Menulis, Menjaga Kewarasan

Mantan jurnalis di Suara Pembaruan, Suara Bangsa, dan Sinar Harapan. Menggagas Writing for Healing di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Menginisiasi Gerakan Perempuan Berkebaya dan Gerakan berbagi dan peduli, “Kebaya, Kopi, dan Buku”. Kini menulis, mengajar, dan menjadi konsultan komunikasi.

Tidak seperti dugaan semula, virus corona akan segera berlalu setelah berdisiplin 14 hari di rumah saja. Sudah dua putaran 14 hari. Bahkan 14 hari ketiga pun hampir terlewati. Menata ulang rumah sudah tidak lagi menyenangkan. Menonton film pun mulai membosankan. Mencoba resep masakan justru membangkitkan frustrasi ketika langkah demi langkah yang dianjurkan sudah dilakukan tetapi hasilnya tak seperti yang diharapkan. 

Jumlah pasien terjangkit virus, hari demi hari, semakin meningkat. Belum lagi pemberitaan tentang krisis pangan dan banyaknya perusahaan yang mulai mengurangi pegawai, memutus hubungan kerja. Tidak ada yang bisa menjawab, kapan pandemi akan berakhir. 

Sebulan setelah tertib di rumah saja, para sahabat—Emmy Kuswandari, Sih Karsriningrum, dan Lukas Christian— memberanikan diri berkumpul di rumah saya. Tentu saja bukan jarak yang dekat bila Lukas yang tinggal di Serpong, Karsriningrum di Cinere, dan Emmy di Cawang harus berkumpul di Ciracas, Jakarta Timur. 

Pertemuan yang awalnya melepas rindu dengan berbincang tentang pandemi sambil minum kopi—Lukas merupakan inisiator Gerakan Kopi Persahabatan—pada akhirnya bersepakat membuat satu program bersama. Kami sudah berbuat sesuai dengan kemampuan. Aku dan Emmy selama ini menjahit masker dari kain dan membagi-bagikan nasi bungkus sesuai dengan kekuatan rice cooker masing-masing. 

“Kita harus berbuat sesuatu untuk membantu meringankan beban masyarakat,” kami pun satu suara. Beberapa kali untuk mengusir rasa jemu, berganti dengan keseriusan membahas apa yang bisa dilakukan bersama. Di antara berbagai alternatif kegiatan sosial, membaktikan diri berbasis kemampuan yang dimiliki jauh lebih bermanfaat dan bisa dijamin kontinuitasnya bila dibanding kegiatan sebelumnya. 

Aku mengusulkan pelatihan “Menulis untuk Kesehatan Mental”. Kelas ini pernah diaplikasikan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas I, Tangerang. Bahkan telah berhasil menerbitkan dua buku dari hasil “curhat” para warga binaan. Selain kami berempat, ada Fransisca Ria Susanti yang memiliki kepedulian sama tetapi tidak bisa bergabung bertemu karena terkendala kesehatan. 

Pada Mei 2020, Mbak Arum—panggilan kami untuk Sih Karsriningrum—menyulap beberapa ruang di rumahku menjadi studio dadakan. Ia menjadi camera person sekaligus penata lampu dan pengarah gaya. Arum mulai merekam tujuh modul yang saya buat, dinarasikan dalam bentuk video. Tujuannya agar peserta memiliki keleluasaan mengikuti langkah-langkah yang disarankan sebelum masuk ke dalam kelas jarak jauh. 

Lukas, seperti keahliannya selama ini, menjadi penyebar informasi dan penerima peserta. Ia paling galak kalau sudah menyangkut keharusan mengikuti tahapan tutorial. “Gratis tidak berarti boleh diremehkan,” begitulah prinsip yang selalu ia junjung tinggi. Sekalipun gratis, dikerjakan dengan sungguhsungguh. 

Emmy paling lihai kalau memandu acara, mendengarkan keluhan, dan memberi saran. Suaranya yang lembut bisa menenangkan peserta yang sedang kalut atau kebingungan menghadapi pandemi. Simpati dan empatinya bisa membuat peserta tenang. Fransisca Ria Susanti memperkaya dengan pengalaman dan bacaannya. 

Kami menyebut program ini “Menulis untuk Kesehatan Mental” yang dibuat dalam tujuh langkah, antara lain identifikasi pikiran dan perasaan pada saat pandemi, belajar berkonsentrasi, menemukan kekuatan dan kelemahan, mengingat nama-nama orang yang paling berpengaruh dalam hidup kita, serta mendeskripsikan reaksi tubuh bila berada dalam kecemasan.

Selain didasarkan pada pengalaman ketika memberi pelatihan mengendalikan emosi melalui keterampilan menulis, Tujuh Langkah Menulis untuk Kesehatan Mental ini dilengkapi dengan referensi sejumlah buku tulisan James W. Pennebaker, yang menulis beberapa buku tentang menulis untuk penyembuhan. 

Setelah menjadi modul, materi dikonsultasikan ke psikolog Maria Ekowati. Oleh karena menjadi bagian dari persahabatan, penghargaan kepada Maria Ekowati pun diberikan dalam bentuk ucapan terima kasih tak terhingga. Namun jangan meragukan komitmennya. Dalam setiap pertemuan online, Mbak Maria selalu hadir tepat waktu—sering bergabung lebih awal— sekalipun banyak hal yang harus ia selesaikan. Bahkan beberapa kasus dari para peserta masih menjadi perhatiannya sekalipun kelas sudah berakhir. 

Pada Mei 2020, dibuka kelas jarak jauh pertama. Respons peserta di angkatan pertama cukup membuat para mentor tertantang untuk membuat kelas-kelas berikutnya, sekalipun jumlah peserta tetap dibatasi maksimal 20 orang. 

Pernah ada masa ketika kehidupan umat manusia diporakporandakan oleh virus corona yang tak terlihat mata.

“Menulis” dalam pelatihan ini bukanlah melatih peserta untuk menjadi seorang penulis kolom, cerpenis, atau bahkan novelis, melainkan lebih pada membiasakan diri untuk mencurahkan hati dan pikiran melalui tulisan. Setiap hari, selama tujuh hari, peserta harus menyediakan waktu—sesuai dengan fleksibilitas yang dimiliki—untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Mencatat apa yang dipikirkan dan dirasakan, merefleksikan apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. 

Setiap Selasa, bergiliran kami membimbing dan melayani pertanyaan para peserta terkait dengan video tutorial yang kami tayangkan, termasuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Di antara para peserta, kecemasan itu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun, ketika mereka mulai diminta mengidentifikasi permasalahan melalui tulisan, dengan sendirinya pikiran dan perasaan itu mampu menyeleksi mana yang sungguhsungguh harus dipikirkan, mana yang sebenarnya hanyalah efek dari banyaknya informasi yang tidak perlu dipikirkan.

Bukan tanpa hambatan ketika meluncurkan program “Menulis untuk Kesehatan Mental”. Siapa, sih, yang mau mengakui dirinya tidak sehat secara mental? Kesehatan mental masih disejajarkan dengan kewarasan. Tidak sehat mental berarti tidak waras alias gila. Sesederhana itu. Berbeda dengan kesehatan fisik yang bisa diidentifikasi dari suhu badan atau gejala-gejala lainnya, kesehatan mental tidak selalu tampak. Namun jaminan kerahasiaan peserta membuat mereka tidak ragu-ragu bergabung. 

Yang paling menyenangkan dari kelas ini adalah pengakuan para peserta ketika mereka menyadari kelebihankelebihan yang dimiliki tetapi selama ini terabaikan oleh rutinitas. Seorang profesional—pemilik perusahaan event organizer—mengaku tidak bisa berhenti menulis sejak membebaskan dirinya dari kungkungan penilaian orang. Ia sangat produktif menulis. Bahkan bertekad akan membukukan kisah-kisah inspiratif yang dialaminya. 

Kehilangan ibunda pada saat ia harus menjalani serangkaian terapi kanker di saat pandemi bisa diatasi dengan menorehkan isi hatinya melalui kata-kata. Luka batin tidak begitu saja hilang. Namun catatan-catatan selama mengikuti tahapan-tahapan menulis untuk kesehatan mental membuat seorang peserta dari Yogyakarta itu bisa melihat lebih banyak sisi positif yang harus ia syukuri daripada mengutuki keadaan. 

Dari Surabaya, seorang peserta bertekad akan terus menuangkan pengalamannya menemani pasien-pasien paliatif. Sebab, dari orang-orang yang ia temani, ia memperoleh kekuatan untuk berbuat lebih banyak bagi sesama.

Peserta “Menulis untuk Kesehatan Mental” menyebar tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, bahkan ada yang dari Swiss dan Jepang. Pandemi seperti menjadi terminal pemberhentian untuk lebih mengenal diri sendiri. Mengenal apa yang sudah dilakukan selama ini, mengetahui kekurangan dan kelemahan diri sendiri, bahkan lebih mensyukuri apa yang sudah terjadi. 

Berhenti sementara dari berbagai rutinitas, melihat ke dalam diri sendiri bahwa kehidupan memberi kita banyak bekal dan pelajaran, tetapi selalu tertutup oleh berbagai kegiatan yang berkejaran. Di kelas “Menulis untuk Kesehatan Mental”, setiap peserta diminta menulis dengan tangan—bukan menggunakan handphone atau komputer. Melatih kesabaran; memberi kesempatan jari, perasaan, dan pikiran; serta lebih lama berkoordinasi dan bekerja sama. 

Sampai di angkatan kelima yang diikuti 50 orang, program ini disepakati untuk dilanjutkan pada tahun berikutnya karena banyak peserta yang menginginkan kelas intensif. Para peserta ingin menuliskan pengalaman mereka selama pandemi menjadi catatan sejarah yang dapat dibaca generasi berikutnya. 

Pernah ada masa ketika kehidupan umat manusia diporakporandakan oleh virus corona yang tak terlihat mata. Namun, dalam perjalanan hidup, sesulit apa pun masalah dan tantangan yang harus dihadapi, banyak tangan baik yang selalu siap membantu bila kesulitan datang. Selalu ada jalan keluar, terutama bila kita berada dalam hati yang gembira dan mental yang sehat. 

Jakarta, Oktober 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top