Kurator, Seni, dan Sebuah Efek Kupu-kupu

Kurator dan penulis seni kontemporer yang kini Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta. Berpengalaman 15 tahun mengelola ruang seni lokal, nasional, dan internasional. Baginya, seni bukan sesuatu yang terisolasi di dalam kotak putih, melainkan menggali narasi yang terlupakan dari orang-orang biasa, lalu menghadirkannya kepada orang biasa lainnya. 

Saya ingin menjalani kerja kuratorial sebagaimana yang saya alami pada masa pandemi ini: bekerja dengan kehidupan yang lebih dekat, melihat praktik-praktik kehidupan sekitar sebagai penciptaan seni, mempertemukan seniman kontemporer dengan mereka yang bertani. 

Pandemi ini seperti dua sisi mata uang yang bertolak belakang, dalam posisi yang sama kuatnya, serta memunculkan hal-hal yang tak pernah terpikirkan dalam kehidupan manusia kontemporer. Sisi baik dan yang kurang menyenangkan, namun keduanya membantu saya merefleksikan perjalanan hidup saya selama 40 tahun ini. Bahkan membuka jalan baru untuk menemukan lagi tujuan dan jalan hidup saya. 

Saya bekerja sebagai seorang kurator seni, selain penulis dan peneliti masalah seni dan kebudayaan. Semenjak satu dekade lalu, seni rupa kontemporer telah berkembang sedemikian rupa, menjadi global, seperti sebuah keniscayaan. Tentu saja global di sini punya makna kosmopolitan-nya; menjadi internasional, bepergian secara intensif ke sana-kemari, terlibat dalam perhelatan-perhelatan seni yang besar dan glamor atau justru mencekam, dari bursa seni (art fair) kelas satu hingga mengajar sebuah kelas di Benua Afrika. Di sisi lain, penghayatan atas global juga membawa saya pada perjalanan menautkan praktik-praktik seni tradisi atau sejarah lokal peristiwa dunia, sehingga saya juga sering bepergian ke beberapa wilayah di Nusantara. Ada perjalanan ulang-alik yang mengesankan, memberi saya begitu banyak kesempatan belajar. Akan tetapi, pada saat yang sama, semua terjadi begitu cepat, simultan, dan sering kali justru berkejaran dengan waktu. 

Selama masa pandemi, semua proyek luar negeri dan pekerjaan luar kota saya batal atau ditunda. Pertama kalinya dalam 15 tahun terakhir, saya “dipaksa” berada di Yogyakarta lebih dari dua bulan. Situasi di Yogya mungkin berbeda dengan kota-kota besar lain, di mana perjalanan dalam kota menjadi sangat terbatas. Di Yogya, kami masih bisa bepergian dan bertemu teman-teman, tentu tetap mematuhi protokol kesehatan. Meski demikian, acara-acara formal dan publik telah dipindahkan secara daring pada tiga bulan pertama. Alhasil, sebagian besar waktu kemudian dihabiskan di depan laptop, mengejar ini-itu melalui layar, dan mengandalkan koneksi di udara. 

Studio yang saya persiapkan sejak Agustus 2019, struktur bangunannya selesai pada Februari 2020, tepat sebelum masa pandemi. Sembari menyelesaikan detail-detail bangunan, saya memanfaatkan lahan sisa untuk berkebun serta mempelajari bagaimana menanam dan merawat tanaman. Saya menggunakan kantong-kantong plastik bekas yang selama ini saya kumpulkan sebagai tempat menyemai benih, sembari menunggu lahan tanam siap. Hampir dua minggu, bibit tanaman saya pindahkan ke lahan, sementara saya mulai menyiapkan pupuk perawatannya. Saya menanam cabai, tomat, terung, kacang panjang, bayam, kangkung, mentimun, dan berbagai ragam rimpang-rimpangan, seperti jahe dan kunyit. Ternyata, berkebun menjadi aktivitas paling menyenangkan untuk melewati pandemi. Berkebun membuat saya belajar lagi ekosistem kehidupan, rantai makanan, serta relasi antara kita dan seluruh semesta. Pada waktu merawat tanaman (membersihkan daun-daun tua yang menguning, mengecek jika ada serangga atau gejala penyakit), saya bisa menghabiskan waktu cukup lama untuk memperhatikan detail garis daun, beragam kupu-kupu, warna serangga, bahkan bentuk-bentuk daun ketika sudah dimakan serangga. Dan, wah, tiba-tiba semua hal yang awalnya tampak biasa saja, ketika kita sudah terlibat dan memberikan perhatian kepadanya, menjadi sesuatu yang indah dan istimewa. Tidak kalah oleh karya seni yang selama ini saya lihat di galeri, museum, atau studio seniman. Saya pelan-pelan mulai sering mengurasi keindahan-keindahan tak terduga dari kebun saya. Setelah dua atau tiga bulan, saya sudah mulai memanen tanaman dan makan dari apa yang saya tanam. Setiap hari ada saja yang siap dipetik dan disantap. Beberapa tanaman tumbuh dengan sangat cantik, membuat saya terlalu sayang untuk memotongnya. 

Saya juga menghabiskan banyak waktu dengan petanipetani desa di sebelah kebun; belajar bagaimana mereka bersiasat dengan jenis tanah dan cuaca. Lalu, belajar juga tentang proses dan mengatasi masalah mereka. Mereka gagal panen jagung yang ditanam di lahan depan studio karena serangan hama. Saya turut bersedih untuk mereka yang selalu rajin menyiram dan merawat, tetapi harus menerima hal-hal yang tidak dapat mereka prediksi. Bu Kaum, salah satu petani paling rajin, yang mencangkul 400 meter lahannya di tanah gambut hanya berdua dengan suami, harus rela tanaman kacangnya dimakan tikus. Akhirnya, ia menanam kedelai benguk, satu-satunya jenis yang tidak disukai tikus. 

Pandemi memberi saya waktu untuk berdiam di tempat, di Yogyakarta, dan memaknai lagi hal-hal yang tak sempat saya hayati pada waktu-waktu lampau. Dulu, kehidupan saya berpusat pada kuratorial sebagai sebuah kerja, berpikir tentang bagaimana pameran dibuat dan dimaknai, atau membangun proyek-proyek seni bersama seniman. Sedikit sekali waktu saya habiskan untuk diri saya sendiri, apalagi mencari makna hidup yang berkaitan dengan alam semesta. Dulu, kerja kuratorial merupakan kerja-kerja yang menghubungkan rasional dengan estetika, yang logis dengan hal-hal yang berbau perasaan, antara produksi pengetahuan dan imajinasi serta fantasi. Saya sangat menikmati kerja-kerja itu, dan karena itu, saya mendedikasikan hampir seluruh hidup saya di sana. 

Nah, mengalami kehidupan yang sama sekali berbeda selama masa pandemi, meskipun kerja program dan administratif masih berlangsung, pandangan saya tentang kerja kuratorial berubah. Saya sempat berpikir, apakah di masa depan kurator dengan fungsi dan pola yang saya jalani seperti kehidupan kemarin masih tetap dibutuhkan? Kalaupun kurator harus mengubah fungsi dan pola kerjanya, saya ingin menjalani kerja kuratorial sebagaimana yang saya alami pada masa pandemi ini: bekerja dengan kehidupan yang lebih dekat, melihat praktik-praktik kehidupan sekitar sebagai penciptaan seni, mempertemukan seniman kontemporer dengan mereka yang bertani, lalu membuat eksperimen-eksperimen yang memungkinkan satu objek baru tercipta dengan konteks lokal yang menyertai pembentukannya. Bukan sekadar seni yang lahir dari frasa “menunggu inspirasi datang” sebagaimana yang biasanya kita bayangkan tentang kehidupan seorang seniman. 

Pandemi membawa saya pada titik yang baru menjadi kurator; bahwa seni tidak bisa hanya berkembang di galeri dan museum seni (meskipun infrastruktur semacam ini juga penting sekali), tapi juga bertautan dengan mereka yang tak punya akses ke sana. Seni adalah perkara mengimajinasikan kenyataan atau menyatakan imajinasi, tapi selalu membutuhkan konteks-konteks yang menaunginya. Pada titik ini, saya kembali disadarkan tentang makna menjadi kurator itu: membangun konteks yang mengiringi praktik-praktik seni, untuk bisa selalu bertaut dengan ruang dan waktu, lalu ia menjadi sebuah laku. 

Yogyakarta, November 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top