Meditasi Bergerak ala Berkebun

Konsultan yang aktif mempromosikan dan memfasilitasi kolaborasi para pihak untuk isu-isu pembangunan berkelanjutan. Hingga 2019, ia bekerja sebagai konsultan Responsible Mineral Initiative untuk Tin Working Group di Indonesia yang mendorong pelaku industri timah mewujudkan responsible tin production. Sita terlibat sebagai relawan di berbagai bidang, antara lain Filantropi Indonesia, Thamrin School for Sustainability and Climate Change, dan Perempuan Indonesia Antikorupsi. 

Setiap milimeter pertumbuhan seperti ikut melahirkan kehidupan baru. Begitulah aku belajar dari aktivitas berkebun, dari mengolah tanah untuk menanam hingga menyemai benih yang lantas tumbuh menjadi tunas. Tunastunas tanaman itu seperti mengirim pesan kehidupan yang membahagiakan. 

Bersapa dengan tanaman, memperhatikan pertumbuhan mereka, mengantarku pada kebenaran apa yang dikatakan Ukke, pengelola KabinKebun di kaki Gunung Burangrang. Seperti pepatah Jawa, “witing tresno jalaran soko kulino”, cinta tumbuh karena biasa. Tidak hanya menyegarkan batin, berkebun bisa menumbuhkan rasa cinta kepada sesama makhluk. 

Sebelum pandemi, mengolah tanah dengan pupuk kambing terasa menjijikkan. Namun, berkat ketekunan, mengolah tanaman dengan sekam bakar, cocopeat, dan pupuk kambing menjadi kegiatan rutin yang menyenangkan. 

Awalnya aku menanam seledri dan tomat. Setiap hari kusapa mereka agar mau bertumbuh dengan gembira. Dan setiap pertumbuhan itu membawa semangat baru di tengah masa pandemi Covid-19 yang semakin kelabu. Apalagi ketika tanaman-tanaman itu sudah mulai berbunga, berbuah, kemudian meranum, siap untuk dipanen. Rasa bangga melihat mereka berada di meja makan untuk dikonsumsi menumbuhkan kebahagiaan tak terkira. 

Kebahagiaan itu bukan hanya milikku, tetapi juga milik suami dan anakku yang lebih bersemangat saat makan hasil kebun sendiri. Semakin lama, berkebun menjadi aktivitas yang ditunggu-tunggu untuk memulai hari. Begitu matahari memecahkan cahayanya, kegiatan menyiram, menyemai, dan merawat tanaman menjadi ritual yang sangat menyenangkan. Sapaan dan obrolan dengan tanaman yang tidak selalu terucap dari mulut, tapi dikatakan dalam hati, tidak mengurangi kuatnya hubungan batin di antara kami. 

Memperkuat Silaturahmi 

Hikmah pandemi bukan hanya diperoleh di pekarangan dan meja makan, tetapi juga menyambung silaturahmi dengan teman-teman yang melakukan kegiatan serupa. Suatu malam pada pengujung Maret 2020, Dian Indraswari, Direktur Pulih, mengirim pesan WhatsApp, mengajakku bergabung dengan kelompok Urban Farming Club. 

Pucuk dicinta ulam tiba. Ada komunitasnya, pikirku. Aku, yang memang senang berkomunitas, langsung menyambut antusias ajakan ini. Anggota grup pun bukan orang-orang baru. Banyak pegiat hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan. Kalau biasanya kami berdiskusi tentang pelanggaran HAM, antikorupsi, dan pelestarian lingkungan dalam lingkup kebijakan, tiba-tiba kami mendiskusikan kangkung, bayam, paprika, cabai, kencur, jahe, dan tanaman sejenis lainnya. Bahkan kelompok ini punya aturan untuk tidak membicarakan hal-hal selain berkebun! Yes! 

Berbagi itu membahagiakan. Banyak berbagi membuat para anggota lebih terpacu mencoba serius menanam. Berbagai jenis tanaman dieksplorasi dan ditanam. Tukar-menukar benih dan bibit, termasuk membedah upaya daur ulang serta pemanfaatan sampah untuk kompos dan pupuk. 

Banyak anggota komunitas Urban Farming Club baru berkebun untuk pertama kalinya. Kami bertukar suka-duka serta pengalaman. Percakapan disertai dengan pamer fotofoto perkembangan tanaman, baik yang tumbuh dengan baik, mati, maupun kerdil. Kejengkelan dan rasa frustrasi yang timbul dengan cepat berubah menjadi canda yang seru. Saling ledek, tetapi tetap saling menguatkan. Tak terasa, interaksi ini membawa kebahagiaan tersendiri karena kegagalan justru berakhir dengan berbagi tips menghasilkan tanaman yang sehat. 

Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Berkebun di rumah sekaligus terhubung dengan berbagai komunitas berkebun melalui media sosial, seperti WhatsApp dan Instagram. Media sosial dimanfaatkan untuk hal-hal yang memberi manfaat. Tubuh pun sehat karena berkebun menjadi model meditasi bergerak. Berbicara dalam diam, dengan tanaman.

I need to do something! 

Ketika pemerintah menyatakan pasien pertama Covid-19 pada Februari, perubahan cara menjalani kehidupan terasa menyenangkan. Virus corona bisa diatasi hanya dengan isolasi mandiri selama dua pekan, mencuci tangan selama 20 detik, menjaga jarak, dan menggunakan masker. Cukup! 

Setiap hari kusapa mereka agar mau bertumbuh dengan gembira. Dan setiap pertumbuhan itu membawa semangat baru di tengah masa pandemi Covid-19 yang semakin kelabu. 

Sita Supomo

Namun, ketika pada bulanbulan berikutnya pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), perubahan cepat memaksa kami semua mengubah perilaku. Termasuk membatasi interaksi dengan orang lain. Jelas ini bukan hal yang mudah. 

Putriku yang berusia 12 tahun mulai menjalani pembelajaran jarak jauh. Suamiku bekerja dari rumah. Aku pun mengurus berbagai hal, seperti berbelanja kebutuhan sehari-hari secara daring atau memesan khusus kepada tukang sayur keliling. Awalnya, kami semua antusias mengerjakan segala sesuatu dari rumah. Namun terus-menerus berada di dalam rumah tanpa bersosialisasi langsung atau berjalan-jalan pada akhir pekan menjadi siksaan karena sebelumnya kami selalu aktif dengan berbagai kegiatan. Ketidaknyamanan itu berdampak pada kepala yang sering pening, tekanan darah naik, bahkan GERD-ku pun kumat. Di dalam badan ini rasanya ingin teriak, “I need to do something!”.

Di tengah gempuran stres yang semakin terasa, ternyata berkebun, yang tadinya hanya kadang-kadang dilakukan, bisa menjadi kegiatan rutin, bahkan solusi. Beberapa bulan sebelumnya, berkebun tanaman pangan organik memang sudah menyita perhatianku, tetapi belum dilaksanakan. Ketika itu, keinginan berkebun pangan organik dipicu oleh keinginan mengurangi bahan pangan yang terbuang karena busuk. 

Dari rutinitas berinteraksi dengan tanaman, terbukti aktivitas itu merupakan bentuk meditasi bergerak. Tanteku, seorang dokter ahli saraf, pernah berkata bahwa memotong rumput dengan gunting rumput kecil adalah upaya untuk melatih kesabaran dan membantu kita untuk fokus. Hal yang sama dikatakan oleh Carla Manly, PhD, seorang psikolog klinis dan penulis yang juga cinta berkebun. 

Meditasi bergerak bertujuan melepaskan kecemasan tentang masa depan karena bisa melepas pikiran yang ngelantur ke manamana, kemudian berfokus pada proses berkebun itu sendiri. 

Jakarta, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top