Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera dan Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Wilayah Jakarta Raya. Ia pernah menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang, 2018.
“Selamat siang, Mbak. Diskusi lusa jadinya online saja ya, melalui Instagram Live dan YouTube. Kami sudah tidak boleh mengumpulkan terlalu banyak orang karena Covid. Kalau jaringan Gusdurian kumpul, biasanya ruangan penuh sesak.”
Fitri, mahasiswa saya di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, mengirim pesan singkat. Ia aktif di Jaringan Gusdurian Jakarta dan akan memoderatori diskusi tentang RUU Cipta Kerja dalam rangka Hari Perempuan Internasional, 20 Maret 2020. Diskusi rutin itu memang menjadi ajang bertukar pikiran para aktivis muda yang menamakan diri “Gusdurian”. Nama jaringan diambil dari sebutan Presiden Abdurrahman Wahid, untuk melanjutkan gagasan tentang masyarakat Indonesia yang lebih inklusif.
Belakangan, saya mencatat forum itu merupakan diskusi dalam jaringan (daring) pertama dari sekian banyak forum yang kemudian harus disesuaikan akibat Covid-19.
Seminggu sebelumnya, ramai dibahas kemungkinan menutup kantor-kantor. Opsi itu juga mengemuka di STHI Jentera. Sebagai entitas yang mempelajari hukum dan kebijakan, kami tidak hanya mendiskusikan penutupan kantor, aspek kesehatan mahasiswa, dan kesiapan mengajar secara daring, tetapi juga mencermati kegamangan pemerintah. Termasuk jurus melucu Menteri Kesehatan Terawan tentang virus corona.
“Nanti juga sembuh sendiri…” Pernyataan Menteri Kesehatan itu bisa ditemukan dengan mudah di internet. Saat tulisan ini dibuat pada awal Agustus 2020, tercatat tak kurang dari 6.000 korban jiwa dari 130-an ribu kasus positif Covid-19.
Bila saja pada 2 Maret 2020, ketika kasus pertama ditemukan, Pak Menteri langsung mengambil kebijakan, kondisi di Indonesia mungkin tidak akan sampai separah saat ini. Setelah komentar itu, sepertinya Menteri Terawan tak lagi dibolehkan berkomentar. Pemerintah kemudian menunjuk Achmad Yurianto sebagai juru bicara pemerintah untuk urusan virus corona.
Jauh dari gaya gurauan Gusdur, candaan Menteri Terawan tak memancing tawa. Sebaliknya, justru mengundang kegeraman. Kondisi pagebluk yang tak diatasi dengan serius, apalagi pada era arus informasi tak terbatas seperti ini, tentu menimbulkan kegusaran.
Berita mengenai dampak virus corona di berbagai negara banyak disajikan sejak awal 2020. Video berseliweran di gawai, yang menggambarkan kota-kota di Eropa, seperti Paris dan Milan, yang biasanya penuh turis, berubah seperti kota mati sehingga menimbulkan kengerian.
Beberapa kota di dunia sudah memberlakukan lockdown, pelarangan keluar-masuk wilayah, guna mencegah penyebaran virus. Dari Wuhan sampai Paris, arus pergerakan warga dan kewajiban menggunakan masker serta menjaga jarak minimal antarmanusia sudah diatur dan ditegakkan.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan Keputusan Nomor 9A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Beleid yang dikeluarkan pada 28 Januari 2020 itu menetapkan adanya status keadaan tertentu selama 32 hari, terhitung sejak 28 Januari sampai 28 Februari 2020. Jangka waktu 32 hari yang sangat optimistis ini kemudian diperpanjang selama 91 hari sampai 29 Mei 2020, dengan Keputusan Kepala BNPB Nomor 13A Tahun 2020 yang dikeluarkan pada 29 Februari 2020.
Makna status ini bagi pencegahan penyebaran virus tidak dapat dijelaskan. Kebijakan dikeluarkan berdasarkan skema penanggulangan bencana sehingga tidak bisa menjangkau banyak hal. Ia tak bisa mengatur soal penutupan wilayah, kerja kementerian lain, alokasi anggaran negara untuk penanggulangan bencana, atau koordinasi dengan daerah.
Kebijakan yang Tak Kunjung Datang
Karena tidak ada kejelasan tentang apa konkretnya yang harus dilakukan warga, sebagian mengambil inisiatif sendirisendiri untuk menerjemahkan lockdown yang mereka lihat di media massa dan media sosial. Pada 27 Maret 2020, misalnya, Kota Tegal tercatat menerapkan lockdown versi Tegal, dengan memasang pembatas beton agar tidak ada orang luar yang bisa memasuki wilayah Tegal. Akibatnya, pengiriman logistik ke kabupaten tetangga terimbas. Begitu pula dengan warga yang ingin berkunjung ke rumah kerabat.
Tak hanya Tegal, di media sosial berseliweran pula foto dan berita mengenai lockdown dalam berbagai versi. Ada yang menutup dengan pembatas atau portal bambu. Ada yang menakut-nakuti dengan kostum pocong. Bahkan juga ada yang menerapkan sistem ronda. Padahal, dengan meronda bersamasama—tanpa masker—dalam satu pos ronda di desa, virus Covid-19 justru bisa menyebar dengan mudah. Namun, apa lacur, sampai akhir Maret 2020, pemerintah tidak memberikan petunjuk, penjelasan, dan pengarahan kepada warganya.
Dalam situasi pagebluk seperti inilah, sesungguhnya sebuah pemerintahan diuji. Pemerintah yang baik bisa menganalisis masalah sosial dengan kondisi keamanan dan kesejahteraan (well-being) warganya sebagai teropong. Kebijakan publik (public policy) adalah soal kepentingan publik, maka harus mempertimbangkan tiga hal.
Pertama, harus bersandar pada etik, nilai-nilai moral pertanggungjawaban pemerintah sebagai sekelompok orang yang mengelola negara kepada warga negara yang memberikan mandat kepadanya. Maka pemerintah harus bertindak cepat dan tepat, mencegah adanya korban nyawa warga. Berdasarkan pertimbangan etik, pemerintah juga tidak bisa mengambil kebijakan yang membahayakan warganya, misalnya kebijakan herd immunity atau kebijakan untuk memunculkan kekebalan masif yang belum teruji, yang bisa mengorbankan kelompokkelompok yang rentan terhadap Covid-19.
Kedua, kebijakan juga harus bertumpu pada pemenuhan hak asasi dalam konteks negara hukum. Dalam situasi Covid-19, hak yang kita bicarakan tidak hanya hak kesehatan, tetapi juga hak atas penghidupan yang layak dan semua hak-hak asasi manusia. Sebagai negara hukum, semua kebijakan itu juga harus dibuat dengan dasar yang jelas dan ditegakkan dengan konsisten agar tujuan pembuatan kebijakan tercapai.
Harus dipahami, lockdown tidak bisa hanya berupa instruksi supaya orang diam di rumah. Sebab, banyak orang yang tidak punya pilihan lain selain ke luar rumah untuk bekerja. Kalaupun orang harus berdiam di rumah, pemerintah harus menjamin agar orang yang tak punya pilihan itu tetap bisa makan, menjaga kesehatan, dan anak-anaknya tetap bisa bersekolah.
Ketiga, kebijakan juga harus didasarkan pada data, disertai dengan kerangka monitoring dan evaluasi. Dengan begitu, pemerintah bisa memastikan bahwa kebijakan yang diambil memang tepat menyasar masalah yang ada. Karena itulah, seharusnya sejak awal pemerintah harus mendasarkan segala tindak tanduknya pada data yang dapat dipertanggungjawabkan. Masalah dalam pemerintahan tidak bisa ditanggapi dengan gurauan belaka. Justru Menteri yang membidangi kesehatan harusnya segera mencari data dari segala institusi yang sebenarnya berada dalam jangkauannya, dari berbagai laboratorium kesehatan sampai lembaga pendidikan yang terkait dengan kesehatan. Indonesia memiliki ahli epidemiologi yang jumlahnya tidak sedikit. Juga pangkalan data di berbagai institusi pendidikan.
Data semacam itulah yang seharusnya digunakan. Bukan berbagai spekulasi yang tak didasarkan pada data dan penelitian. Ingat, kita di sini tidak sedang membicarakan orang-orang biasa yang bisa berkomentar apa saja. Kita berbicara tentang sekelompok orang yang diberi amanah mengelola negara ini. Mengapa kata “policy” diterjemahkan sebagai “kebijakan” dalam bahasa Indonesia? Barangkali menjadi tugas penting kita untuk melacak jawabannya. Sama pentingnya dengan penggunaan kata “pemerintah” untuk “government”, padahal “mengelola” jelas berbeda dengan “memerintah”.
Tugas pemerintah-lah untuk mengeluarkan segala kebijakan guna menanggulangi Covid-19. Sebab, hanya pemerintah yang mempunyai daya jangkau dan otoritas untuk menyuruh sebagian kelompok melakukan sesuatu agar bisa memenuhi hak kelompok lain, melarang, dan membolehkan berbagai bentuk perilaku. Tanpa otoritas, saya dan juga Anda tidak bisa melakukan itu semua.
Lambat dan Tidak Tegas
Pada 13 Maret 2020, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 dibentuk. Namun masih belum ada kejelasan mengenai “apa yang seharusnya warga lakukan”. Padahal justru ini yang mutlak dibutuhkan warga dalam situasi pandemi.
Karena tidak ada kejelasan tentang apa konkretnya yang harus dilakukan warga, sebagian mengambil inisiatif sendiri-sendiri untuk menerjemahkan lockdown yang mereka lihat di media massa dan media sosial.
Bivitri Susanti
Respons kebijakan yang dibutuhkan sebenarnya tidak terlalu sulit. Sudah tersedia dua kerangka hukum yang siap digunakan. Ada skema bencana nasional, yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Ada pula skema kekarantinaan kesehatan yang juga dimuat dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007. Dengan skema-skema yang sudah ada itu, pemerintah punya dasar yang kuat untuk membuat kebijakan apa pun yang dibutuhkan. Persoalannya hanya pada kecepatan dan ketepatan bertindak.
Dalam berbagai kebijakan yang tak terkoordinasi, berbagai kementerian dan lembaga mengambil kebijakan sendiri-sendiri. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, misalnya, mengeluarkan kebijakan Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 pada 30 Maret 2020. Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung juga segera mengeluarkan surat bernomor 379 yang mengatur mengenai persidangan perkara pidana secara teleconference pada 27 Maret 2020.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada 30 Maret 2020 mengeluarkan Surat Edaran Nomor 36 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik bagi Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19. Sementara itu, institusi perusahaan-perusahaan, lembaga pendidikan, serta kantor pemerintahan dan BUMN mengambil kebijakan sendiri-sendiri mengenai bekerja dan belajar dari rumah. Semua dilakukan tanpa koordinasi satu pintu dan tanpa kerangka pelaksanaan.
Kebijakan yang mulai terpusat baru muncul pada 31 Maret 2020. Lebih dari sebulan sejak pasien 01 diumumkan, akhir Februari, dan lebih dari dua bulan sejak virus menyebar. Tiga kebijakan dikeluarkan pada 31 Maret 2020, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
PP Nomor 21 Tahun 2020 mengatur secara teknis pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, untuk dapat dilaksanakan, sebuah undang-undang perlu diatur peraturan di bawahnya. UU Nomor 6 Tahun 2018 mengamanatkan pembentukan sebuah PP untuk melaksanakan PSBB ataupun karantina wilayah. Harusnya, PP ini segera dibuat dalam jangka waktu yang ditentukan oleh UU Nomor 6 Tahun 2018, yaitu dalam kurun dua tahun. Namun merupakan suatu kelaziman yang keliru di Indonesia karena begitu banyak peraturan pelaksana undang-undang yang tak kunjung dibuat.
Skema PSBB ini merupakan satu dari dua pilihan yang tersedia dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pilihan lainnya adalah karantina wilayah. Istilah lockdown, yang kadung dikenal luas karena mendunia, sebenarnya lebih dekat dengan skema karantina wilayah. Meski demikian, pemerintah mengakui ketidaksiapannya untuk memberlakukan karantina wilayah. Pasalnya, UU 6 Tahun 2018 mengatur, bila karantina wilayah diberlakukan, pemerintah wajib memenuhi semua hak warga, bahkan sampai makanan ternak.
Rute kebijakan berikutnya dalam peta UU Kekarantinaan Kesehatan adalah penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat. Inilah yang diatur dalam Keppres 11 Tahun 2020 tadi. Baru setelah ditetapkan sebagai darurat kesehatan masyarakat, PSBB bisa diterapkan. Namun tentu saja penetapan status belaka belum berarti ada kejelasan mengenai bagaimana PSBB diterapkan. Kedua peraturan tadi pada dasarnya hanya menyatakan bahwa status PSBB tidak diberlakukan secara nasional, melainkan diberikan kepada daerah-daerah yang sudah memenuhi syarat. Pemberian status PSBB dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, dibantu Gugus Tugas Covid-19.
Tiga hari kemudian, pemerintah mengeluarkan petunjuk yang lebih operasional mengenai bagaimana bila ada daerah yang akan menerapkan PSBB. Pada 3 April 2020, pemerintah merilis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Di situ dijelaskan kriteria PSBB, mekanisme permohonan daerah yang akan menerapkan PSBB, dan teknis pelaksanaannya.
Sampai 24 April 2020, ada dua provinsi dan 22 kabupaten/ Kota yang berstatus PSBB. Namun sumber informasi aplikasi status ini juga kurang jelas. Untuk tujuan mengulas kebijakan PSBB, saya mencoba mencari segala sumber informasi yang ada, tetapi tidak ada informasi resmi yang lengkap mengenai mengapa suatu daerah disetujui atau tidak disetujui untuk menerapkan status PSBB.
Lantas, apa soalnya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 1 Tahun 2020? Apakah memang perpu diperlukan, padahal sudah ada dua undang-undang lain yang bisa digunakan? Karena mengatur anggaran negara (APBN), maka peraturan setingkat undang-undang memang diperlukan. Penanggulangan Covid-19 membutuhkan perubahan alokasi anggaran dari yang sudah direncanakan sebelumnya. Perpu ini telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 per 19 Mei 2020.
Cerita belum berakhir. Pada 13 April 2020, Presiden mengeluarkan lagi sebuah Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Muncul pertanyaan, bukankah sudah ada Keppres 11 Tahun 2020 yang mendasari PSBB? Rupanya, berbeda dengan Keppres 11 Tahun 2020, Keppres 12 Tahun 2020 ini mengatur bencana nasional non-alam. Dengan kata lain, skema bencana nasional digunakan. Membingungkan? Pasti. Namun pemerintah agaknya merasa perlu mengambil langkah ini untuk memberi dasar bagi pelaksanaan upaya-upaya luar biasa guna menanggulangi bencana nasional. Memang, UU Bencana dikeluarkan pada 2007 sebagai imbas dari adanya tsunami di Aceh dan Nias, yang membutuhkan upaya luar biasa untuk menanggulangi bencana.
Selesaikah upaya pemerintah? Jauh dari selesai. Kebijakan baru bisa diukur keberhasilannya dari pelaksanaan serta pengukuran keberhasilan tujuan kebijakan dibuat yang didapat dari mekanisme monitoring dan evaluasi. Sampai saat tulisan ini dibuat, belum pernah ada laporan monitoring dan evaluasi dari para pembuat kebijakan mengenai semua kebijakan yang telah diambil. Namun rekam jejak kebijakan pemerintah yang berikutnya dapat dijadikan catatan kritis.
Menjelang Idul Fitri, dalam rapat terbatas kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 21 April 2020 dan disiarkan terbuka, dinyatakan adanya larangan mudik. Namun ternyata dibuat pula pengecualian-pengecualian pada 6 Mei 2020. Begitu pula halnya dengan kebijakan bekerja di rumah. Pada 15 Mei 2020, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengirim surat kepada perusahaan-perusahaan BUMN untuk membolehkan karyawan berumur di bawah 45 tahun kembali masuk kantor. Namun, pada 18 Mei, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kebijakan itu masih dalam kajian.
Pada bagian-bagian lain, beredar potongan-potongan cerita mengenai pengamen yang gitarnya dipatahkan Satuan Polisi Pamong Praja karena dianggap melanggar PSBB dan pesta yang dibubarkan untuk mencegah orang berkumpul. Sementara itu, di tempat lain, ada perwira polisi yang melangsungkan pesta perkawinan dengan begitu banyak tamu dan konser dengan banyak peserta yang dihadiri Presiden. Banyak catatan mengenai inkonsistensi dan penerapan yang tidak setara.
Belakangan, pemerintah bahkan menerapkan new normal, yang pada dasarnya melonggarkan PSBB dengan membolehkan pembukaan beberapa tempat, tetapi mewajibkan penerapan jaga jarak dan penggunaan masker. Diksi new normal ini pun kemudian diakui pemerintah sebagai pemilihan diksi yang keliru karena menginsinuasi kondisi baru yang mengabaikan kondisi pandemi yang sebenarnya masih berlangsung.
Tidak Patuh karena Tidak Jelas, Tidak Tegas, dan Tidak Adil
Awal Agustus 2020. Lima bulan bekerja di rumah. Sudah mulai tak terhitung banyaknya diskusi daring dan kelas yang saya ajar, yang harus dijadikan kelas daring.
“Mbak, kawan saya akan menghubungi untuk diskusi daring ya minggu depan. Kali ini tentang Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual yang ditunda lagi karena DPR merasa sulit menyelesaikannya, apalagi di tengah pandemi,” Renie, mahasiswa saya yang lain, juga di Jentera, mengirim pesan singkat dari kampungnya di Sulawesi Selatan. Kami memang menerapkan kebijakan belajar jarak jauh sejak 23 Maret 2020. Inisiatif yang waktu itu kami putuskan sendiri karena tidak ada kebijakan apa pun dari pemerintah.
Angka korban yang berjatuhan tak seharusnya setinggi itu kalau saja ada kebijakan berbasis data sejak awal.
Bivitri Susanti
Pesan itu seperti membangunkan saya dari mimpi panjang tentang pemerintah dengan kebijakan yang tak bijak. Sayangnya, mimpi belum berakhir, persis seperti pesan singkat dari Renie. Bahkan pandemi juga dijadikan alasan bagi legislator yang tidak bertanggung jawab untuk tidak melakukan sesuatu.
Meski tak lagi ada seloroh dari Menteri Terawan, komentar yang tidak bijak dari pengambil kebijakan masih bermunculan. Pada 15 Agustus 2020, Kompas TV memberitakan pernyataan Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir. Ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberitaan media asing yang menganggap Indonesia gagal dalam menangani pandemi Covid-19. Padahal, ujar dia, bila mengacu pada data angka kematian dibanding jumlah populasi, Indonesia tidak seburuk negara lain, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan India.
Namun, Pak Erick, Pak Terawan, Pak Jokowi, dan semua pengambil kebijakan, angka kematian bukan sekadar angka. Ia menggambarkan banyaknya jiwa yang melayang. Jiwa-jiwa yang berarti bagi orang tuanya, anaknya, kerabatnya, dan sahabatsahabatnya. Angka yang tak seharusnya setinggi itu kalau saja ada kebijakan berbasis data sejak awal.
Jakarta, Agustus 2020