Waktu itu aku lagi kuliah, dapet beasiswa di Victoria University, New Zealand, 2018. Ada demo petani Kendeng di Istana. Sedih banget.
Karena aku suka berkebun, sedikit banyak aku tahu penderitaan petani, yang sering gagal panen gara-gara hama atau kemarau panjang. Apalagi ini, petani Kendeng terancam penghidupan mereka gara-gara pabrik semen. ⠀
Melihat ibu-ibu petani Kendeng menyemen kaki di layar televisi, hatiku terobek. Apa yang bisa kulakukan?
Lalu, lahirlah lagu berjudul “Apati” ini.⠀
Jika puan hanya terima⠀
Masih ingin kita⠀
Jika tanya salah adanya⠀
Masih ingin kita?⠀
Jika tuan telan semua⠀
Mana untuk kita⠀
Jika tanahpun tak bersisa⠀
Adakah untuk kita?⠀
Suarakan rasa kecewa⠀
Hingga pantulannya pecahkan⠀
Dinding yang memisahmu dan⠀
Kita⠀
Jika pasung ini tak sentuhnya⠀
Masih perlu kita⠀
Jika hidup pun tak kupunya⠀
Masih perlu kita?⠀
■ ⠀
Sedihnya, lagu ini masih relevan sampai kini dan akan terus relevan. Petani masih susah, terutama dg makin tak menentunya perubahan iklim. Dulunya panen bisa tiga kali setahun, sekarang mungkin dua atau bahkan sekali. Udah gitu, pas panen harga jatuh.⠀
****⠀
Sampai sekarang aku masih bermusik, tapi nggak seintens seperti di Banda Neira dulu. Bisa dibilang aktivitas musikku hanya 20-30% dari keseharianku. Terakhir aku berduet dengan adikku, @Isyanasarasvati, nyanyiin lagu “Luruh”, tapi itu bukan proyek yang dirancang banget. Spontan aja. ⠀
Sekarang, aku lebih suka ngajar workshop fotografi & berpikir kritis bersama suamiku, @benlaksana. Seneng rasanya bersama anak-anak muda, menjelajah kreativitas dan mengasah daya kritis. Berasa seperti baru terus.
@rarasekar
Wellington, New Zealand, aku berubah setelah kuliah di sana. Pengalaman hidup di sana bener-bener ngebuka mata. Rara nggak lagi seperti Rara yang dulu. ⠀
Di NZ, orang-orang hidup dalam semangat bersama. Kolektif. Tiap RT, punya kebun bersama. Ada yang menanam kale, okra, tomat, lainnya tanem kentang, lalu pas panen raya kita bikin selebrasi bersama. Hasil panen ditaruh di shelter, siapa pun bebas ambil. ⠀
Kegiatan komunitas di NZ pun beragam. Ada warga yang punya skill macam-macam, dia volunteer bikin “Repair Cafe” ngajarin bagaimana ngebenerin barang. Cara menjahit celana yang robek, betulin blender yang kendor sekrupnya, atau menambal sol sepatu. Tujuannya, supaya kita nggak gampang lembiru, lempar barang dan beli baru. Kita juga jadi tahu mana produk yang dirancang buat sekali pake dan mana yang memang awet. Peduli lingkungan itu tujuannya.⠀
Berkebun memang jadi kegiatan utama warga NZ. Waktu bimbingan thesis, saya selalu bertukar sayuran dengan dosen saya. Haiii, saya bawa kale, kamu bawain tomat ya..! ⠀
Asyik sekali, berkebun membuat kohesivitas sosial terjalin.
Guyub dan semangat gotong royong masyarakat NZ ini kelihatan banget pada cara mereka menghadapi teror di Christchurch. ⠀
Pulang ke Indonesia, bareng Ben, aku teruskan kesukaan berkebun. Pekarangan rumah kami, kecil saja, penuh tanaman sayur. Tapi, tanaman kale di sini kok nggak se-crispy kale di NZ? Saya mesti belajar lagi, nih. Sebisa mungkin saya ingin tahu bagaimana cerita tanaman yang disajikan di meja makan saya. ⠀
Tanam sendiri, masak sendiri, itu bikin happy. Suka sebel juga kan lihat salad seporsi Rp 150 ribu di restoran. Yaelah, coba kalau tanam sayur sendiri atau beli sama tukang sayur. ⠀
Sekarang, saya dan Ben diminta Pak RT mengolah lahan kosong di sekitar kompleks perumahan kami, di Bogor. Cita-citanya, sama kayak di NZ, pingin menghidupkan komunitas dan berkebun. ⠀
Oya, budaya kolektif di sini kalah jauh dibanding NZ. Di sini gotong royong sebatas kerja bakti, terus bubar. Susah juga ngajak tetangga berkebun dan aktif berkomunitas. Aku jadi kayak orang aneh di negeriku sendiri. Gegar budaya aku, culture shock.