Menjaga Keseimbangan Cakra-Manggilingan

Aktivis lingkungan. Pada 2011-2013 menjabat sebagai Ketua Komunikasi dan Pelibatan Stakeholder Satuan Tugas Nasional REDD+. Pendiri Yayasan Sekar Kawung, sebuah lembaga yang berfokus pada pengembangan ekonomi yang berbasis pada pengembangan komunitas dan upaya konservasi lingkungan.

Pandemi Covid-19 mendorongku untuk memahami virus, makhluk renik yang selalu butuh inang untuk hidup dan berkembang biak. Ruth Ley, direktur departemen microbiome science di Max Plank Institute, pernah menyebutkan hanya 43 persen dari seluruh tubuh kita adalah sel manusia. Selebihnya DNA manusia berasal dari mikroba, termasuk virus yang diduga menginfeksi dan menanamkan asam nucleic mereka di dalam sel telur dan sel sperma nenek moyang kita. Setelah lahir pun, tubuh manusia sudah “dijajah” oleh mikroba yang diyakini memainkan peranan penting dalam proses pencernaan dan sistem imunitas. 

Segelintir virus seperti SARS-CoV-2 membuat sakit, bahkan membunuh manusia. Virus ini bersifat zoonotic, artinya bisa hijrah dari tubuh binatang ke manusia, yang menurut para ahli berbahaya karena sistem imunitas manusia sangat berbeda dengan imunitas binatang asalnya. Sebagai bagian dari prinsip keberlangsungan hidup, semua makhluk berevolusi agar tidak punah. Dari perspektif ini, virus memiliki kepentingan untuk tidak membunuh inangnya. Kematian inang berarti pula kematian virus. Pertanyaannya adalah mengapa virus SARS-CoV-2 hijrah ke dalam tubuh manusia? Apakah tak bisa terus hidup dengan damai di dalam tubuhtubuh binatang yang semula adalah inang ideal baginya? Keterdesakan apakah yang membuat SARS-Cov-2 nekat untuk menginfeksi jajahan baru, yakni manusia yang belum tentu mampu bersimbiosis dengannya? 

Fritjof Capra, deep ecologist, fisikawan, dan systems theorist, mengatakan pandemi Covid-19 dipahami sebagai respons biologis alam terhadap kerentanan ekologi yang timbul karena manusia menghancurkan kawasan-kawasan biome yang luas dan mengoyak keseimbangan jejaring kelestarian hidup sehingga menjadi rentan tercabik-cabik. 

Di antara konsekuensi negatif dari destruksi alam ini adalah kondisi di mana virus yang semula hidup damai bersimbiosis dengan binatang liar akhirnya menemukan jalan untuk memasuki tubuh manusia di mana ia menjadi toksik, bahkan mematikan. Covid-19 menggamblangkan hal yang lama diyakini para ilmuwan, bahwa bila kita memaksimalkan satu variabel saja di alam, misalnya pertanian monokultur yang masif untuk semata keuntungan finansial, pada akhirnya seluruh sistem kehidupan akan mengalami stres dan kerentanan. Pandemi Covid-19 lahir karena ketidakseimbangan ekologis dan semakin dahsyat karena parahnya ketimpangan sosial dan ekonomi, menjelma menjadi krisis eksistensial yang mengancam kelangsungan kebudayaan manusia. 

Di antara konsekuensi negatif dari destruksi alam ini adalah kondisi di mana virus yang semula hidup damai bersimbiosis dengan binatang liar akhirnya menemukan jalan untuk memasuki tubuh manusia di mana ia menjadi toksik, bahkan mematikan.

Chandra Kirana Prijosusilo

Menyimak Capra membawaku kembali ke masa kecilku sebagai anak desa yang belajar dari para tetua bahwa kehidupan semua makhluk di bumi itu saling terhubung membentuk suatu maha-jejaring yang dinamis dan terus bisa memperbarui dirinya secara lestari. Kelahiran, pertumbuhan, kematangan, perkembangbiakan, dan kematian terus berputar seperti roda yang, bila semuanya seimbang, akan membuahkan sistem kehidupan yang harmonis dan gemah ripah loh jinawi bagi semua makhluk. Yangtiku menjelaskan dinamika ini sebagai cakramanggilingan, berputarnya roda kehidupan makro-kosmos, yang di dalamnya berputar roda-roda kehidupan mikrokosmos yang tiada terbatas. Ia yakin bahwa keselamatan manusia bergantung pada kemampuannya menjaga alam semesta agar selalu selaras. Dimulai dari keseimbangan mikro-kosmos terdekat, yaitu diri; dan sistem pertanian yang dirawatnya, yaitu pekarangan.

Yangti mengolah pekarangan, menyelaras dengan alam, dan memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup keluarganya. Kayu jati dan bambu untuk membangun, sayur-mayur, aneka umbi, buah-buahan, kelapa untuk bahan minyak, aneka serat, buah-buahan, empon-empon, herba jejamuan, serta ternak dan bermacam-macam legume yang penting bagi asupan protein dibudidayakan di sini. Bila menjelang hari pasaran, setiap Kliwon dan Pahing, sebagian hasil pekarangan dikumpulkan untuk dijual. 

Pekarangan berbentuk hutan yang kami cintai, kunjungi, dan ajak berkomunikasi setiap hari. Meskipun berantakan, kami tahu persis tanaman apa ada di mana bila memerlukannya. Lahan pekarangan yang selalu melingkupi pelataran ini dipenuhi aneka tanaman ritual kehidupan tradisional yang penting, seperti tebu ireng; dan bebungaan wangi, seperti kantil, kenanga, mawar, melati, dan kemuning. Transisi dari pelataran ke pekarangan menyediakan medium untuk membangun kesadaran diri manusia sebagai perawat alam yang memiliki panggilan hidup untuk memayu hayuning bawana (menjaga keindahan dan keselamatan bumi). 

Selepas salat subuh, Yangti selalu bersimpuh di tangga samping rumah menghadap ke timur dan bersemadi ditemani wangi bunga. Bila terang merebak, saat alam masih berembun, pada setiap Kamis Wage, beliau mengajakku membawa senik dan memetik melati, kenanga, mawar, dan kantil. Lalu menyusunnya ke dalam takir yang dibuat dari daun pisang untuk diletakkan di berbagai sudut rumah, seperti di bawah petanen, di bawah koleksi tombak di samping pintu sentong, di pendapa dekat kentungan, dan di dalam lumbung padi. Sambil bekerja, Yangti akan menjelaskan makna bebunga ini kepadaku melalui tembang. 

Ngelmu iku 

kalakone kanthi laku 

Lekase kalawan kas 

Tegese kas nyantosani 

Setya budya 

Pangekese dur angkara 

Tembang pucung menuturkan makna bunga kantil, pengingat bahwa dalam meraih ilmu, manusia perlu terus memperdalam pengetahuannya melalui laku (jalan hidup) yang teguh dan pantang menyerah disertai keikhlasan. Laku menempa kekuatan karakter, menjauhkan dari sifat rakus, yang pada gilirannya menghindarkan kita dari marabahaya. Bunga kantil, menurut Yangti, adalah simbol untuk tiada putus mencurahkan kasih sayang dan manfaat kepada semua makhluk sebagai pengabdian kepada Allah. 

Selesai menyiapkan takir-takir berisi bebunga, kami mengitari pekarangan, mengumpulkan aneka buah sisa kalong dan codot yang jatuh dan meramban berbagai umbi untuk sarapan. Pagi begini, pekarangan riuh rendah dengan kehidupan. Kicau aneka burung, suara tupai mengerat batok kelapa, gemerisik ular yang ngebut mengejar entah di atas serasah kering di tanah, berbagai kadal, kupu-kupu, ulat bulu, kepik, capung, dan serangga lain ada di dalamnya. Di pohon sawo yang kulit kayunya kehitaman, tinggal banyak gek-gek tu, sejenis kadal kecil yang sering memekarkan saputangan dari dagunya. Bila menemuinya, kami menyapa: 

Gek-gek tu, 

gek-gek tu, 

aku gawekno kacu 

(gek-gek tu, gek-gek tu, bikinkan aku saputangan).

Kadal kecil itu akan berhenti dan memandangi kami, lalu menggelembungkan saputangan kuning kecil berkali-kali dari dagunya, membuat kami tertawa bahagia. Semua binatang liar yang hidup di pekarangan kami memiliki tempat dan rezekinya. Tupai memakan kelapa; beburung, kalong, dan codot memakan buah-buahan; demikian pula ulat, belalang, dan semua serangga lain mendapatkan bagiannya yang cukup. “Wis pancen bagiane (sudah menjadi bagian mereka),” begitu ucap Yangti. Bila dalam pertanian modern banyak di antara makhluk ini merupakan hama yang harus dibasmi, di sini mereka justru diberi ruang dan dikasihi. Yangti lalu mengalunkan mantra dari kidung tolak bala Sunan Kalijaga dalam bentuk macapat Dandanggula bila sedang mengitari pekarangan: 

Sakehing lara pan samya bali (Semua penyakit pulanglah) 

Sakeh ngama pan sami mirundo (Semua hama menyingkir) 

Welas asih pandulune (Semua pandangan welas asih) 

Sakehing braja luput (Semua senjata luput) 

Kadi kapuk tibaning wesi (Bagaikan kapuk menjatuhi besi) 

Sakehing wisa tawa (Semua racun tawar) 

Sato galak tutut (Binatang galak tunduk) 

Kayu aeng lemah sangar (Pohon ajaib, tanah angker) 

Songing landhak guwaning (Lubang landak dan guanya) 

Wong lemah miring (Orang tanah miring) 

Myang pakiponing merak (Ke tempat merak mandi) 

Banyak kebudayaan lokal Nusantara memiliki filosofi dan praktik bertani yang mirip. Mengasuh alam dengan cinta kasih, berkomunikasi dengannya, memberi ruang bagi keanekaragaman hayati untuk hidup bersimbiosis, dan membuat alam bersahabat secara sukarela. Di Kalimantan Barat, masyarakat Dayak Iban memiliki Tembawang; di Kalimantan Timur ada Simpunk; dan di Sumatera terdapat hutan-hutan yang dirawat dengan cinta kasih. Di NTT pun petani berinteraksi dengan alam secara menakjubkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merusak. Di tempat-tempat ini, kelahiran, pertumbuhan, kematangan, perkembangbiakan, dan kematian terus berputar seperti roda yang seimbang, membuahkan sistem kehidupan yang harmonis dan berkecukupan untuk semua makhluk di dalamnya, termasuk mereka yang tidak tampak oleh mata.

Dari perspektif ilmu pengetahuan modern, makhlukmakhluk yang tidak bisa dilihat ini disebut mikroba. Dan penelitian-penelitian yang terus dilakukan semakin menegaskan peran penting berbagai mikroba dalam menjaga keseimbangan melalui berbagai proses, seperti dekomposisi, produksi oksigen, dan evolusi penguatan ketahanan hidup berbagai spesies di alam. Sejumlah ahli mikrobiologi terkemuka bahkan mengeluarkan sebuah pernyataan agar dunia memperhatikan pentingnya mikroba dalam rangka stabilisasi iklim bumi dan menghindarkan bencana pemanasan global. 

Bijaksanakah bila kini seluruh dunia memerangi pandemi Covid-19 dengan penggunaan disinfektan secara masif? Penggunaan disinfektan ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam tujuh tahun mendatang, dengan nilai mencapai US$ 1,547.7 juta pada 2027 dari US$ 770,6 pada 2019. Disinfektan tidak hanya membunuh kuman SARS-CoV-2, tapi semua bakteri dan virus lain pun terkena, termasuk yang penting untuk keseimbangan alam dan kelangsungan hidup manusia. Ini adalah sebuah ironi yang pedih. Kita tidak bisa menghindari masalah dengan cara semakin mengoyak jejaring kehidupan dengan membabi buta membunuhi populasi-populasi mikroba di sekeliling kita. Itu hanya akan menghasilkan munculnya semakin banyak virus yang berbahaya. 

Umat manusia perlu menanggulangi akar masalah yang mendorong virus SARS-CoV-2 melompat dari binatang ke manusia. Untuk itu, cara kita memenuhi kebutuhan hidup perlu berubah secara radikal di mana penghormatan atas keanekaragaman hayati (biodiversity) menjadi karakter sentral dari orientasi pembangunan, dengan kebijakan pembangunan yang mengakui bahwa keseimbangan hidup semua makhluk di bumi adalah prasyarat yang hakiki bagi keselamatan hidup spesies manusia. Secara praktis, antara lain, ini berarti. 

Model pertanian monokultur masif yang haus input energi dan kimia mesti diganti dengan pertanian yang menghargai keanekaragaman hayati dan batas-batas daya dukung alam agar ekosistem bisa terus memperbarui dirinya. 

Teknologi berbasis bahan bakar fosil harus ditinggalkan, digantikan dengan yang terbarukan. 

Pemanfaatan sumber daya ekstraktif yang tidak terbarukan perlu senantiasa didaur ulang. 

Pola produksi dan konsumsi yang masif dan menyisakan limbah yang tidak bisa diurai oleh alam dengan cukup cepat perlu didesain ulang. 

Hal mana membutuhkan perubahan yang radikal pada perilaku penguasa, pemodal, pengusaha, dan konsumen. Apakah mungkin? Melihat tren new normal yang berkembang di Tanah Air, sepertinya tipis kemungkinannya! Namun aku tetap harus berpengharapan. 

Kembali kuberpegang pada keanekaragaman hayati, yang bagiku adalah ibarat benang. Ialah bahan baku yang diperlukan untuk menisik kembali bagian-bagian dari jejaring kehidupan di muka bumi yang telah koyak agar integritas ekologis bisa terbentuk kembali. 

Aku memilih menyimak Jane Goodall yang menghargai alam dan memberikan bantuan sedikit saja kepadanya sambil meyakini bahwa hal-hal yang dahsyat bisa terjadi karenanya. Perlahan aku bekerja bersama berbagai masyarakat tradisional, menisikkan bagian-bagian alamnya yang koyak, sembari menggali kembali memori kebudayaan tentang hubungan mereka dengan bumi yang dipijak. Melalui karya bersama mereka, saya mengembangkan aneka medium untuk membangun kembali kesadaran manusiawi kolektif tentang keterkaitan antara biodiversity dan sandang, papan, pangan, kesenian, serta kesehatan. Tentang jejaring seluruh hidup.

Pandemi Covid-19 juga menyadarkan aku untuk berhati-hati menjaga kelestarian dan keseimbangan hidup mikroba. Sebab, mereka pun memiliki peranan penting dalam menyeimbangkan berputarnya roda semesta kehidupan di bumi ini. Kita adalah mikro-kosmos yang menentukan hidup dan matinya makhluk lain melalui pilihan-pilihan di dalam laku kita. Menyadari ini dan berhati-hati dalam bertindak penting bagi keselamatan hidupku sendiri dan semua anakcucuku sebagai manusia. 

Mungkin ini yang dimaksud oleh Jayabaya ratusan tahun silam dengan potongan ucapannya: “…luwih bejo wong kang eling lan waspodo”- lebih beruntung orang yang sadar dan berhati-hati. 

Bogor, 23 Juli 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top