Perempuan kelahiran Rantetayo, Toraja Utara, ini adalah pejuang gigih hak-hak masyarakat adat. Sejak 2017, Rukka adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi yang mewadahi 1.025 komunitas adat dan lebih dari 30 organisasi adat sebagai anggotanya.
Wilayah Adat Rakyat Penunggu, Kampong Menteng Tualang Pusu, Deli Serdang, Sumatera Utara, adalah kisah ketangguhan masyarakat adat. Ketangguhan yang dimotori oleh para perempuan.
Saya kisahkan pengalaman Meliana Yumi, Dewan Nasional Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), yang mewakili region Sumatera Utara. Kak Yumi, begitu dia biasa dipanggil, adalah contoh perempuan adat yang membuat hati saya penuh semangat pada masa pandemi ini.
Wilayah Adat Rakyat Penunggu, yang seluas 360 ribu hektare, mencatatkan riwayat yang pedih. Sejak zaman pendudukan Belanda, tanah Rakyat Penunggu disewa untuk perkebunan tembakau, yang dinasionalisasi setelah Indonesia merdeka tanpa mempedulikan sejarah kepemilikan dan status sewa-menyewa dengan Belanda. Sampai hari ini, Rakyat Penunggu terus berjuang mengembalikan wilayah adat mereka melalui berbagai jalur.
Perjuangan yang tidak mudah. Hingga kini, sebagian besar wilayah adat Rakyat Penunggu masih dikuasai perkebunan skala besar, yaitu PTPN II. Bertahun-tahun, perempuan Rakyat Penunggu ikut berada di garis depan, menghadang alat berat perkebunan yang berusaha memasuki wilayah adat. “Kalau lakilaki yang maju, pasti terjadi konflik yang berdarah-darah, pasti langsung ditangkapi. Karena itulah, kami, para perempuan, yang turun langsung menghadang alat berat,” kata Kak Yumi. Para lelaki bertugas membantu melalui jalur advokasi dan berunding dengan wakil pemerintah.
Kini, beberapa komunitas Rakyat Penunggu telah memenangi kembali 2.000 hektare wilayah adat mereka. Salah satunya Kampong Menteng Tualang Pusu, kampungnya Kak Yumi. Di wilayah adat ini tinggal sekitar 500 keluarga di tanah yang tak lagi subur akibat telah begitu lama dieksploitasi perkebunan monokultur.
Dua tahun terakhir, sejak 2018, perempuan Rakyat Penunggu berusaha menghidupkan tanah yang mati suri. Kak Yumi mengajak sekelompok perempuan untuk menugal atau menggemburkan tanah. Mereka membuat kebun kolektif. Ubi, aneka sayur, cabai, pisang, dan jagung ditanam di kebun kolektif. Awalnya, hanya lima perempuan yang ikut serta. Perlahan, yang terlibat terus bertambah hingga puluhan perempuan ikut menumbuhkan kebun kolektif.
Kemudian, datang masa pandemi. Beban Rakyat Penunggu bertambah berat.
Rukka Sombolinggi
Setelah enam bulan, kerja keras Kak Yumi dan para perempuan adat Rakyat Penunggu menunjukkan hasil. Kebun kolektif tidak lagi sekadar kebun. Dia menjadi simpul pengikat komunitas. Melalui berbagai aktivitas berkebun inilah para perempuan mengorganisasi diri, membahas berbagai hal. Hasil panen kebun pun lumayan. Selain untuk kebutuhan keluarga, hasil kebun dijual dan hasilnya cukup untuk membayar iuran organisasi dan menjadi uang kas kampung.
Kemudian, datang masa pandemi. Beban Rakyat Penunggu bertambah berat. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Bantuan dari pemerintah susah sekali karena persoalan wilayah administrasi dan birokrasi membuat warga Rakyat Penunggu banyak yang tidak punya kartu tanda penduduk (KTP). Kembali, perempuan adat bergerak. Mereka mengajak semua warga, lelaki dan perempuan, untuk bertanam. Kembali menghidupi wilayah adat secara gotong royong. Kebun kolektif itulah kini yang turut meringankan beban hidup Rakyat Penunggu.
Perempuan sebagai penggerak terjadi juga di banyak wilayah adat. Saya menyebut mereka, para perempuan adat, sebagai penjaga bumi. Sebuah fakta yang berlangsung turun-temurun. Pada merekalah melekat pengetahuan dan keterampilan menjaga harmoni dengan alam. Mereka menjaga pangan, mereka meneruskan tradisi bertanam rempah, umbiumbian, jagung, padi, biji-bijian, dan herbal dengan beragam khasiat, yang telah diterapkan berbilang generasi.
Para perempuan juga menjaga mata air, benih aneka tanaman, yang menentukan kedaulatan pangan di sebuah komunitas. Mereka juga yang merawat keahlian menenun, menganyam, membatik, musik, tari, juga mantra dan doa-doa. Para perempuanlah yang memberikan jiwa pada kehidupan.
Salah satu terobosan penting yang kami lakukan di AMAN adalah membuat sekolah-sekolah adat. Kami memastikan pengetahuan, terutama yang melekat pada para perempuan, diwariskan ke generasi muda melalui praktik dalam kehidupan sehari-hari. Kami tidak hanya berbicara tentang sekolah yang sudah terinstitusionalisasi, tapi juga sekolah-sekolah yang ada di keluarga dan di kampung-kampung. Saat ini ada 55 jumlahnya. Sekolah kehidupan mengajarkan bagaimana menjadi masyarakat adat yang seutuhnya serta menjadi tempat untuk pulang bagi siapa pun yang ingin pulang kampung.
Sekolah adat dimotori oleh anak-anak muda. Mereka bersemangat menghidupkan sekolah-sekolah adat ini. Banyak yang bersekolah di Jakarta dan di kota-kota lain kembali pulang ke kampung dengan semboyan “Pulang Kampung, Mengelola dan Menjaga Wilayah Adat”. Perempuan dan anak muda, dua elemen itulah yang membuat saya bahagia. Mereka keren sekali, bergerak menghidupkan kembali praktik-praktik baik warisan leluhur, terutama dalam hal menjaga bumi dan gotong royong.
Masyarakat yang menyebut diri modern, yang kebutuhan hidupnya bergantung pada kota-kota yang jauh, bahkan di luar negeri, terbukti makin rentan pada masa pandemi ini. Bandingkan dengan masyarakat adat yang kukuh menjaga ritual, merawat kekayaan pengetahuan, otomatis punya kelengkapan alat pertahanan lebih baik dalam menghadapi krisis pangan pada masa pandemi.
Pada 15 Maret 2020, AMAN memerintahkan lockdown wilayah adat. Ini adalah kunci untuk memastikan virus corona tidak masuk ke wilayah adat sehingga masyarakat adat tetap dapat beraktivitas normal. Sejak itu pula AMAN membentuk Gugus Tugas AMANkanCovid-19 untuk memandu dan memantau komunitas-komunitas masyarakat adat. Melalui AMANkanCovid-19, jelas sekali bagaimana perempuan adat menjadi ujung tombak dan menjadi penggerak masyarakat. Mama-mama, tanta, ambu, ine, sigap berinisiatif. Mereka berkelompok membuat masker, juga membuat ramuan tradisional untuk menjaga kekebalan tubuh, lalu membagikannya kepada yang membutuhkan. Mereka menanam berbagai tanaman jangka pendek, umbi-umbian, demi mengantisipasi krisis pangan. Semua itu dilakukan tanpa menunggu dikomando orang kota atau pemerintah.
Berorganisasi dan berjejaring, karena itu, menjadi sangat penting. Inilah jalan bagi perempuan adat untuk memperkuat komunitas, saling menguatkan diri. Apalagi dalam menghadapi pandemi ini. Sudah banyak yang memulai, tapi sebagian besar masih harus didorong dan dibantu untuk berani mengorganisasi diri.
Di berbagai tempat, walaupun tidak banyak, perempuan juga menonjol sebagai pemimpin, tetua, atau menjadi hakim adat. Ibu saya, almarhum Den Upa’ Rombelayuk, meninggal pada saat beliau masih menjabat hakim adat di kampungnya.
Perempuan adalah kunci ketangguhan masyarakat adat. Merekalah benteng terakhir yang menjaga keberlangsungan komunitasnya. Saya ingat betul kata-kata bijak suku Cheyene di Amerika Serikat tentang betapa sentral peran perempuan adat, “Sebuah bangsa tidak akan ditaklukkan sampai hati para perempuannya jatuh ke tanah. Tidak peduli seberapa berani prajuritnya atau seberapa kuat senjatanya.”
Sejarah perlawanan masyarakat adat di Nusantara pun tak lepas dari perempuan adat. Siapa tidak mengenal namanama Mama Yosefa Alomang yang melawan Freeport di Papua; Nae Sinta Sibarani di Porsea, Sumatera Utara; dan Mama Aleta Baun di Molo, Nusa Tenggara Timur. Merekalah para perempuan pejuang. Perempuan-perempuan ini berjuang tidak hanya untuk sesama perempuan, tapi juga untuk tanah dan martabat masyarakatnya.
Dalam kasus-kasus perampasan wilayah adat oleh korporasi serta kongsi antara korporasi dan pemerintah, perempuan juga sering menjadi pihak yang tegak berdiri hingga akhir. Mereka menolak tunduk. Dalam kasus di Seko, di Kabupaten Luwu Utara, pada 2017, misalnya, para perempuan adat menyebut diri mereka sebagai Kelompok Srikandi. Mereka menjaga kampung, anak-anak, orang tua, sawah, dan kebun, ketika laki-laki harus lari dari kejaran aparat.
Pandemi ini menegaskan bahwa apa yang selama ini kami perjuangkan benar dan baik. Pandemi juga memberikan berbagai jawaban sekaligus petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik, yakni sebuah kehidupan baru di mana kita harus hidup terus menjaga ibu bumi dan bersikap adil kepada sesama manusia.
Masyarakat adat yang bertahan di tengah krisis adalah mereka yang masih menjaga keutuhan wilayah adat serta setia menjalankan nilai dan praktik luhur nenek moyang. Musyawarah adat, gotong royong, memiliki rasa senasib sepenanggungan, dan memanfaatkan kekayaan titipan leluhur secara bijak, itulah benang merah yang perlu kita dorong bersama.
Masyarakat adat beserta wilayah adatnya juga telah membuktikan diri sebagai pusat produksi dan lumbung pangan. Ketahanan pangan yang menyelamatkan, bukan hanya warganya, tapi juga komunitas lain dari ancaman krisis. Hotu!
Kota Bogor, Desember 2020