Sebab di dunia yang terlalu sering lupa pada pinggiran, suara dari desa harus cukup lantang untuk mengguncang pusat.
Mari melawat ke Sulawesi Barat, dan menyaksikan perempuan-perempuan berkebun dengan tradisi royongan, sebuah laku ekonomi solidaritas yang dijaga para ibu di desa. Kearifan lokal ini dilanggengkan kembali setelah tambang merangsek masuk, dan kaum laki-laki kebanyakan beralih menjadi buruh, meninggalkan kebun mereka.
Menyadari jika hasil kerja suami di tambang belum cukup menopang keluarga, para istri pun tidak mau diam. Mereka lantas menghidupkan ulang tradisi royongan, sebuah sistem kerjasama secara bergiliran di kebun mereka, di mana tenaga dan waktu saling dipertukarkan tanpa bergantung pada uang.

Adalah Kasmiati atau yang akrab disapa Tata, seorang akademisi dan peneliti muda yang merekam tradisi itu. Ia menelaah pola royongan sebagai lansekap penelitian. Dari situ, ada banyak kisah yang mencerminkan bagaimana perempuan beradaptasi dan berinovasi di tengah perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di sejumlah wilayah di Sulawesi Barat.
Sebagai anak petani, Tata tumbuh dalam kehidupan yang sangat dekat dengan alam dan kerja-kerja pertanian. Pengalaman masa kecilnya melihat sang ibu yang tak hanya mengurus rumah, tapi juga ikut menanam dan memanen di kebun, meninggalkan kesan yang tak lekang.
Ibunya sering menyelipkan sedikit uang dari hasil jerih payah itu untuk kebutuhan sekolah Tata. Baginya, itu bukan sekadar pengorbanan, melainkan strategi hidup perempuan desa. “Bisa disebut sebagai bentuk kasih sayang dan kecerdasan yang sering tak tercatat dalam narasi besar pembangunan,” ujarnya.
Pengalaman demikian menjelma kesadaran ketika Tata mulai terlibat dalam riset dan kegiatan lapangan. Selama proses bolak-balik antara kampus dan desa, ia menyaksikan sendiri betapa besar peran perempuan dalam menopang kehidupan rumah tangga dan desa, baik melalui kerja domestik maupun kerja agraris.
Tata melihat bahwa perempuan bukan hanya “pelengkap,” tapi aktor utama dalam memastikan ketahanan ekonomi keluarga. Spirit itulah yang mengakar dalam kelompok kerja royongan yang berbasis ekonomi solidaritas, di mana pertukaran dilakukan bukan dengan uang, tetapi dengan tenaga dan waktu.
Menurutnya, inilah bentuk pengetahuan hidup yang tak diajarkan di bangku kuliah. Di desa, solidaritas tumbuh dari kebersamaan, dari rasa saling membutuhkan. Bagi perempuan-perempuan ini, bertani bukan sekadar pekerjaan, tetapi cara mempertahankan martabat sekaligus pengetahuan.
Kebijakan yang Berjarak

Lebih jauh, Tata membagikan pengalamannya kepada Puan Indonesia tentang perjalanan penelitiannya ke pelosok kabupaten Majene, Mamuju, hingga Polewali Mandar. Di rangkaian perjalanannya menggali fenomena sosial tersebut, ada salah satu kisah yang ia temui dari istri kepala desa yang kesehariannya bergumul dengan tanah dan tanaman, memasak untuk keluarga, bahkan memberi makan ternak.
“Kita ini sudah sibuk bekerja di kebun, eh pemerintah malah bikin program berkebun-kebunan di pekarangan. Padahal kita sudah berkebun setiap hari,” papar Tata menirukan apa yang disampaikan istri kades.
Bagi Tata, pernyataan ini terasa seperti ironi yang mencerminkan betapa sering kebijakan dibuat tanpa menyentuh kenyataan hidup masyarakat, terutama mereka yang berada di lapisan paling bawah. Banyak keputusan diambil berdasarkan sudut pandang yang jauh dari keseharian para petani.
Karena itulah, para akademisi dan peneliti perlu terus menjalin koneksi antara dunia kampus dan kehidupan di kampung, agar mereka dapat menguji kembali asumsi-asumsi yang melandasi perumusan kebijakan secara langsung di lapangan.
Kesenjangan itu Nyata

Kasmiati adalah seorang dosen dan peneliti di Universitas Sulawesi Barat yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Sejak 2019, ia aktif mengajar di Fakultas Pertanian dan Kehutanan, khususnya pada jurusan Agribisnis.
Fokusnya adalah mengintegrasikan isu-isu pembangunan pedesaan, ketahanan pangan, dan pertanian berkelanjutan dalam proses belajar-mengajar, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Ia dikenal sebagai penggerak riset-riset lokal yang menjadikan komoditas tradisional seperti Jewawut (Foxtail Millet) sebagai strategi adaptif menghadapi perubahan iklim, sekaligus intervensi gizi untuk mencegah stunting di Sulawesi Barat.
Sebelumnya, ia pernah mengajar di salah satu perguruan tinggi di Sulawesi Tenggara sembari bekerja untuk sejumlah NGO yang membawanya berkenalan akrab dengan isu-isu pedesaan, pertanian, dan perempuan.
Ia terpilih sebagai Fellow dalam program YSEALI dan UID-BEKAL Pemimpin, serta menerima penghargaan Emerging Author dari The Conversation Indonesia pada 2024. Serta aktif dalam berbagai organisasi keilmuan seperti PERHEPI, PERHORTI, dan RSAI, dan kerap diundang sebagai pembicara di forum nasional dan internasional. Keterlibatannya dalam program-program ini memperkuat kiprahnya sebagai akademisi yang menjembatani ilmu pengetahuan dengan kebutuhan nyata masyarakat di desa.
Menilik ke belakang, sebagai sosok yang lahir dan tumbuh dalam lingkup petani, kehidupan desa adalah akar yang mengikat Tata. Ia mengalami langsung bagaimana perjuangan orang tuanya untuk memastikan ia mendapatkan pendidikan yang layak.
“Mereka memastikan saya tidak kekurangan apa pun dalam proses belajar, yah walau saya tahu mereka kadang harus hidup sangat hemat,” kenang Tata.
Perjalanan menuju sekolah pun bukan perkara mudah, Tata harus menempuh perjalanan berkilo-kilometer dengan sepeda di jalan tanah berkerikil merah. Namun, ketika ia melanjutkan pendidikan ke kota, perbedaan akses dan kenyamanan semakin terasa.
Saat itulah ia mulai menyadari curamnya jurang perbedaan yang ada. “Saya akhirnya ngeh, kesenjangan kota dan desa nyata adanya,” ungkap Tata.
Pengalaman masa kecil memupuk kepedulian Tata terhadap kehidupan masyarakat desa, khususnya para petani. Ia pun mendorong kuat dirinya untuk menekuni bidang Ekonomi dan Pembangunan Pedesaan di jenjang pendidikan tinggi.
Bukan sekadar pilihan akademis, melainkan juga panggilan untuk tetap terhubung dengan akar budayanya. “Saya ingin bekerja di iklim pembelajar dan tetap terhubung dengan akar saya sebagai orang desa dan anak petani,” jelasnya.
Kelak, Siapa yang Peduli?
Berkecimpung di dunia pengajaran dan penelitian sosial selama lebih dari satu dekade, Tata menjalani profesinya dengan bolak-balik antara kampus dan kampung. Ia menyaksikan perubahan yang terjadi di desa-desa, baik kemajuan maupun tantangan yang masih belum teratasi di Sulawesi Barat.

Misalnya, kesempatan anak-anak pedalaman untuk mengenyam pendidikan tinggi kini semakin luas, tetapi hambatan finansial dan minimnya dukungan masih menjadi kendala besar bagi banyak dari mereka.Di sisi lain, dunia pertanian menghadapi krisis regenerasi. Semakin sedikit anak muda yang tertarik menjadi petani.
Persoalan ini, dalam pandangan Tata, tidak bisa hanya dilihat dari angka statistik saja, tetapi perlu dikulik lebih dalam. “Kita sering hanya memotret langsung keadaan ini, tapi lupa bertanya mengapa ini terjadi? Kenapa petani mendorong anak-anaknya untuk tidak menjadi petani?”
Jawabannya terletak pada kenyataan pahit bahwa menjadi petani bukanlah profesi yang mudah dalam sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan mereka.
Bagi Tata, perubahan ekonomi di pedesaan Sulawesi Barat selalu menuntut petani untuk beradaptasi, termasuk dalam memilih komoditas yang mereka budidayakan. “Dulu banyak yang menanam kakao, lalu beralih ke jagung, nilam, atau sawit, tergantung kebijakan, pasar, dan kondisi iklim,” jelasnya. Perubahan ini berdampak langsung pada keluarga petani, termasuk anak-anak mereka yang sedang menempuh pendidikan tinggi.
“Kalau ekonomi rumah tangga membaik, dukungan untuk anak kuliah bisa lebih besar. Tapi, peralihan komoditas sering butuh waktu dan biaya besar di awal, yang justru bisa membuat keluarga kesulitan menopang biaya pendidikan,” jelasnya.
Tata juga menyoroti dilema antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. “Kita nggak bisa terus-terusan mikirin ekonomi aja tanpa peduli lingkungan. Apa gunanya uang kalau lingkungan hancur?” katanya tegas.
Ia menilai pentingnya merevaluasi ekspansi perkebunan besar dan mencari solusi lebih berkelanjutan. “Misalnya, kenapa nggak integrasikan sawit dengan peternakan? Jadi kita manfaatkan lahan yang sudah ada tanpa harus buka lahan baru,” sarannya. Lantas solusi semacam ini bisa menjadi jalan tengah agar ekonomi tetap tumbuh tanpa mengorbankan lingkungan dan penghidupan petani kecil.
Menyemai Harapan Anak Petani
Bagi banyak mahasiswa di Sulawesi Barat, menempuh pendidikan tinggi bukan sekadar perjalanan individu, tetapi sebuah perjuangan kolektif. “Banyak dari mahasiswa saya adalah generasi pertama di keluarga mereka yang bisa kuliah,” ungkap perempuan berkaca mata ini.
Di keluarga petani dari pedalaman, bisa menempuh pendidikan tinggi sering kali merupakan hasil usaha lintas generasi. Tidak jarang, satu anak yang berhasil kuliah menjadi harapan bagi seluruh keluarga untuk mengubah nasib.
“Kadang, ini bukan cuma usaha satu keluarga, tapi usaha satu kampung,” tambahnya. Pendidikan di sini bukan hanya tentang akademik, tetapi juga tentang membuka jalan bagi generasi berikutnya.Tata juga menyoroti pentingnya dukungan beasiswa, fasilitas praktik, serta kesempatan bagi mahasiswa untuk mengenal dunia luar.
“Mereka perlu pengalaman lebih luas, baik lewat program pertukaran mahasiswa dalam negeri maupun ke luar negeri,” jelasnya. Pengalaman ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga memberi motivasi untuk bertahan dalam proses belajar. Di sisi lain, kualitas dosen juga perlu diperhatikan.
“Kami ini seperti ‘dosen daerah terpencil’, menghadapi keterbatasan yang mungkin tidak dialami kolega di universitas-universitas besar.” Sebagai dosen muda, Tata menyimpan harapan besar untuk pendidikan di Sulawesi Barat. Ia ingin menyaksikan lebih banyak anak dari pelosok bisa kuliah dan angka putus sekolah terus menurun.
“Kesetaraan pendidikan, bukan cuma soal jumlah, tapi juga kualitas,” tegasnya. Namun, keterbatasan infrastruktur masih menjadi batu sandungan. “Kalau jalan saja rusak dan sinyal hilang-timbul, bagaimana mereka bisa belajar dengan layak?” pertanyaan Tata melanjutkan bincang-bincang.
Tentu tantangan itu tidak mematahkan semangatnya. Menutup obrolan bersama Puan Indonesia, sebuah pertanyaan pamungkas pun dilayangkan; apakah kita masih boleh berharap?
Justru dari ruang-ruang kelas sederhana dan pertemuan yang penuh keterbatasan, Tata sepenuhnya yakin perubahan bisa dimulai. “Sebab di dunia yang terlalu sering lupa pada pinggiran, suara dari desa harus cukup lantang untuk mengguncang pusat,” tandasnya.***
***Deasy Tirayoh