Pesona Agroekologi dalam Ketahanan Pangan

Pendiri dan pemimpin Pesantren Ekologi Ath Thaariq yang sebelumnya juga mendirikan dan memimpin Serikat Petani Pasundan. Salah satu inisiator Sekolah Ekologi Indonesia; serta salah satu dari 72 Ikon Pancasila, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila RI, 2017; dan 11 Inspirator Revolusi Mental, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, 2018.

Pengurus dan para santri Pesantren Ekologi Ath Thaariq, Garut, Jawa Barat, tampak sibuk mengolah padi pascapanen akhir Maret 2020. Sebanyak 3,5 ton beras organik itu diperoleh dari zonasi sawah tanpa dibajak dari 4.500 meter persegi. Bukan hanya beras organik. Dari total luas lahan 8.500 meter persegi itu, terdapat kolam dan kebun darat yang ditanami jambu merah, markisa merah, kangkung, eceng sawah, genjer, serai, salam, lamtoro, cincau, koro benguk, blingo, labu kuning, pisang, dan berbagai tanaman pangan lainnya. Semua tumbuh subur, menghasilkan bahan pangan berlimpah. 

Pandemi tidak hanya mengancam kesehatan umat manusia, tetapi juga stok pangan. Paling tidak, itu tecermin dari peringatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020. Covid-19 bisa berdampak pada bencana kelaparan skala besar di seluruh dunia. Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley memprediksi skenario terburuk dari bencana kelaparan ini akan melanda sedikitnya tiga lusin negara. 

Stok pangan yang dimiliki Pesantren Ath Thaariq sebenarnya bukan untuk mengantisipasi dampak pandemi, melainkan merupakan buah perjuangan yang sudah dilakukan sejak 1994. Tak mengherankan bila pondok itu menyandang nama “Ekologi”, yang membedakan dengan pesantren lainnya. Ketika itu, saya bersama suami, Kiai Ibang Lukmanurdin, aktif di Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut. Forum itu melakukan advokasi konflik agraria antara rakyat dan Perhutani di Kabupaten Garut. 

Dampak kejatuhan rezim Soeharto, konflik agraria bermunculan di Tanah Priangan. Pada 1999, kami turut membidani kelahiran Serikat Petani Pasundan. Karena cemas dan merasa ada yang salah dalam pola pengorganisasian, penguasaan lahan tidak dibarengi dengan penataan produksi yang tepat. Pada 2008, kami terpaksa hijrah, membangun Pesantren Ekologi Ath Thaariq. Ketika itu kami melihat penguasaan lahan tidak berdampak pada kesejahteraan petani, sehingga banyak petani menelantarkan, menyewakan, menggadaikan, bahkan menjual lahannya. Distribusi lahan di Desa Sagara, Kabupaten Garut, menjadi cermin kesalahan tata produksi.

Stok pangan yang dimiliki Pesantren Ath Thaariq sebenarnya bukan untuk mengantisipasi dampak pandemi, melainkan merupakan buah perjuangan yang sudah dilakukan sejak 1994.

Nissa Wargadipura

Saya meminta suami, yang merupakan anak kiai mumpuni di Garut, mendirikan pesantren, dengan catatan memiliki keunikan. Pendidikan Rahmatan Lil’alamin menjadi konsep dan gagasan dasar Pesantren Ekologi Ath Thaariq. Islam adalah bentuk rahmat dan kasih sayang Allah SWT, karunia dan nikmat yang diberikan kepada makhluknya di seluruh alam semesta. Di dalamnya dijunjung tinggi hakhak asasi manusia, termasuk menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan. Rahmat ini adalah milik Allah dan diturunkan melalui Islam untuk dinikmati bersama-sama. Kami berbagi tugas. Kiai pada kajian dan telaah agama berbasis perlindungan biodiversity, saya pada praktiknya. 

Sawah Kami, Nyawa Kami 

Pada 2008, di awal menjalani kegiatan, tanaman di kawasan pesantren hanya satu jenis atau monokultur, yakni padi berjenis IR64. Dari musim ke musim, dari tahun ke tahun, hasil padi menurun. Bulir-bulir padi diserang ratusan tikus. Tidak ada satu pun area sawah yang berhasil dipanen maksimal. Perkembangan tikus semakin masif menyerang pada musim padi berbuah dan mendominasi rumah, termasuk memakan gabah yang disimpan ketika musim padi sedang tumbuh.

Tiga tahun yang melelahkan, putus harapan, dan hampir meninggalkan dunia pertanian. Tikus berkembang biak sangat cepat, menjijikkan. Bisa dikatakan tikus-tikus itu menguasai setiap jengkal tanah dan rumah kami. Di musim paceklik, pada siang hari mereka bersembunyi di liang-liang tanah, sedangkan pada malam hari mereka datang ke rumah untuk mencari makan. 

Setelah dilakukan kajian, kami menemukan bahwa kekacauan ini terjadi karena terputusnya mata rantai makanan sehingga mengancam ekosistem. Tikus merajalela, sementara beberapa binatang, termasuk kadal dan burung gereja, tidak sebanyak sebelumnya. 

Keputusan mendirikan pesantren berbasis pertanian membuat kami harus berpikir keras. Stok pangan santri dan keluarga besar harus terjamin. Maka tak ada cara lain kecuali memikirkan bagaimana menyelamatkan lingkungan, mencari penyebab kehancuran persawahan. Dari berbagai literatur, berdiskusi, termasuk melakukan refleksi, kami menyadari bahwa sistem monokultur telah merusak lingkungan. 

Kami mulai membiarkan sebagian lahan garapan tetap rimbun, tidak ditanami, dibiarkan menjadi semaksemak, sebagai tempat ular bersarang. Ular adalah predator atau pemangsa tikus. Proses pembiaran itu tidak hanya mendatangkan ular, tetapi juga burung hantu. Sayangnya, kepadatan lingkungan membuat beberapa tahun terakhir, burung hantu tidak lagi singgah di kampung kami. 

Tidak semua lahan ditanami padi. Berbagai jenis tanaman pangan, termasuk tanaman obat dan tanaman keras, mulai disemai. Setahun setelah upaya memulihkan ekosistem, tikus yang selama ini mendominasi dan menduduki beberapa sudut rumah berkurang. Ular berhasil menyeimbangkan populasi tikus. Tidak ada lagi jeritan pada malam hari karena digigit tikus saat tidur. Gabah hasil panen yang disimpan pada masa tanam pun aman dari serangan binatang itu. 

Keseimbangan Ekosistem 

Menjaga keseimbangan ekosistem dan menanam beraneka ragam hayati menjadi prinsip utama dalam bercocok tanam. Alhasil, kami berhasil meminimalkan kerusakan lingkungan serta lahan pertanian akibat hama dan penyakit. Kami hampir tidak pernah mengalami krisis pangan karena, bila satu jenis tanaman pangan gagal panen, masih ada tanaman lain sebagai pengganti. Keseimbangan ekologi memberi keuntungan besar secara ekonomi. 

Pemulihan keseimbangan ekologi dilanjutkan dengan menanam benih padi varietas lokal yang selama ini sudah dikenal di Tanah Priangan. Ternyata, tanaman pun bisa saling melindungi, saling menguatkan. Banyaknya varietas padi yang ditanam berdampak positif. Lima jenis padi ditanam sekaligus, dicampur. Dalam satu lahan, ditanam benih padi Sanggarung, Ciherang, Sarinah, Raja Lele, dan Panawuan. 

Pola tanam itu diperkuat dengan pengalaman pamanpaman kami yang sudah lama menekuni pertanian. Benih padi lokal sangat spesifik lokasi, lebih tahan terhadap kekeringan, tidak terlalu membutuhkan banyak pupuk, tidak membutuhkan banyak air, dan tahan cuaca. Padi lokal sangat adaptif ketika perubahan iklim terjadi. Menanam berbagai jenis benih padi varietas lokal sekaligus membuahkan hasil berlipat-lipat. 

Pada 2011, setelah setahun mengubah pola bertanam, terbukti bahwa menjaga keseimbangan ekosistem dan menanam beraneka ragam hayati menjadi prinsip utama dalam bercocok tanam. Cara ini tahan dalam menghadapi hantaman hama dan penyakit karena tercipta keseimbangan ekologis. Bila satu jenis sayuran kena hama, masih ada sayuran lain yang masih bisa dimakan. 

Kegaduhan dan suasana mencekam akibat pandemi yang mengancam ketahanan pangan bisa diatasi di Pondok Pesantren Ekologi Ath Thaariq. Kami terus bekerja di kebun dengan sistem agroekologi dengan polikultur biodiversity tanaman yang menjadi pangan kami. Semua organik karena tidak memakai pupuk kimia dan pestisida. Hasilnya pun menjadi immune booster, garda terdepan daya tahan tubuh. 

Setiap hari, kami bisa berbagi buah-buahan, sayuran, beras, dan bumbu-bumbu dapur. Pesantren Ekologi Ath Thaariq turut menginisiasi pendirian Pamong Benih Warisan, membagi-bagikan benih warisan yang kami miliki ke setiap penjuru Nusantara, bersama Sekar Kawung, EMPU, Gita Pertiwi, dan Sekolah Pagesangan. Sampai saat ini, sekalipun telah dibagikan kepada begitu banyak kelompok, benih warisan itu tidak pernah habis. 

Agroekologi sangat mempesona dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan perubahan iklim yang sedang terjadi. 

Garut, 16 Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top