Jika Kartini Tidak Menikah

Bayangkan sejenak: bagaimana jika Raden Ajeng Kartini tidak pernah menikah?

Mungkin ia akan melanjutkan korespondensinya lebih lama, menghasilkan lebih banyak tulisan, menerbitkan buku-bukunya sendiri, dan berdiri sebagai intelektual perempuan pertama dari tanah Jawa yang bebas bersuara tanpa kompromi sosial.

Tapi anggapan ini pun; bahwa Kartini akan lebih hebat jika tak menikah, seolah menyingkap luka kolektif yang lebih dalam, jika hingga hari ini, pernikahan masih kerap diposisikan sebagai akhir dari cita-cita perempuan, bukan bagian dari perjalanannya.

Pernikahan Kartini bukan sekadar momen personal. Ia adalah hasil dari negosiasi panjang, tekanan budaya, dan politik keluarga. Dan keputusan itu, meski lahir dari tekanan, tak bisa dinafikan adalah bentuk kecerdasan Kartini. Ada kalanya, jalan perubahan ditempuh bukan dari luar sistem, melainkan dari dalamnya.

Tampaknya, justru setelah menikah, ia kemudian bisa mendirikan sekolah perempuan pertama. Ia memanfaatkan relasi dengan suaminya untuk menyiasati struktur yang membelenggunya. Di usia muda, dalam batas-batas ruang feodal bertajuk pernikahan poligami itu, Kartini pun menanam benih perubahan kultural yang bahkan hari ini pun belum selesai dipanen.

Tapi jika Kartini tidak menikah, mungkin kita akan melihatnya mendirikan koran atau organisasi perempuan, mungkin namanya akan tercetak di atas pidato-pidato intelektual masa awal kebangkitan nasional. Mungkin ia akan memiliki lebih banyak waktu, lebih banyak kebebasan, dan lebih panjang usia perjuangannya.

Namun pertanyaannya bukan lagi apakah ia “akan lebih besar” jika tidak menikah. Pertanyaannya yang lebih penting adalah mengapa hingga hari ini, kita masih membayangkan kemerdekaan perempuan sebagai sesuatu yang harus dipilih dengan mengorbankan kehidupan pribadi?

Mengapa masih terasa mustahil bagi perempuan untuk menjadi utuh sekaligus berpikir, mencipta, mencinta, berkeluarga, atau bahkan memilih sendiri bentuk hidup yang diinginkan?

Pengandaian jika Kartini yang tidak menikah adalah refleksi atas realita hari ini, di mana sistem masih membuat banyak perempuan harus memilih antara cinta dan cita-cita, antara keluarga dan kebebasan, antara pengabdian dan pertumbuhan atas pemikiran.

Dan inilah mengapa Kartini tetap relevan. Ia adalah simbol perempuan yang tidak pernah berhenti berpikir, bahkan di tengah keterbatasan. Karena kemajuan bukan hanya milik mereka yang bisa hidup bebas, tapi juga milik mereka yang memilih untuk berpikir dan bergerak di dalam jeruji—sambil perlahan membengkokkannya.

Setiap tanggal 21 April, namanya kembali kita panggil. Sosoknya dikenang dengan kebaya, dikutip dalam caption media sosial, dan disebut dalam pidato-pidato resmi. Tapi barangkali, yang lebih penting dari sekadar mengingat adalah menghidupkan ulang gagasannya.

Bagi kita hari ini, semangat yang pernah dikobarkan Kartini tak cukup hanya dikenang. Spirit itu harus terus dihidupkan, terutama simbol-simbol kegelisahan yang lahir dari keberaniannya berpikir dan bersuara. Kartini menulis karena tahu kalau diam hanya akan mewariskan luka. Dalam lembar surat kepada sahabatnya Stella, di Belanda, ada jeritan yang tak sempat disuarakan di ruang keluarganya sendiri yakni, perempuan adalah manusia utuh yang berhak memilih jalan hidupnya sendiri.

Dan di situlah semangat Kartini menemukan relevansinya hari ini, di tengah perjuangan perempuan modern yang sering kali tak kalah sunyi dan kompleks.

Kartini Hari Ini

Namun, satu hal yang membesarkan harapan adalah bangkitnya kesadaran baru di kalangan perempuan Indonesia. Kesadaran untuk memeluk diri sendiri dengan luka, dengan batas, dengan pilihan-pilihan yang tidak harus menyenangkan semua orang.

Kita menyaksikan perempuan yang mulai berani bicara tentang mental load. Tentang beban emosional yang tidak tampak tapi nyata. Tentang hak untuk sembuh, hak untuk tidak baik-baik saja, hak untuk memilih karier, memilih pasangan, bahkan memilih untuk tidak menikah atau tidak punya anak, tanpa harus selalu menjelaskan diri.

Kita melihat perempuan yang tidak lagi ingin menjadi simbol pengorbanan semata. Yang tidak ingin dipuji karena sanggup menanggung semua beban, tapi dihargai karena keberaniannya untuk berkata cukup. Perempuan yang tak lagi ingin menjadi bayangan dari harapan orang lain, melainkan wajah utuh dari dirinya sendiri.

Ini bukan egoisme. Ini adalah bentuk paling sehat dari cinta diri. Karena perempuan yang sehat secara mental, bebas secara pikiran, dan tenang secara jiwa adalah pondasi paling kokoh bagi keluarga, komunitas, dan negara.

Dari Gelisah ke Tumbuh Bersama

Apa yang diperjuangkan Kartini dulu memang belum selesai. Tapi warisannya tidak hanya hidup dalam upacara atau museum. Warisan Kartini hidup dalam setiap langkah perempuan yang memilih untuk tidak menyerah. Yang memilih berpikir ketika dunia menyuruhnya patuh. Yang memilih tumbuh ketika dunia ingin ia diam.

Dan mungkin, di sinilah makna terdalam Hari Kartini: bukan merayakan kemenangan yang sudah selesai, tapi sejatinya kita sedang berada di tengah perjuangan panjang menuju kedaulatan bersama.

Hari ini, saat perempuan di berbagai pelosok negeri mulai bicara, menulis, menyuarakan, menciptakan ruang aman untuk sesama, dan menyembuhkan diri dari trauma masa lalu. Itulah perayaan yang sesungguhnya.

Selamat Hari Kartini.

***Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top