Wartawan di Tempo Media selama 19 tahun. Sebelumnya, ia bekerja untuk majalah hukum Varia Peradilan, majalah Berita Sinar, tabloid berita AKSI, dan majalah gaya hidup Male Emporium. Bukunya, Kehidupan Kedua Penyintas Kanker, terbit dalam berbagai format dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia. Ia juga menerbitkan buku saku seri Hidup Bersama Kanker berjudul Tubuhku Panglimaku dan Mindset Kuncinya.
Semuanya bermula dari diskusi tentang Covid-19, berdua di grup perpesanan beranggotakan empat orang, temanteman yang saya kenal di tengah riuhnya gelombang demonstrasi pada peristiwa Semanggi 2 di Jakarta, 1998. Saya dan Nuri, begitu kami memanggil sahabat kami itu dengan nama kecilnya, bersepakat bahwa wabah di Indonesia ini dimulai dari kelas menengah melalui kontak dengan orang asing dan perjalanan internasional. Khas kelas menengah.
Dua teman lainnya tak merespons perbincangan, mungkin sedang sibuk. Mereka adalah ibu tiga remaja yang juga pekerja kantoran dan seorang advokat yang sedang turut istrinya tugas belajar di Australia. Tak lama setelah diskusi itu, Nuri, orang pertama yang membesuk sehari setelah saya menerima vonis kanker payudara pada 2012, mengirim pesan teks melalui jalur pribadi. Ia ingin saya membantu menyalurkan zakat malnya lebih cepat karena wabah ini. “Aku lihat-lihat, di sekitarku enggak ada orang yang kesulitan,” kata pembantu rektor sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta itu. Saya langsung bersedia. Ketika Nuri bilang begitu, seketika yang terbayang adalah tetangga-tetangga saya yang banyak kesusahan akibat pandemi tak terbayangkan ini.
Saya tinggal di perkampungan di Surabaya Selatan. Seperti perkampungan umumnya yang tumbuh alami, penduduk kampung saya beraneka ragam latar belakangnya. Dari perwira tinggi, hingga buruh cuci. Ada notaris, dokter, pemilik sekian toko elektronik, tapi banyak juga pekerja harian, pekerja informal yang menggantungkan hidup dari keramaian Jalan Raya Ketintang yang biasa hiruk-pikuk karena dekat dengan kampus, sekian sekolah, mal, dan kantor sebuah BUMN.
Pekerja harian ini paling rentan saat wabah menghajar perekonomian dan membuat orang seketika menjadi “tahanan rumah”. Pedagang harian kehilangan pelanggan dan pendapatan, pemilik rumah kos kehilangan penyewanya begitu kampus tutup, tukang parkir kehilangan pendapatan karena warung dan kafe tutup, penjaga toko di mal dirumahkan. Orang-orang kantoran bekerja dari rumah, tapi masih menerima gaji. Meski mungkin ada yang dipotong gajinya, mereka masih punya pegangan pendapatan setiap bulan. Yang pegawai negeri atau tentara dan polisi, mendapat gaji seperti biasa.
Bagaimana dengan mereka yang untuk makan hari itu harus mencari pada hari itu juga? Gimana? Makan apa mereka ketika wabah membuat sebagian besar orang tak keluar dari rumah, sedangkan penghasilan mereka didapat dari kerumunan? Itu sebabnya, begitu Nuri menawari saya membantu membagikan zakat malnya, yang terpikir adalah mereka yang rentan itu. Entah ide dari mana, zakat uangnya saya jadikan paket bahan pangan untuk mereka yang terkena dampak sampar ini agar bisa dinikmati banyak orang yang memerlukan.
“Aku jadiin paket bahan pangan, ya?” Dia setuju saja. Nuri tak peduli bagaimana saya akan membagikan zakatnya, toh saya meminta izinnya. Yang dipikirkannya justru kondisi fisik saya. Dia khawatir saya kelelahan. “Jangan ngoyo.”
Pekerja harian ini paling rentan saat wabah menghajar perekonomian dan membuat orang seketika menjadi “tahanan rumah”.
Endri Kurniawati
Saya merasa harus ekstra berhati-hati terhadap wabah karena berdampak lebih galak kepada orang dengan penyakit penyerta atau komorbid. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mencatat virus corona 12 kali lebih mematikan bagi pasien komorbid. “Kematian 12 kali lebih tinggi bagi pasien komorbid yang dilaporkan (19,5 persen) dibanding mereka yang tidak memilikinya (1,6 persen).” Begitu laporan yang dikutip laman Fox News, Juni 2020. Angka itu didapat dari pencatatan pandemi corona yang mengakibatkan 1.761.503 kasus dilaporkan dan 103.700 kematian di Amerika pada 22 Januari-30 Mei 2020. CDC juga mencatat rawat inap enam kali lebih tinggi di antara pasien dengan komorbid daripada mereka yang tidak.
Jiper? Tentu saja. Saya baper kalau data sudah bicara, meskipun kejadiannya di seberang benua. Tapi, alhamdulillah, ada cara yang tidak akan membuat saya kecapekan dan menambah risiko terjangkit wabah. Saya meminta pemilik warung yang letaknya persis di sebelah rumah membuat paket bahan pangan, sekaligus mengantarkannya kepada calon penerimanya. Saya juga meminta bantuan kerabat yang punya toko di kampung sebelah. “Syukur, kalau ada solusi,” kata Nuri.
Cara itu sangat praktis. Saya sengaja tidak membeli paket bahan pangan ke toko swalayan bermodal besar seperti usul seorang donatur. “Paketnya bagus, ada gulanya juga,” kata teman itu. Saya menolak usul itu. Memilih membeli bahannya dari toko kelontong karena alasan-alasan ini:
- Saya tak perlu keluar jauh dari rumah sehingga meminimalkan kontak dengan orang lain.
- Tak perlu ongkos kirim.
- Tak perlu biaya tambahan untuk kemasan.
- Membantu bisnis pemodal kecil.
- Mendapat harga lebih murah sehingga isi paket bisa mendapat lebih banyak barang.
- Dapat layanan antar gratis kepada para penerima.
Pemilik toko tahu persis warga yang kesulitan pangan berdasarkan barang belanjaannya. Yang belanjanya hanya gula seperempat kilogram atau telur dua butir, atau beras setengah kilogram, pastilah orang yang sedang kepepet krisis. Data kualitatif seperti ini tidak akan ada dalam catatan RW atau RT.
Isi paket bantuan yang dikemas toko sebelah adalah 5 kilogram beras kemasan, 1 kg telur, 1 liter minyak goreng kemasan, dan tiga bungkus mi instan dengan harga riil Rp 100 ribu. Sedangkan dari warung kerabat, dengan harga yang sama, dapat isi lebih banyak: 5 kilogram beras kemasan, 1 kg telur, 1 liter minyak goreng kemasan, empat bungkus mi instan, sebungkus kecap, sebungkus garam, dan sebungkus lada bubuk.
Saya memasukkan bahan-bahan tambahan garam, kecap, dan lada bubuk untuk membantu berhemat. Jika beras masih ada tapi lauk sudah habis, bahan tambahan bisa dipakai untuk teman nasi. Tentu ini tidak layak. Tapi, dalam situasi krisis, orang harus bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhan paling dasar.
Saya tidak memasukkan gula dalam paket pangan. Menurut saya, gula adalah kebutuhan sekunder. Orang yang lapar akan mencari nasi, bukan gula yang kebetulan harganya sedang sangat mahal. Selain itu, nasi akan menjadi gula atau glukosa di dalam tubuh. Hantaran paket pangan dimulai untuk yang paling dekat dengan saya secara fisik. Tetangga, pedagang keliling, tukang topeng monyet, pengantar obat apotek, tukang sampah, penarik becak, pekerja angkutan, pekerja katering untuk perhelatan, penjaga toko yang dirumahkan, hingga pengemudi taksi di pul terdekat dengan rumah saya yang letaknya di kampung sebelah.
Pembagian paket saya lakukan saban saya libur mengedit untuk Tempo.co. Pemilik warung meminta penerima paket tanda tangan sebagai tanda terima. Pemilik warung juga memotret penerima hantaran sebagai bukti bahwa bantuan paket sudah diterima oleh target.
Pada pembagian pertama, 74 paket bahan pangan didapat dari lima donatur. Pengiriman tak langsung menyebar dalam satu hari, tapi hingga tembus ke pekan berikutnya. Hingga pengiriman kedua, 94 paket dari tujuh donatur terdistribusi, lalu bertambah rata-rata 20 paket pada pengiriman berikut-berikutnya. Saban selesai membagikan paket, saya mengumumkannya di media sosial beserta sebagian foto yang saya kaburkan gambarnya. Bukan untuk riya’, tapi untuk memberi tahu donatur bahwa donasinya telah sampai kepada mereka yang membutuhkan. Saya ingin pelaporan yang transparan dengan tetap menyimpan nama dan wajah penerima bantuan pangan. Bukankah semua harus dilakukan “di atas meja”?
Tak disangka, status di media sosial itu menarik minat teman-teman saya untuk bergabung memberikan donasi. Sebagian teman mengontak saya dan menyatakan kesediaan berbagi tanpa saya ajak. “Wabah ini bikin kita jadi patah hati ya, Mbak,” kata seorang donatur. Bagaimana tak patah hati, melihat seorang penjaga toko di mal dekat rumah menawarkan diri menjadi asisten rumah tangga agar bisa bertahan hidup di Surabaya, sedangkan ia tak punya ongkos untuk pulang kampung ke Lamongan? Bagaimana tak galau melihat seorang tetangga beranak empat, sedangkan suaminya tidak gajian lagi, entah sampai kapan? Paket bantuan ini tentu tak bisa mengatasi kesulitan-kesulitan mereka. Tapi, setidaknya bisa sedikit mengobati galau dan patah hati para donatur mengingat mereka yang kesulitan. Sebagian donatur lainnya sengaja saya colek. Tak sulit mengajak mereka. Sekali senggol, langsung ikut. Mereka justru berterima kasih diajak berbagi, bahkan ada yang minta diajak jika ada program bantuan lagi dalam bentuk lain.
Hingga tiga bulan—minus sebulan selama Syawal— sebanyak 164 paket bantuan pangan dibagikan dari 18 donatur dengan macam-macam latar belakang. Para donatur itu adalah ibu rumah tangga hingga wakil rektor. Pengusaha hingga peneliti, manajer perusahaan multinasional, guru, akuntan, hingga wartawan seperti saya.
Donatur terbanyak berada di Surabaya, yang paling jauh ada di Swiss. Banyak juga dari Sidoarjo, ada pula dari Balikpapan, Jakarta, dan Bogor. Alhamdulillah, saya berada di lingkungan yang baik. Lingkungan yang mudah untuk mendapatkan teman seiring dalam kebaikan.
Jakarta, Agustus 2020