Yang Tertinggal di Payung Hitam dan Lembaran Puisi

“Di mana anak-anak kami?
Meski langit Kamis selalu sama
Dua dekade simpan rindu
Bagai sepotong tali di lehermu.”

Penggalan puisi dari halaman 55 buku Saksi Saksi besutan Yona Primadesi, seakan menjelma rangkaian babak dari sejarah kelam negeri ini. Rasa kehilangan yang tak terperi itu, terekam dalam bait-bait bertajuk Payung Hitam Kamisan.

PADA SEBUAH MOMEN, sepekan usai peluncuran antologi tunggalnya, Yona bertemu dengan Ibu Sumarsih—pemilik wajah yang terabadikan di sampul bukunya. Sumarsih, sosok yang nyaris dua dekade, tak henti menghujamkan aspirasinya ke depan Istana Merdeka. Ia menuntut keadilan atas nama Wawan, putranya, serta segenap keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya.

Di tengah Aksi Kamisan itu, suara Yona bergetar membaca dua puisi di hadapan para pencari keadilaan, yang bukan hanya meneguhkan suasana, tetapi juga memperpanjang gema dari suara-suara korban yang hidup di lembar buku garapannya.

Menghimpun Kesaksian Para Penyintas

Yona Primadesi, seorang ibu dari dua anak yang merampungkan program doktoralnya pada tahun 2022, dan kini mengajar di salah satu universitas negeri di Indonesia. Sebagai akademisi sekaligus praktisi literasi anak dan remaja, ia aktif menulis dan telah melahirkan beberapa buku, di antaranya Dongeng Panjang Literasi Indonesia (2018), Ingatan Masa Kecil (2022), serta yang terbaru, kumpulan puisi Saksi Saksi.

Buku Saksi Saksi sendiri, diakui Yona, berangkat dari penelitian literaturnya yang mendalam. Di mana setiap puisi yang ditulis terlahir dari proses panjang membaca, memilah, dan mengolah kesaksian para penyintas tragedi kemanusiaan di Indonesia.

Sejujurnya, Yona tidak pernah membayangkan akan menulis puisi tentang tragedi kemanusiaan. Ketertarikan tersebut muncul tanpa rencana, bermula dari pencarian topik untuk disertasinya. Saat itu, ia mendalami berbagai penelitian tentang anak dan perempuan, hingga menemukan studi Helen Van Klinken yang membahas aneksasi Timor-Timur.

Sebagai seseorang yang tumbuh dalam glorifikasi Orde Baru, Yona terhenyak. Ia hanya mengenal Timor-Timur adalah provinsi ke-27 pada masanya, tanpa memahami luka yang tersembunyi di baliknya. Studi itu membuka matanya pada kenyataan pahit—anak-anak yang dijadikan barang jarahan perang, dipisahkan dari keluarga, diberi identitas baru, dan kehilangan jati diri.

Sontak Yona merasakan keterikatan emosional. Ia adalah seorang ibu yang pernah mengalami perpisahan dengan anaknya, tetapi perpisahan yang dialami anak-anak Timor-Timur jauh lebih menyakitkan—mereka direnggut tanpa pilihan, tanpa kepastian untuk kembali. Salah satu kisah yang paling membekas dalam ingatannya adalah Isabelinha J Pinto, seorang anak Timor yang disebut berulang kali dalam penelitian Van Klinken.

Semakin banyak melahap bacaan, semakin besar rasa kecewanya pada diri sendiri. Yona pun menyadari betapa naifnya cara ia memahami sejarah bangsa. Ia pun tidak ingin anak-anaknya tumbuh dalam ketidaktahuan yang sama.

“Saya tidak ingin mereka hanya tahu versi pemenang. Saya ingin mereka tahu ada korban, ada luka yang masih terbuka,” katanya.

Kegelisahan tersebut akhirnya dibagikan ke putrinya, Abinaya. Serta ke orang terdekatnya, Nermi Silaban. Mereka kompak menyarankan Yona untuk menulis puisi, sesuatu yang awalnya tidak terpikirkan. Selaku akademisi, ia terbiasa dengan tulisan analitis, tetapi puisi memberi ruang yang lebih luas untuk menyuarakan tragedi ini, bahkan membawa getaran yang personal.

Tak ayal, di setiap peristiwa yang diangkat, akan meninggalkan jejak emosional tersendiri. Namun, jika ada satu tragedi yang benar-benar mengguncang Yona, hingga ia harus memberi jarak sebelum menuliskannya, itu adalah tragedi 1965.

“Membaca berkas-berkas kesaksian dari penyintas atau saksi peristiwa 1965 benar-benar menyayat hati. Sesak rasanya membayangkan semua yang mereka alami, terutama perempuan, anak, dan remaja,” ungkapnya nanar.

Penelusuran kisah tersebut membuat emosi pendiri komunitas Sahabat Gorga ini berantakan, hingga ia merasa perlu menunda penulisan puisi-puisi tentang 1965. “Kalau saya paksakan, psikologi saya yang akan bermasalah,” kenang Yona sendu.

Sampai akhirnya, ia tetap menuliskan tragedi itu, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa puisi bukan sekadar wahana berekspresi—melainkan juga cara untuk mengolah duka, marah, dan ketidakadilan yang diwariskan oleh sejarah.

Puisi: Corong Suara yang Terbungkam

Menulis puisi tentang sejarah bukanlah perkara mudah bagi Yona. Dalam prosesnya, ada dua tantangan besar yang dihadapi: belajar sejarah dan belajar menuliskannya menjadi puisi.

“Kesulitan pertama saya tentu saja pada tema besarnya, sejarah. Tidak mudah membaca sejarah, apalagi dari perspektif yang berbeda,” ujar Yona.

Bagi perempuan yang bermukim di Yogyakarta ini, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi kumpulan suara yang sering kali dibungkam. Maka ia harus menentukan peristiwa mana yang akan diangkat, memilih sumber yang kredibel, serta memeriksa ulang kemudian menginterpretasikan data dengan hati-hati.

Saat mendalami berbagai tragedi yang terjadi di Indonesia, terutama di era Orde Baru, Yona menyadari bahwa jumlah pelanggaran HAM yang terjadi begitu banyak. Ia harus membuat keputusan sulit: mana yang harus ditulis terlebih dahulu.

“Bukan berarti peristiwa lain tidak penting, tetapi saya harus melihat mana yang lebih mendesak. Misalnya, saya akhirnya menunda menulis tragedi Talangsari dan Tanjung Priok karena berbagai pertimbangan,” jelasnya.

Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Menyulap kesaksian para penyintas menjadi puisi juga bukan perkara mudah. “Karena ini puisi sejarah, tentu saja puisinya tidak mungkin aku lirik. Tapi menulis lirik naratif juga tidak mudah,” kilahnya.

Bahkan, Yona perlu meminjam pengalaman para korban dan menyampaikannya kembali dengan penuh kehati-hatian. Lebih rinci, menuliskan kisah-kisah ini bukan sekadar mendokumentasikan peristiwa, tetapi juga merangkul penderitaan, kehilangan, dan kesedihan dengan tetap menghormati kenangan mereka.

Sewindu Perjalanan

Perjalanan menulis Saksi Saksi pun menjadi proses panjang yang membentuk gaya kepenulisannya. Hampir delapan tahun ia bergulat dengan tema-tema berat, dan dalam kurun waktu itu, puisinya ikut berkembang.

“Pembaca mungkin bisa melihat perbedaan antara puisi yang saya tulis di awal dengan puisi-puisi yang saya tulis dalam dua tahun terakhir,” ungkapnya seraya membalik halaman demi halaman.

Setiap puisi dalam buku ini bukan hanya jejak kronik, tetapi juga cerminan dari perjalanan Yona sendiri—baik sebagai penulis, perempuan, maupun seorang ibu yang ingin memastikan bahwa sejarah tidak lagi hanya diceritakan dari perspektif pemenang.

Manariknya, di tengah proses tersebut, Yona mendapat tantangan lain dari Nermi Silaban. “Dia selalu menuntut saya menemukan gaya menulis yang lebih feminin,” ungkapnya. Menurut Nermi, maskulinitas dalam teks puisi perempuan masih sangat dominan, baik dalam struktur sintaksis maupun metafora yang digunakan. Dorongan ini memaksa Yona bereksperimen dengan bahasa, mencoba menghadirkan perspektif yang lebih lembut namun tetap kuat.

Dari segi konten, Saksi Saksi memang banyak menampilkan kesaksian penyintas perempuan. Bukan tanpa alasan—dalam setiap konflik, perempuan selalu menjadi korban yang paling rentan. Di mata Yona, kehadiran perempuan sering disimbolkan sebagai sumber kekuatan, sehingga ketika mereka “ditaklukkan” atau “dipermalukan,” dampaknya menjadi lebih luas dan mendalam, baik secara psikologis maupun sosial.

Sampul Buku, Payung Hitam, dan Kesaksian

Awalnya, Yona Primadesi dan tim Penerbit Gorga berencana menggunakan foto para penyintas sebagai ilustrasi sampul Saksi Saksi. Namun, hal itu terbilang kompleks karena memerlukan izin langsung dari mereka. Di tengah pencarian alternatif, muncul ide dari Nermi: bagaimana jika menggunakan foto Ibu Sumarsih? Yona langsung setuju. Sebab semangat perjuangan Ibu Sumarsih selaras dengan maksud dan tujuan bukunya.

Namun pada perjalanannya, tim sempat kesulitan menemukan foto yang tepat di internet, sementara Yona berkeras agar buku ini terbit pada Februari, bulan kelahirannya. Alhasil, mereka pun sepakat menggunakan foto karya Tri Le sebagai ilustrasi sementara.

Takdir menyelaras, tanpa disangka di acara peluncuran buku, pada 22 Februari 2025, di Baca Di Tebet, aktivis Daniel Frits Maurits turut hadir dan mendokumentasikan acara. Ia bahkan mengirimkan rekamannya kepada Ibu Sumarsih dan mengajak Yona untuk hadir dalam Aksi Kamisan tanggal 27 Februari 2025. Lebih dari itu, Ibu Sumarsih sendiri meminta Yona untuk membacakan puisinya di sana.

Yona memanfaatkan kesempatan itu untuk berkolaborasi dengan fotografer Nawa Dwi Setya, yang kemudian mengabadikan potret langsung Ibu Sumarsih. Setelah memperoleh izin, foto tersebut resmi digunakan sebagai ilustrasi sampul bukunya, semakin menegaskan pesan perjuangan yang diusung Saksi-Saksi.

Mengapa Puisi?

Buku Saksi Saksi adalah sebuah permulaan. Dari rangkaian puisi di dalamnya, Yona pun tengah bersiap untuk sejumlah proyek lanjutan. Salah satunya adalah Melagukan Puisi, di mana ia menggandeng putranya, Muhammad Syarief Hidayatullah, yang merupakan pentolan grup band YUNI. Kolaborasi ini untuk menciptakan instrumen yang menghidupkan bait-bait puisi ke dalam nada.

Lebih lanjut, Yona meyakini bahwa perjalanan ini belumlah usai. Ia berharap tetap memiliki energi untuk terus menuliskan kisah-kisah lainnya. Seperti yang tertera dalam puisi Berkas-berkas Kesaksian:

“Itu belum seluruhnya,
beberapa nama masih kesepian
dan kau bisa menemuinya di lain waktu.”

Di ujung perbincangan bersama Puan Indonesia, sebuah pertanyaan pamungkas pun terlayangkan, mengapa puisi?

Sejenak perempuan berdarah Minang itu tertegun, kemudian mengamini sebuah pandangan bahwa puisi bukan sekadar bentuk ekspresi, melainkan jembatan untuk mengenalkan sejarah tanpa harus mewariskan luka.

“Jika sejarah itu menyakitkan, bagaimana kita mengenalkannya tanpa mengahadirkan rasa yang sama? Jawaban saya: melalui puisi, tutupnya.***

***Deasy Tirayoh

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top