirimu sendiri.” Saya selalu teringat pesan almarhum Eyang saya, Kasran Mohammad Doerjat. Mencintai diri sendiri bukan untuk orang lain, bukan untuk pasangan, tetapi untuk kebaikan diri sendiri. Karena hanya dengan mencintai diri sendiri, kita bisa memberi yang terbaik pada semesta.

Eyang saya adalah orang yang membentuk saya seperti ini. Eyang kakung adalah mantan bupati di Tulungagung, tahun 1960-an. Eyang putri saya, Supadminah, lulusan sekolah guru Kweekschool dan Kepala Sekolah HIS swasta. Keduanya sangat peduli pendidikan. “Tidak ada kata tidak bisa,” begitu selalu Eyang menyemangati kami sekolah. Pesan yang terbawa terus, seperti DNA dalam hidup saya.

Saya kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1977. Lulus kuliah, saya sudah menikah dan punya anak. Suami saya dokter, Aru Sudoyo. Saya putuskan tidak mengejar karir sebagai dokter klinis, sudah cukup suami saya dokter klinis. Saya memilih menjadi ilmuwan peneliti. Pilihan yang tidak populer. Menjadi peneliti berarti siap tinggal di menara gading yang sunyi, dikelilingi buku dan peralatan laboratorium yang steril. Duitnya sedikit, workaholic, tidak gaul pula, begitu kata orang.

Setiap pilihan punya risiko. Saya sadar itu. Tapi, saya yakin, menjadi peneliti adalah seni yang bisa diaplikasikan pada masyarakat luas. Belakangan, keyakinan saya benar-benar terbukti.

Pertengahan 1985, saya menempuh S3 di Monash University, Australia. Belajar biologi molekuler. Ketika itu subyek ini belum banyak dikenal. Dosen-dosen saya bilang, kuasai ilmunya sampai taraf yang mendasar, filosofinya. Jangan cuma bisa menerapkan teknisnya. Jadilah ilmuwan yang punya pemahaman mendalam sehingga mampu jadi problem solver, trouble shooter, bukan sekadar jadi ilmuwan tukang.

Berbekal pesan itu, saya memilih meneliti DNA mitokondria —ini berbeda dengan untaian DNA yang ada di kromosom. Buat saya, inilah elemen penting di dalam inti sel, yang menjadi pabrik energi dan gen yang diturunkan spesifik melalui sel telur. Mitokondria adalah penanda biologi (biomarker) yang begitu menarik dalam berbagai level. Dialah pusat energi sel yang menggerakkan kerja otak dan otot, dia juga yang diturunkan melalui garis ibu. Apa yang lebih powerful dari itu?

Tak banyak yang memilih mendalami DNA mitokondria ketika itu. Di seluruh dunia, ketika itu, hanya ada empat grup ilmuwan yang meneliti. Saya bergabung dengan salah satu grup itu. Sebuah grup yang sangat kompetitif dan menuntut konsentrasi luar biasa.
Saya bergabung dengan tim yang meneliti thalassemia, yang membuat sel darah berbentuk bulan sabit. Tim peneliti mensurvei gen thalassemia pada murid sekolah di berbagai desa dan kota di Indonesia.

Tahun 1992, saya mendapat kabar bahwa Indonesia akan membuat lembaga penelitian biologi molekuler. Prof. BJ Habibie meminta Prof. Sangkot Marzuki menyiapkan lembaga ini. Saya diajak terlibat sejak awal, membidani lahirnya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, tempat saya berkarya hingga kini.

Pak Habibie membolehkan Eijkman meneliti apa saja di bidang biologi molekuler. Pak Habibie yakin, biologi molekuler akan menjadi sangat sangat penting. Penelitian kami tidak dibatasi agenda-agenda pemerintah. Sungguh sikap Pak Habibie adalah sebuah leadership saintis yang sangat kami apresiasi.

Eijkman berfokus meneliti DNA orang Indonesia, bagian dari Human Genome Project dunia. Kami meneliti ratusan etnis, mempelajari pola yang muncul, dan juga mengamati penyakit apa saja yang ada. Fokus saya adalah DNA mitokondria, jadi kami meneliti bagaimana pola-pola penyakit yang diturunkan melalaui gen mitokondria ibu, antara lain diabetes mitokondria. Dari situlah kami mendapai ada ratusan jenis thalassemia yang berbeda-beda berdasar etnis di Indonesia.

Teknologi semakin maju. Biologi molekuler tak hanya berhenti pada laboratorium. tapi berkontribusi langsung pada masyarakat. Syaratnya, pemahaman ilmiah harus mantap dulu, baru bisa kami menjalani fungsi sebagai problem solving dan trouble shooter.

September 2004, Kedutaan Australia di Jakarta dibom. Polisi kesulitan mengungkap pelaku bom. Mobil boks pengangkut bom luluh lantak. Tak ada bagian tubuh yang tersisa untuk bisa dikenali dengan metode konvensional.

Polisi meminta para ilmuwan Eijkman turun tangan. Kami, polisi dan tim Eijkman punya dugaan, orang yang paling dekat dengan bom terlempar lebih jauh dari episentrum ledakan. Benar saja. Jaringan tubuh yang terserak paling jauh dari pusat bom terbukti memiliki profil DNA yang sama —yang diduga sebagai pembawa bom. Kurang dari dua pekan, pelaku diketahui identitasnya.

Teknik yang disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI) ini melengkapi teknik Disaster Victim Identification yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana alam. Kemampuan tim kita tak kalah dengan yang ada di film-film.

Tim Eijkman terus bekerja mengumpulkan data DNA orang Indonesia. Kami benar-benar keluar dari laboratorium sunyi. Kami menjumpai orang-orang di habitat yang asli, di gunung-gunung, pantai, juga di pedalaman hutan. Banyak pengalaman berkesan. Misalnya, di pegunungan Papua, saat berada di tengah Suku Eipomek, seorang mama berjalan jauh, menemui dan menghadiahkan ubi hangat kepada kami. Betapa hangat dan mengharukan persaudaraan yang ditawarkan mama ini.

Perjalanan saya berkeliling Indonesia juga membuktikan, bahwa suku-suku asli masyarakat adat kita dalam kantong-kantong yang terlindungi. Mereka seperti cocoon, kepompong yang melindungi komunitasnya sebagai survival, cara bertahan hidup. Mereka tak hirau dengan sengketa politik di kota-kota besar. Keinginan mereka sederhana saja, kesehatan dan pendidikan. Kesederhanaan yang benar-benar membuat trenyuh.

Teknologi terus berkembang. Aplikasi penelusuran genetika kian berkembang. Eijkman mengembangkan Tim DNA forensik untuk merespon kebutuhan riil di lapangan. Kami bekerja sama dengan berbagai lembaga. Misalnya, bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan meneliti DNA ikan yang diambil kapal-kapal asing. Tim Eijkman juga membantu berbagai institusi untuk melacak trafficking, menangani kasus kekerasan seksual, juga melacak perdagangan satwa liar. Rasanya luar biasa bisa membantu kerja-kerja kemanusiaan dengan genetika.

Beberapa tahun terakhir, politik identitas menguat. Kembali kami di Eijkman bekerja, menggarisbawahi betapa perjalanan umat manusia tak pernah linier. Tak pernah ada warna tunggal dalam garis genetika manusia, suku bangsa apa pun. Sebetulnya ini penelitian lama, tentang empat jalur migrasi umat manusia.

Saya membawa penelusuran nenek-moyang ini ke level personal. Selain penasaran, juga agar terasa lebih riil. Tahun lalu, berbekal tabung berisi sampel usap ludah, saya menelusuri leluhur sampai ribuan tahun lampau. Sampel ludah ini saya kirim ke sebuah laboratorium penguji genetika ternama di Amerika, namanya “23 and Me”. Ongkosnya USD 125. Ini akan jadi penelusuran menarik.

Sebetulnya, tak perlu ke “23 and Me” untuk menguji genetika penelusuran nenek moyang. Eijkman pun bisa. Hanya, Eijkman fokus pada penelitian dan belum membuka layanan uji genetika untuk umum. Penelusuran nenek-moyang saya adalah kepentingan pribadi, jadi saya tidak bisa melakukannya di Eijkman, lebih baik saya menggunakan jasa pihak lain.

Beberapa pekan kemudian, datang surat elektronik. Surat yang membuat saya terpesona. Nenek moyang Hera, menurut surel itu, berasal dari Afrika 150 ribu tahun lalu. Mereka mengembara ke utara, sampai ke Gibraltar. Lalu, pada 57 ribu tahun lalu, mereka berjalan ke arah timur, ke Euroasia. Tes itu juga mendeteksi 2,7 persen saya Hera yang adalah milik orang Cina, pada 1700-an –suatu hal yang sangat menarik jika dicocokkan dengan peristiwa sejarah yang menyertai saat itu.

Ada lagi hal yang menarik. Gen saya memiliki fragmen hablotype B7. Ini yang bikin saya penasaran, dari mana mereka?

Saya mencocokkan data itu dengan database Eijkman. Ratusan etnis di Indonesia yang telah kami teliti tidak secara spesifik menyebut unsur ini. Saya terus mencari, membaca berbagai hasil riset. Akhirnya, ketemu. Gen hablotipe B7 adalah milik Suku Kasi, yang tinggal di Nepal, pegunungan Himalaya. Nah, orang Kasi ini mirip banget dengan orang Jawa. Mereka menenun, bikin kriya anyaman dari bambu, dengan rumah panggung dari papan kayu. Mereka juga pakai sarung seperti kita.

Begitulah, kita semua adalah hasil pembauran suku-suku bangsa di seluruh dunia. Tak ada satu pun suku bangsa yang memiliki gen yang murni. Kesimpulan ini sebetulnya sudah dipahami sejak lama. Ilmu pengetahuan mengkonfirmasinya dengan telak.

Keseruan menelusuri jalur nenek-moyang ini dipamerkan di Pekan Kebudayaan Nasional, yang digelar Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, September lalu, yang juga bekerja sama dengan Historia.id. Memahami asal-usul, persilangan budaya, juga interaksi dengan alam, membuat kita jadi lebih rendah hati. Kebhinnekaan, keberagaman, dan berbagai persilangan itulah justru yang mengagumkan.

Menengok perjalanan sebagai peneliti, saya telah membuktikan pada diri sendiri telah keluar dari menara gading. Kami berbagi dengan masyarakat yang benar-benar awam soal genetika. Ini momen pencapaian paling membahagiakan, melebihi award apa pun yang pernah saya terima.

Adakah mimpi yang belum tercapai? Hmmm…..sepertinya sudah. Di usia ke-68 ini, saya behagia dengan hidup saya.

Namun, saya punya kerisauan akan masa depan Eijkman. Saat ini telah terkumpul jutaan data di server Eijkman. Tantangan berikutnya adalah analisis, membaca data-data, lalu mengembangkannya menjadi teknologi diagnostik yang presisi. Ini benar-benar big data. Bayangkan saja, di dalam mitokondria ada 16 ribu rangkaian nukleotida, ada 4 miliar genome, itu dari satu individu. Padahal, data yang dikumpulkan sudah mencapai jutaan orang, harta karun yang luar biasa nilainya.

Eijkman sudah merintis dan membuktikan menjadi lembaga yang berpengaruh di bidang biologi molekuler. Bukan hanya di Indonesia, tapi di dunia. Butuh kepemimpinan saintis dan ekosistem riset yang kuat untuk mengelola hasil dan meneruskan langkah-langkah yang sudah kami tempuh. ***

Catatan: Profesor Herawati Supolo-Sudoyo meraih berbagai penghargaan, antara lain, Anugerah Sekar Bangsa (2013), Australian Alumni Award (2008), Wing Kehormatan Kepolisian (2007), Third World Academy of Science Award (1992). The Lancet, 2012, menyebutnya sebagai “the champion of basic champion in Indonesia”.

#PuanIndonesia #PuanJakarta #WomenInSTEM #WomenInScience

*** 
PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top