Direktur Pusat Pengembangan Sumber Daya Perempuan (PPSW) pada 1995-2000. Dia kemudian mendirikan PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) yang berfokus pada pemberdayaan perempuan kepala keluarga di Indonesia. Ia ikut menginisiasi beberapa jaringan LSM nasional yang mempromosikan hak-hak perempuan, seperti Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), ALIMAT, dan FAMM-INDONESIA.
“Bantuan diutamakan untuk orang-orang yang memang membutuhkan, misalnya janda tua di atas 65 tahun, kecuali janda usia 20-30 tahun,” ujar Bupati Lumajang dalam webinar yang diselenggarakan sebuah lembaga swadaya masyarakat.
Seminar terkait dengan pengawalan pelaksanaan bantuan langsung tunai dana desa (BLT-DD) pada 9 Mei 2020 itu langsung menipiskan telingaku. Apa yang ada di pikiran Bupati tentang janda 20-30 tahun?
“Apa maksud Pak Bupati tentang janda usia 20-30 tahun?” pertanyaan yang aku ajukan melalui chat box itu dijawab ringan. “Ini lelucon aja, kalau janda usia 20-30 tidak usah dikasih BLT, tapi dicarikan suami saja!”
Status janda dijadikan bahan lelucon dalam perbincangan serius ketika sedang mengemban tugas, mengatasi dampak Covid-19 untuk masyarakat rentan. Jika saja acara ini berlangsung tatap muka, pasti aku akan berdiri, menginterupsi.
Di kepalaku terbayang wajah para perempuan kepala keluarga yang tergabung dalam Serikat Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), yang diorganisasi Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Sebagian besar sedang berjuang mengatasi kesulitan hidupnya pada masa pandemi. Yayasan ini berdiri pada 2001 dan tersebar di seluruh Indonesia.
Berjuang Sendiri
Sejak pandemi Covid-19, banyak anggota Pekka yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya Asmawati, yang harus menjadi kepala keluarga bagi empat anaknya.
“Sejak penerapan jarak sosial, saye tidak bise ngojek agik,” ujar Asnawi dari Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dia janda bercerai karena suami kawin lagi.
Ia tidak bisa mengojek karena orang tidak berani naik ojek. Bahkan orang-orang yang biasa menyuruh bekerja di kebun untuk membersihkan rumput, menyemprot hama, dan mencongkel buah kelapa pun jarang. Penghasilannya tidak menentu, sementara kebutuhan hidup meningkat.
“Semua anak saye belajar online di rumah,” dia menambahkan. Beban membeli pulsa semakin besar. Anakanak pun berebut ponsel Android karena tidak punya banyak ponsel, dan berakhir dengan ponsel itu rusak. Empat anaknya semua masih bersekolah. Dua anaknya, berusia 21 dan 23 tahun, kuliah di perguruan tinggi, sementara dua adik mereka SMA (18 tahun) dan SMP (16 tahun).
Selama ini sumber penghasilan utamanya dari ojek untuk mengantar ibu-ibu yang mau berbelanja ke pasar di Pontianak, atau ke mana pun, rata-rata adalah Rp 1.500.000 per bulan. Ia pun merasa sedih dan stres, yang berdampak pada sakit fisik. Namun ingin berobat ke puskesmas pun tidak berani.
Beda lagi pengalaman Marlia, 45 tahun, perempuan dari Desa Saneo, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu. “Pekerjaan saya selama ini, selain bertani, berjualan dan menjadi buruh tani. Ketika pandemi, jagung yang saya panen dari ladang harganya anjlok karena gudang penampung jagung petani ditutup sampai batas waktu yang tak ditentukan. Jangankan untung, modalnya saja tidak kembali,” ujar janda dengan tanggungan empat orang ini: dua anak, satu adik, dan ayah kandung.
Hidup sehari-hari sudah susah, apalagi pada masa pandemi. Jualan tidak ada yang membeli, sementara kebutuhan anak-anak terus meningkat. Dalam waktu singkat, ia harus memperoleh uang untuk membayar tiket pesawat kepulangan anaknya dari Solo ke Bima karena pondok pesantren tempat mereka belajar memulangkan semua santrinya. Ia terpaksa menggadaikan tanah dan ladang ke tetangganya untuk menutupi kebutuhan.
Tetap Peduli
Sejak pemerintah memberlakukan kondisi tanggap darurat bencana Covid-19, lebih dari 69 ribu perempuan kepala keluarga yang telah terjangkau Yayasan PEKKA menghadapi kesulitan ekonomi. Tidak kurang 75 persen dari mereka berkurang penghasilannya, bahkan 39,5 persen mengatakan penghasilannya tidak menentu.
Mereka yang selama ini berjualan di sekolah atau tempattempat wisata dan hiburan otomatis berhenti ketika semua ditutup. Demikian juga mereka yang berproduksi dan berjualan di pasar. Penghasilan mereka berkurang karena pasar sepi. Bahkan mereka yang berkebun pun terbatasi ruang geraknya untuk bercocok tanam. Di sisi lain, pelarangan berinteraksi sosial tanpa dibarengi penjelasan memadai tentang bahaya Covid-19 menyebabkan trauma dan ketakutan. Semua itu harus dihadapi sendiri.
Meskipun demikian, mereka tidak menyerah. Sebagai kepala keluarga, mereka selalu mampu bertahan bahkan bangkit dari keterpurukan yang mahadahsyat. Bahkan, di tengah kesulitan yang dihadapi, mereka masih sanggup membantu orang lain yang membutuhkan.
Dalam merespons kondisi darurat yang dihadapi, Yayasan PEKKA memfasilitasi penyaluran bantuan kebutuhan dasar, seperti beras, minyak, dan bahan pangan lainnya. Ribuan paket bantuan berhasil dikumpulkan dari berbagai pihak serta disalurkan kepada komunitas Pekka dan kelompok marginal lainnya di berbagai daerah.
Perempuan kepala keluarga miskin merupakan salah satu bentuk nyata “feminisasi kemiskinan”.
Nani Zulminarni
Sebagian anggota Pekka bergabung dengan Satuan Tugas Covid yang dibentuk pemerintah desa. Selain turut memantau penyaluran bantuan sosial pemerintah guna memastikan anggota Serikat Pekka dan kelompok marginal lainnya mendapatkan hak, mereka turut membuat serta membagikan masker kain sambil memberikan penyuluhan tentang bahaya Covid kepada masyarakat luas.
Asia, 39 tahun, salah seorang anggota Serikat Pekka di Kabupaten Sampang, Madura, menemukan kesalahan eksklusi bantuan di Dusun Taman, Desa Taman, Kecamatan Jrengik. Ia menemukan satu rumah sederhana yang dihuni Nenek Mideh, janda berusia 61 tahun, yang suaminya sudah meninggal.
Sejak anak lelaki satu-satunya berkeluarga, Nenek Mideh hidup sendiri. Ia sakit-sakitan dan sudah lima tahun mengalami lumpuh. Dia hanya bisa bangun ketika ada yang menuntun. Pada siang hari, anak Nenek Mideh datang membawakan makanan dan menggantikan air untuk kencing di dalam kamarnya. Nenek Mideh tidak ada dalam data penerima bantuan karena tidak memiliki kartu keluarga sendiri.
Asia memperjuangkan hak Nenek Mideh sehingga mendapatkan bantuan tunai sebesar Rp 600 ribu dan paket beras sejahtera (rastra).
“Saya sampai menangis ketika mendapat telepon dari Bapak Apel bahwa Nenek Mideh akan mendapatkan bantuan BLT-DD senilai Rp 600 ribu dan akan diberikan bulan ini,” ujar Asia. Bukti valid yang dimiliki Pekka itulah yang membuat Nenek Mideh memperoleh haknya.
Feminisasi Kemiskinan
Perempuan kepala keluarga miskin merupakan salah satu bentuk nyata “feminisasi kemiskinan”. Perempuan menjadi kepala keluarga tidak hanya karena suaminya meninggal atau bercerai, tapi juga ketika suami berpoligami, merantau, sudah sangat tua, sakit menahun, atau disabilitas. Perempuan yang memiliki anak tanpa suami dan tidak menikah termasuk kategori perempuan kepala keluarga. Pada umumnya, mereka harus menanggung beban kehidupannya sendiri ataupun keluarganya.
Setiap tahun, jumlah mereka terus meningkat. Data PEKKA menunjukkan, dalam setiap empat keluarga di Indonesia, satu keluarga sesungguhnya dikepalai perempuan. Lebih dari 80 persen dari mereka merupakan kelompok termiskin di negara ini.
Bencana pandemi Covid-19 semakin menguak keberadaan perempuan kepala keluarga miskin, khususnya di desadesa. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar pada 1 Juli 2020 menyampaikan laporan penyaluran dana BLT-DD di hadapan rapat Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, seperti dikutip dari Kumparan.com.
“Pada posisi 29 Juni, dana desa sudah tersalurkan di 70.546 desa atau setara dengan 94 persen dari total desa yang ada di Indonesia dengan jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) 7.502.489 keluarga, yang terdiri atas PEKKA ternyata banyak sekali. Ada 2.025.672 atau 27 persen penerima BLT dana desa adalah perempuan kepala keluarga,” tutur Sang Menteri.
Alih-alih menganalisis data tersebut sebagai bentuk feminisasi kemiskinan, Sang Menteri lagi-lagi menjadikannya candaan. “Janda tua, Pak,” ujarnya, disambut gelak anggota Komisi VIII dan jajaran Kementerian yang hadir. Sambil senyum-senyum, dia berkata, “Harus saya pertegas ini (janda tua).”
Komunitas Pekka di seluruh Indonesia pun bereaksi keras. “Menjadi janda bukanlah keinginan sendiri. Kalaulah boleh memilih, tidak ada perempuan mau jadi janda. Pikiran-pikiran pejabat seperti itu harus dicuci bersih sampai ke akar,” ujar Petronela Peni, salah seorang pemimpin Serikat Pekka di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
“Pejabat tidak punya etika terhadap janda. Maju terus, Bunda. Kami perempuan kepala keluarga dari Sabang sampai Merauke akan terus berjuang dan melawan,“ ucap Yusnita, anggota Serikat Pekka dari Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Jakarta, Agustus 2020