The Great Reset, Setel Ulang Segalanya

Oleh: Mardiyah Chamim

Ibuku bercerita, pagi ini dia memasak tumis kulit jeruk. Ini pertengahan Februari. Sudah dua minggu dia tak bisa meninggalkan apartemen. Persediaan sayur sudah habis. “Sudah kucek di internet, kulit jeruk kaya vitamin,” katanya. “Aku pintar, ya. Terlalu berbahaya keluar dari apartemen di saat seperti ini.”

Begitulah penggalan artikel berjudul “Of The Virus and God, Orange Peels and Party” yang diterbitkan The New York Times, ditulis oleh Yangyang Cheng, ahli fisika yang tinggal di Chicago, Amerika Serikat. Dia mengisahkan percakapan jarak jauh via surel dengan sang ibunda, yang tinggal di kota tetangga Wuhan, Cina, wilayah yang menjadi episentrum wabah Covid-19. Wuhan sedang lockdown total, Februari 2020 itu. Tegang, rindu, cemas, juga “gegar budaya” yang terjadi antara ibu-anak yang terpisah dua benua, Cina dan Amerika, di masa yang penuh rasa jeri.

Tulisan Yangyang Cheng itu meninggalkan kesan yang dalam. Berhari-hari saya membayangkan bisa ngobrol dengan almarhumah ibu saya, yang meningal pada 2014. Topik percakapan apa kiranya yang kami bahas di masa pandemi seandainya Ibu saya masih hidup. Saya mungkin mencemaskan kadar gula darah ibu yang bergejolak, juga sibuk memastikan ketersediaan obat, vitamin, dan makanan ibu. Saya pasti merasa bersalah karena tak bisa berada di sampingnya. Saya tinggal di Jakarta dan ibu di Surabaya. Ibu saya, yang tak pernah mau merepotkan orang lain, mungkin berusaha menenangkan saya, “Wis, ora usah khawatir. Aku apik-apik wae.”

Pekan-pekan pertama pandemi, saya tak luput dari cemas. Berita kematian bertubi-tubi seperti hujan mata panah. Ada kisah karyawan sebuah lembaga yang terkena Covid, lalu meninggal sendirian di apartemen. Kepada adik dan beberapa teman dekat, kami saling berpesan, “Kalau aku tak berkabar dalam dua hari, tolong cek, ya. Aku tak mau sakit sendirian.”

Kesedihan menelan saya. Melamun, mendengar musik dengan volume keras, belanja barang yang tak penting amat, dan memesan aneka makanan via layanan online menjadi aktivitas pelampiasan saya di tiga bulan pertama pandemi. Berat badan bertambah beberapa kilo. Duh. 

Situasi Januari – Maret 2020 memang layak menerbitkan cemas. Para pejabat berlomba memberi statemen penyangkalan. Sedangkan sejak Januari 2020, Covid-19 sudah dilaporkan terjadi di Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Australia. Mengingat lalu-lintas orang melalui pesawat dari dan ke Indonesia cukup intensif di tengah musim libur tahun baru, mustahil rasanya Covid-19 belum mampir ke negeri ini.

Banyak teman, melalui berbagai platform media sosial, sibuk mengingatkan tentang pentingnya kewaspadaan dan pelacakan yang terinfeksi Covid. Namun, di tengah masyarakat yang denial, mereka yang menulis peringatan seperti ini, pada Januari – Februari 2020, justru menjadi sasaran perisakan. “Mbak Mardiyah kurang bersyukur, nih. Kalau memang belum ada Covid, ya, jangan diada-adain, dong,” kira-kira begitu komentar yang datang. Persoalannya, bagaimana kalau ketiadaan kasus itu hanyalah kondisi semu, gara-gara minim pelacakan? Tidak jarang juga muncul omong kosong penghiburan, “Orang Indonesia, kan, kebal virus corona.” 

Saya kemudian ngebut membaca buku “The Great Influenza”, karya sejarawan John M. Barry tentang pandemi influenza di tahun 1918. Saya penasaran bagaimana wabah influenza kala itu bisa berakhir. Ketika itu memang ada vaksin, tetapi tidak efektif. Setelah tiga tahun membikin dunia gering dan kehilangan 50-100 juta jiwa, pagebluk influenza perlahan memudar. Bukan karena ditemukan vaksin atau obat ampuh, melainkan karena orang-orang menerapkan jaga jarak, menggunakan masker, dan menjaga kebersihan.

Lalu, di tengah situasi serba risau, tulisan Yangyang Cheng di NYT merebut perhatian saya. Tulisan yang membuat saya rapuh karena terkenang pada almarhumah ibu. Namun, tulisan ini sekaligus punya daya penyembuh. Saya merasa tidak lagi sendirian. Ada orang lain yang juga sedang rapuh, dengan berbagai sebab, dan bersedia berbagi rasa kepada dunia. 

Nona Cheng menulis kolom kulit jeruk, Tuhan, dan partai itu dengan sepenuh hati. Dia menyajikan berbagai pergulatan kenangan atas Cina, negara otoriter yang ditinggalkannya dua belas tahun lalu. Chen menutup tulisannya dengan kalimat, “Kotak surat elektronikku menyala lagi dengan pesan-pesan dari ibuku. Dia akan terus menulis saat saya tidur. Kubayangkan, sebuah terowongan terbuka menghubungkan seisi planet, terowongan yang menjadi tempat pertemuan pemikiran-pemikiran kami.” 

Kalimat penutup Yangyang Cheng itulah yang menggerakkan saya. Tulisan, seperti kata Nona Cheng,  adalah alat strategis penghubung perasaan dan pemikiran orang-orang yang terpisah jarak lantaran pandemi. Mengapa tidak kita ajak banyak teman untuk menuliskan pengalaman pribadi menghadapi saat-saat penuh rodeo emosional ini?

Saya mengasah gagasan itu dengan beberapa kawan, terutama Purwani Diyah Prabandari (Redaktur Pelaksana Tempo English), Indria Fernida (aktivis Asia Justice and Rights), Kristin Samah (jurnalis lepas, mantan Sinar Harapan), Diah Saminarsih (Penasehat Dirjen WHO Bidang Gender dan Pemuda), Monica Tanuhandaru (mantan Direktur Kemitraan), dan Anis Hidayah (aktivis Migrant Care). Semuanya setuju dan siap membantu terwujudnya gagasan ini. Syukurlah, semesta mendukung, hingga akhirnya buku ini benar-benar terwujud. 

Di bulan awal pandemi, Kristin juga sedang menggelar serial kelas “Menulis sebagai Sarana Penyembuh”. Pesertanya dari beragam latar belakang. Beban hidup yang kian menghimpit, tak ada pemasukan, pemutusan hubungan kerja, adalah drama yang harus dihadapi di masa pandemi. Pertemuan intensif dengan suami, istri, anak-anak, dengan work from home, school from home, pray from home, juga memunculkan beban dan dinamika psikologis tersendiri. 

Kami sepakat bahwa ajakan menulis bersama ini penting, setidaknya karena didukung tiga alasan, yakni:

Alasan pertama, menulis bisa menjadi sarana penyembuh, healing therapy, mengurai beban psikis yang menumpuk ini. Kami sepakat mengajak teman-teman perempuan untuk menuliskan pengalaman menghadapi pandemi. Kenapa khusus perempuan? Karena kami yakin, perempuan menghadapi beban lebih berat, Terutama di masa pandemi. Suami, meskipun berada di rumah, tetap tak mengubah fokus kerja rumah tangga pada perempuan. Begitu pula urusan sekolah anak, tugas-tugas kelas online, biasanya tetap menjadi tugas para ibu. 

Pandemi ini juga memunculkan gelombang badai yang luar biasa. Bagi mereka yang tinggal di rumah dan lingkungan yang mendukung, tentu tak masalah semua kegiatan dilakukan di rumah. Protokol kesehatan pun dijalankan dengan nyaman, didukung berbagai fasilitas. Namun, berbeda halnya dengan saudara-saudara kita yang tinggal di RSSS (rumah sederhana sekali, selonjoran pun tak bisa), anjuran menjaga jarak dan hidup sehat seakan mustahil.

Benar, pandemi ini memaksa seluruh dunia menghadapi samudera yang diamuk topan badai yang sama. Namun, kapal dan perahu yang kita tumpangi berbeda-beda. Ada sebagian kecil yang berada di dalam kapal yang kokoh. Lebih banyak lagi warga dunia yang menghadapi amukan samudera saat berada di dalam perahu kecil dan rapuh.

Alasan kedua, kami juga memperhatikan liputan media lebih banyak mengulas pernyataan pejabat. Jarang sekali ada liputan lapangan yang benar-benar memotret kehidupan sehari-hari masyarakat. Liputan media didominasi peristiwa yang ada di Jakarta dan kota-kota besar, itu pun sebagian besar berpusat pada penjelasan pemerintah. Situasi yang sangat bisa dipahami mengingat jurnalis pun kesulitan turun ke lapangan. Risiko penularan Covid ini membuat jurnalis harus ekstra berhati-hati saat meliput sehingga reportase dari lapangan pun berkurang. 

Alasan ketiga, kisah-kisah individu adalah batu bata penting yang membangun tembok sejarah. Buku “The Great Influenza” adalah catatan sejarah yang luar bisa. Rincian data, kisah personal, suasana tempat dan situasi sosial-politik, ditampilkan dengan detil yang sungguh mengesankan. Barry melakukan riset yang luar biasa. Dia menggali ingatan kolektif seabad lampau dengan memanfaatkan dokumentasi surat kabar dan berbagai arsip lembaga. Barry begitu telaten mengumpulkan kisah dan kesaksian individu saat menghadapi pandemi 1918.

Perkara asal-mula wabah, misalnya, Barry menelusuri pemberitaan surat kabar. Dia sampai pada kesimpulan bahwa wabah bermula dari sekelompok prajurit muda di kota Haskell, Kansas, yang bersiap berangkat ke kamp militer Funston. Mereka menjalani pelatihan dan akan dikirim ke medan perang. Sial, seorang juru masak di barak Funston jatuh sakit. Tak lama kemudian, 237 prajurit sakit dan sebagian besar harus dirawat. Ada 38 prajurit meninggal. Peristiwa ini tidak memicu alarm apa pun. Semua agenda berjalan normal. Prajurit yang sehat dikirim ke medan perang. Mereka tak sadar bahwa para prajurit inilah bakal membawa “senjata’ virus mematikan ke seluruh dunia.

Maret sampai Mei 1918, virus sudah menyebar ke Jerman, Perancis, dan Inggris. Ratusan ribu prajurit bertempur, tinggal dalam barak-barak sempit dan bertukar keringat. Sayangnya, negara-negara yang sedang berperang ini semuanya menyensor media. Tak boleh ada berita negatif. Di medan perang, ribuan prajurit berjatuhan seperti lalat. Wabah pun menyebar ke seluruh dunia.

Detil lain dalam buku “The Great Influenza” yang cukup berkesan adalah suasana di Kota Philadelphia, Pennsylvania. Ketika wabah memuncak, pada 1918 itu, seluruh rumah di seantero kota diwarnai aneka warna kertas krep. Secarik kertas krep yang menggantung di pintu, ketika itu, adalah penanda bahwa ada penghuni rumah yang baru saja meninggal. Kertas krep putih berarti yang meninggal masih muda, kertas krep hitam untuk yang berusia paruh baya, dan kertas krep abu-abu bagi mereka yang sepuh. Sesuai catatan Anna Milani, warga Philadelphia, anak-anak berlarian dari rumah ke rumah, penasaran melihat kertas warna-warni yang terus bertambah saban hari. Detil yang kaya ini hanya bisa tercatat dalam buku sejarah bila ada seseorang yang menulis.

Berangkat dari ketiga alasan itulah kami sepakat mewujudkan buku kumpulan tulisan “Kita Bukan Sekadar Angka” ini. Sengaja kami khusus mengajak para perempuan. Kami yakin, perempuan lebih banyak berada di pusaran utama gelombang krisis yang diakibatkan pandemi. Perempuan memanggul beban yang lebih dibanding para lelaki.

Persoalannya, mengumpulkan tulisan puluhan perempuan dari berbagai latar belakang ini tidaklah mudah. Terutama karena tulisan yang kami inginkan adalah tulisan yang bersifat subyektif, catatan personal. Maka, kami memutuskan mengawali gagasan ini dengan membuat kelas menulis. Ada beberapa kali kelas menulis kami gelar. Trio jurnalis, yakni saya (mantan jurnalis Tempo), Purwani Diyah Prabandari (Redaktur Pelaksana Tempo English), dan Kristin Samah (jurnalis lepas, mantan jurnalis Sinar Harapan) bertindak sebagai mentor, yang secara intensif menemani para peserta menulis.

Mentoring tentu bukan semata soal teknik menulis. Kami juga membahas bagaimana memaknai sebuah peristiwa yang dialami para penulis. Sering kali, si penulis begitu terserap pada rincian sebuah kejadian sehingga belum ada proses meresapi dan memaknai —hal yang baru dilakukan saat dia benar-benar menulis. Ada proses reflektif dalam menulis, proses yang memperkaya kami semua, baik penulis dan editor. Tak jarang saat tulisan selesai disunting, yang melalui proses mencerna dan memaknai, penulis menjadi terharu dan tak menyangka apa yang dia lalui ternyata begitu bermakna. “Saya jadi mbrebes mili membaca tulisan saya, Mbak. Ternyata, menulis memang menyembuhkan dan membuat kita mengapresiasi apa yang telah kita lakukan,” begitu respon yang kerap muncul.

April 2020, awal kami mengumpulkan teman yang berminat. Tidak kami duga, ternyata sambutan meriah. Satu teman mengajak teman lainnya. Peserta terus bertambah, dari belasan menjadi 20, 30, 40, 50an, dari Aceh sampai Papua. Hati kami makin berbunga saat Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Prof. Nila F. Moeloek, mantan Menteri Kesehatan, turut memperkaya buku ini dengan tulisan reflektif yang kuat. Sebuah kehormatan bagi kami. 

Patut dicatat bahwa semua yang terlibat dalam buku ini adalah perempuan. Penulis, penyunting, penyunting bahasa, desainer visual, semuanya perempuan. Kami juga sepakat, dana yang terkumpul dari penjualan buku ini akan didonasikan kepada kelompok perempuan yang terdampak Covid-19. Yess, this is girls’ power!

Buku ini disusun dalam lima bagian. Lima bab yang menampilkan kisah 56 perempuan Indonesia dari Aceh sampai Papua.

Bab pertama, “Para Penyintas dan Yang Terkasih”, adalah kisah para survivor dan keluarganya. Mereka yang berkisah dalam bab ini adalah Ratri Anindyajati dan Maria Darmaningsih, ibu Ratri, yang adalah pasien awal Covid-19 di Indonesia (Sita, saudari Ratri, yang adalah pasien pertama). Nama Sita dan Maria ramai disebut media setelah konferensi pers yang dilakukan Presiden Joko Widodo, pada 2 Maret 2020. Keluarga ini langsung saja dihujani stigmatisasi dari lingkungan, penghakiman atas gaya hidup, dan pelanggaran kerahasiaan data-data pribadi oleh berbagai jenis media.

Pada bab ini hadir pula Yuliannova Lestari, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Wuhan pada saat kehebohan lockdown. Yuli mengisahkan detik-detik mengharukan saat “Tim Lima”, yang dikoordinir Kedutaan Besar RI di Beijing, mengevakuasi warga Indonesia di Wuhan. “Ayo, mulih, Rek!” Kalimat itulah yang dilambai-lambaikan pilot saat para WNI yang dievakuasi memasuki pesawat. Kalimat sederhana yang mengguratkan pesan kebersamaan dan seruan dari tanah air.

Pada bab ini juga hadir Prof. Adi Utarini. Guru besar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini bercerita tentang almarhum suaminya, Prof. Iwan Dwiprahasto, yang meninggal akibat Covid-19. Adalah Adi Utarini yang ketika itu, dengan risiko terkena stigma, berani membuka identitas sang suami kepada media. “Dengan niat untuk kebaikan orang lain, saya yakin Mas Iwan sependapat dengan saya,” tulis Adi Utarini. Pemaparan identitas ini memungkinkan tim epidemiolog melakukan langkah tracing and test, melacak dan mengetes, 30-an orang yang pada minggu itu bertemu dengan (almarhum) Prof. Iwan Dwiprahasto dan Prof. Adi Utarini.

Bab 2, “Mereka di Garis Depan”, menampilkan kisah para pemberani yang ada di garis depan penanggulangan pandemi. Mereka yang menulis adalah Prof. Herawati Sudoyo dari Lembaga Eijkman, dr. Maria A. Witjaksono dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, dr. Zuhdiyah Nihayati dari RS Muhammadiyah Lamongan (Jawa Timur), dan Hana Krismawati yang adalah peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jayapura. Dua perawat dari RS Dharmais, yakni Noor Siti Noviani Indah Sari dan Vera Sulistyaningrum, turut melengkapi bagian ini. Mereka hanya sebagian kecil dari para pemberani, petugas medis, yang berjibaku sekuat tenaga di lapangan.

Terima kasih dan hormat secara khusus kami sampaikan pada tenaga medis. Buku ini adalah juga penghormatan pada tenaga medis yang telah mempertaruhkan kesehatan diri dan keluarga demi penanangan pandemi. Sbagai catatan, sejak Maret – 5 Desember 2020, Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan total ada 342 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19.

Pada Bab 3, “Perjuangan di Berbagai Medan”, kami tampilkan belasan kisah perempuan yang berjuang di tengah berbagai kondisi. Ada penyintas kanker, yakni Endri Kurniawati, Fransisca Ria Susanti, dan Retno Kustiati, yang mengisahkan betapa situasi pandemi adalah ujian yang berganda. Lalu, ada Aji Yahuti, jurnalis, yang meliput di tengah situasi yang serba muram, mulai dari rumah sakit, penduduk perkampungan padat yang tak mungkin menjaga jarak, hingga ke pemakaman korban Covid-19.

Yang juga mengesankan bagi saya adalah kesediaan Stephanie Kevin Halim berbagi pengalaman. Stephanie menulis pengalamannya menjalani transisi legal, yakni pengesahan perubahan identitas dari laki-laki menjadi perempuan. Melalui tulisannya, Stephanie menunjukkan bahwa pengakuan identitas sebagai perempuan ini begitu penting sehingga dia bersedia menempuh segala risiko. Menjalani rangkaian proses persidangan dengan risiko terinfeksi Covid-19 tetap dia jalani.

Bab 4 buku ini adalah bagian yang paling membesarkan hati, yakni tentang “Solidaritas Bertumbuh”. Begitu banyak inisiatif saling menolong yang tumbuh subur di lapangan.

Irma Hidayana, bersama sekelompok orang muda dari berbagai latar belakang, merintis sebuah platform pelaporan kolektif Lapor Covid-19. Ketersediaan data yang bisa diandalkan memang menjadi kunci penanganan pandemi. Kehadiran Lapor Covid-19, yang memanfaatkan teknologi digital adalah dorongan bagi pemerintah untuk sungguh-sungguh mengurus data penyebaran Covid.

Pada bab ini tampil pula Diah Saminarsih, Penasehat Khusus Dirjen WHO untuk Bidang Gender dan Pemuda. Berkantor di Jenewa, Diah memantau perkembangan pandemi di tanah air dengan campuran rindu dan cemas. Diah juga menggerakkan jejaring nasional dan internasional yang dia miliki menangani pandemi lebih baik. Dari kejauhan, Diah juga memantau dan melanjutkan Pencerah Nusantara yang digelar CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives), yakni menerjunkan tim kesehatan (dokter, perawat, ahli farmasi, ahli kesehatan masyarakat) ke beberapa kecamatan di Jakarta dan Jawa Barat. Tim ini ditugaskan untuk memperkuat layanan kesehatan primer, yakni puskesmas, yang semestinya menjadi ujung tombak penanganan pandemi.

Leya Cattleya Soeratman dan Zubaidah Djohar, bersama komunitas Empu, meluncurkan inisiatif pembuatan masker dari kain perca. Upaya yang didasari solidaritas pada ibu-ibu penjahit yang kehilangan order dan sekaligus ikhtiar mengatasi kekurangan masker di masa awal pagebluk. Masker kain yang diinisiasi kelompok Empu ini kemudian dibagikan ke berbagai kelompok yang membutuhkan. Kelompok Empu juga membuat masker eksklusif, dengan bahan kain batik dan ecoprint, yang dijual sebagai alat penggalangan dana. Kemudian, dana yang terkumpul digunakan untuk membeli masker, pembersih tangan, disinfektan, APD, yang dikirimkan ke berbagai puskesmas di berbagai daerah, antara lain di NTT, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Kisah solidaritas muncul dari para puan yang tinggal di Aceh sampai Papua. Laila Juari, dari Lhok Seumawe, Aceh, bersama Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), berjalan dari gampong ke gampong. Mereka menemui warga yang memendam trauma pada kekerasan yang adalah keseharian Aceh di masa lalu. Laila dan relawan RPuK menjelaskan apa itu pandemi, bagaimana tetap beraktivitas memetik buah pinang sambil tetap menjaga jarak dan kebersihan. 

Di Desa Kalembunan, Bulungan, Kalimantan Utara, ada Sri Tiawati yang mengisahkan pengalaman warga Suku Punan menghadapi pandemi. Situasi wabah membuat warga Punan menggali lebih dalam kekayaan pengetahuan lokal, tentang aneka tanaman yang berkhasiat obat, juga tentang berbagai ramuan yang bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Sebagian Suku Punan juga kembali masuk ke hutan, menyatu dengan alam, demi mencegah penularan virus.  Sebuah kesempatan berharga untuk menggali kembali dan menerapkan kearifan lokal, warisan para leluhur, dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam.

Kisah yang juga membesarkan hati datang dari Sentani, Jayapura, Papua. Rode Wanimbo, Ketua Departemen Perempuan Gereja Injili di Indonesia (GIDI), menuliskan pengalamannya. Rode Wanimbo dan Perempuan GIDI bergerak membantu Mama-mama, terutama di pedalaman, memahami risiko dan bagaimana mencegah penularan virus corona. Mereka membagikan masker, hand sanitizer, dan berbagai perlengkapan kebersihan. “Anak perempuan, waaa, waaa, terima kasih su ingat kami,” begitu sambutan yang diterima Rode saat berkunjung ke pasar-pasar. Berbagai jenis bibit tanaman, mulai dari jahe, ketimun, singkong, berbagai jenis ubi, dibagikan. Para pemuda siap membantu, turun tangan menanam aneka bibit tanaman itu bersama mama-mama. 

Solidaritas tumbuh dalam berbagai bentuk, benang merah yang menyatukan kita semua. Tagar saling bantu #WargaBantuWarga menggema di mana-mana, benar-benar modal sosial yang membesarkan hati.

Setel Ulang Segalanya 

Saya memberi penekanan pada Bab 5 “Pandemi dan Refleksi” dalam buku ini. Babak yang berisi perenungan, endapan tangis kesedihan, pengetahuan, dan harapan akan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.

Sampai tulisan ini diturunkan, 13 Desember 2020, belum ada tanda-tanda pandemi akan berakhir. Sesuai laporan Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19, per 13 Desember 2020, wabah ini telah menginfeksi 617.820 orang dan membuat 18.819 nyawa melayang. Di level internasional, tercatat virus corona menginfeksi 70,9 juta orang dan menewaskan 1,6 juta jiwa.

Pandemi ini sebuah tragedi epik yang terlalu mahal jika dibiarkan berlalu tanpa pembelajaran. Segala hal perlu disetel ulang. The great reset, the great reboot, begitu istilah yang beredar. Alam raya telah memaksa kita berubah. Business as usual itu sudah kuno. Cara-cara baru yang lebih respek pada sesama manusia dan pada alam harus didorong lebih kuat. “Pandemi ini membuktikan, kita harus mendasarkan segala kebijakan pada data dan hasil riset. Evidence based policy,” kata Prof. Herawati Supolo Sudoyo, dalam sebuah percakapan dengan penulis. Sains, data, seharusnya menjadi panduan dalam merumuskan kebijakan. 

Bivitri Susanti, pakar hukum, mengawali bab ini dengan menyampaikan refleksi kritis atas longgarnya kepemimpinan di masa-masa awal pandemi. Maju-mundur kebijakan pembatasan sosial berskala besar, kebijakan nasional yang tidak sinergis dengan daerah, juga penyangkalan pejabat di sana-sini, membuat penanganan pandemi di negeri ini kalang-kabut. Pembenahan kebijakan dan kepemimpinan yang lebih baik wajib diupayakan. 

Chandra Prijosusilo menekankan pentingnya kembali menjaga keseimbangan alam, menjaga cakra manggilingan. Alam yang dieksploitasi berlebihan telah membuat virus-virus pemicu penyakit zoonotik (yang menular dengan perantaraan hewan) kian meningkat. Satu-satunya jalan adalah kembali menjaga keseimbangan alam. Alia Swastika, senada dengan Chandra, juga menyerukan kembali pada alam. Pandemi inilah panggilan semesta bagi para seniman, juga kurator seni, untuk lebih merangkul alam dan orang-orang yang tak punya akses pada galeri-galeri seni yang sering terasa begitu jauh.

Pada bab ini, Prof. Nila F. Moeloek, Menteri Kesehatan RI (periode 2014-2019) memberikan tulisan reflektif yang komplet. Kesehatan seharusnya bukan cuma urusan kedokteran kuratif, tetapi harus dikeroyok dari berbagai sisi. Perumahan, sekolah, air bersih, pertanian, lingkungan, juga pintu-pintu imigrasi yang menjadi titik rawan transmisi penyakit, harus dibenahi bersama. Kementerian Kesehatan tak bisa dibiarkan bekerja sendirian. 

Nila Moeloek juga menekankan mendesaknya penguatan layanan kesehatan di tingkat primer: puskesmas. Dokter di puskesmas idealnya berlaku seperti dokter keluarga, yang memantau kesehatan keluarga-keluarga dengan telaten berbekal data riwayat medis yang bisa diandalkan. Hanya dengan begini, maka persoalan kesehatan bisa ditangani dengan lebih baik secara preventif. Nila ingin masyarakat berseru, “Saya ingin kesehatan kami dijaga oleh puskesmas yang kuat, yang aktif memperhatikan riwayat kesehatan keluarga-keluarga kami.” 

 Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam bab ini bercerita tentang dunia diplomasi yang berubah seiring masa pandemi. Tantangan dunia diplomasi semakin kompleks dengan dunia yang makin rentan. Evakuasi WNI, kerja sama riset, pengadaan vaksin membutuhkan langkah-langkah diplomasi yang lihai. Dan, di tengah dunia yang makin kompleks, upaya mewujudkan kemandirian nasional, terutama di bidang kesehatan, tak boleh surut. 

Sebagai tulisan penutup, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyuguhkan refleksi yang bermakna tentang pentingnya menggunakan lensa perempuan. Kebijakan apa pun, tak terkecuali yang terkait penanganan pandemi, akan berdampak lebih kuat jika  mengutamakan lensa perempuan. Dalam tulisan ini, Sri Mulyani menyampaikan mengapa perempuan menjadi kunci perubahan ke arah yang lebih baik. Kebijakan yang genderless, tanpa memperhatikan dan mengutamakan perempuan, sudah lama diterapkan dan terbukti tidak cukup menjadi daya ungkit perubahan. Maka, kini saatnya kita berubah dan memasukkan pertimbangan gender dalam berbagai kebijakan.

Terima kasih, Puan dan Tuan! 

Terakhir, sebagai penutup tulisan pengantar yang panjang ini, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, puan dan tuan, sehingga buku ini terwujud. Salut saya sampaikan pada seluruh puan yang telah turut menulis di buku ini. Saya berharap kita semua terus menularkan proses menulis kepada komunitas-komunitas lain. Pengalaman menghadapi pandemi ini perlu dituliskan dan diabadikan. Karena kita bukan sekadar angka statistik yang beku. Ada kisah di balik setiap angka kasus dan kematian akibat virus corona yang dilaporkan setiap hari. 

Terima kasih tak terhingga pada tim inti, yakni Purwani Diyah Prabandari, Kristin Samah, yang membantu mulai dari perumusan ide, kelas menulis, pengumpulan naskah, hingga proses penyuntingan. Saya sangat memahami bahwa mewujudkan buku ini bukanlah proses yang mudah, terutama karena kita masing-masing harus bergulat dengan kesibukan dan kecemasan menghadapi pandemi. 

Tak lupa terima kasih kepada para editor yang turut berjibaku, yakni Andari Karina Anom (mantan jurnalis Tempo), Emmy Fitri (mantan jurnalis The Jakarta Post), Tasha Agripina dan Sekar Septiandari (keduanya editor bahasa Tempo). Saya juga menyampaikan terima kasih pada Cindy Saja, ilustrator dan desainer visual yang berbakat, yang membuat buku ini tampil keren. Secara khusus saya dan segenap tim menyampaikan terima kasih pada Diah Saminarsih yang telah menggerakkan jaringan para dermawan untuk membiayai terbitnya buku ini. 

Sekali lagi, terima kasih, Puan dan Tuan.

****

Mardiyah Chamim 

Jurnalis, mantan Tempo, mendalami berbagai persoalan lingkungan, perubahan iklim. Penulis buku “Menjaga Rimba Terakhir”, pendiri situs Puan Indonesia, yang memuat mozaik kisah kehidupan perempuan Indonesia. 

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top