Kebun dan Rumah Bata: Relung Rasa untuk Hidup Lebih Bermakna

Petani kota pemula, pengelola Rumah dan Kebun Bata. Sehari-hari bergelut dalam isu-isu pemajuan hak asasi manusia. Lulusan Universitas Oslo, Norwegia, ini bekerja sebagai Koordinator Program Regional di Asia Justice and Rights (AJAR) serta menjadi Ketua Dewan Pengurus di KontaS dan Dewan Pengurus Museum Omah Munir.

Tanggal 18 Maret 2020 merupakan hari pertama bekerja dari rumah. Kami, manajemen di kantor, memutuskan agar bekerja dilakukan di rumah masingmasing sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona yang menyebabkan Covid-19 yang terjadi di seluruh dunia. 

Pagi-pagi saya mencari lokasi terbaik untuk bisa menempatkan laptop dan berbagai peralatan kerja. Titik terbaik yang saya pilih adalah tempat saya bisa turut melihat makhluk hidup lain yang tumbuh di rumah saya, “Rumah Bata”. Di sudut kolam ikan dan cabai rawit mungil adalah pemandangan yang saya pilih hari itu. 

Dua tahun terakhir ini saya telah memulai upaya untuk “hidup lebih baik”. Mulai memilah sampah plastik dan kertas untuk dikirim ke bank sampah terdekat. Tidak lagi menggunakan botol dan sedotan plastik, melainkan membawa tumbler dan sedotan stainless sendiri. Membawa tote bag sendiri, tidak memanfaatkan tas plastik gratis, jika ke toko. Saya juga mulai berbelanja di toko yang tidak menyediakan plastik, termasuk ketika membeli berbagai macam kebutuhan makanan dan rumah tangga. Zero waste store

Plastik-plastik yang masih ada di rumah didaur ulang dengan mengguntingnya kecil-kecil lalu memasukkannya ke dalam botol bekas untuk dijadikan ecobricks. Inginnya sih membuat bangku kecil ecobricks. Beruntung, bank sampah tempat saya menitipkan sisa-sisa sampah anorganik bisa menerima ecobricks tersebut. Sebuah ikhtiar kecil yang dilakukan pelanpelan. Tak mudah dan tak murah, tapi bisa. 

Setahun lalu, saya terpesona oleh foto-foto bermacam jenis sayuran organik yang diunggah Anis Hidayah, kawan dekat yang bertetangga beda kompleks, aktivis yang aktif mengadvokasi hak-hak buruh migran. Bersepakat dengan kawan-kawan dekat lainnya, kami berkunjung ke rumah Anis untuk ikut panen sayur-sayuran organik dari Kebun Oriswa, miliknya. Seingat saya, selain dibekali sayur-mayur organik berbagai jenis, saya dibekali bibit cabai rawit dan selada. Bibit itu tak berlanjut tumbuh dan langsung berubah jadi masakan organik yang diolah secara sehat. 

Sebagai bagian dari keinginan hidup lebih sehat, saya berusaha membeli sayur-sayur organik untuk kebutuhan makan keluarga di rumah. Kadang kala, saya turut berbelanja sayursayur segar dari komunitas Studio Alam Indah (SAI), tempat Anis tinggal, atau berbelanja di toko serba sayur dan buah organik di sekitar rumah. 

Pernah terpikir untuk ikut bertanam di kebun kecil kami, tapi tampaknya tak mungkin. Pekerjaan membuat saya kerap bepergian menempuh perjalanan panjang hampir setiap bulan. Kadang kala, rumah hanyalah sebagai tempat singgah, berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya. Keinginan untuk berkebun organik urung terwujud, antara lain karena memang berkebun mulanya bukanlah kegemaran saya. 

Masa pandemi membuat keinginan hidup lebih sehat dan lebih bermakna bisa direalisasikan. Setidaknya dalam pandangan dan harapan saya. Seiring dengan keinginan untuk hidup minim sampah, saya ingin agar sisa organik rumahan tak dibuang sia-sia. Apalagi dengan tinggal di rumah saja dan memasak di rumah, sisa-sisa sayur, buah, dan bahan organik lainnya makin banyak. Selain itu, tentu saja saya ingin menanam tanaman yang bisa langsung dimakan dan diolah untuk kebutuhan sendiri, seperti kangkung, bayam, selada, tomat, mentimun, terung, dan tanaman lain yang menjadi konsumsi sehari-hari. 

“Nis.. mumpung di rumah nih, trus mo lebih serius belajar nanemnanem… hehehe… di mana biasa beli pupuk organik?” Pesan itu saya kirim ke Anis melalui saluran komunikasi WhatsApp. 

Anis langsung merespons dengan mengundang saya ke rumahnya, siap dengan pupuk organik yang dibeli dari komunitas SAI. Padahal saat itu ia sedang sibuk menemani tetangganya yang menjadi pasien Covid-19 nomor satu dan dua di Indonesia. Di sela kesibukannya, ia masih membalas satu per satu para “fans” petani-petani urban baru yang ditularinya dari media sosial. Dengan protokol lengkap, kami berkunjung lagi ke rumah Anis. Berguru tentang urusan tanam-menanam serta belajar cara mengompos lewat Mas Teguh, suami Anis, serta mendapat kontak untuk membeli alat pembuat kompos. 

Sebulan setelah pandemi muncul, saya mulai mengompos. Tak lama mulai panen pupuk organik cair, meski belum berhasil membuat pupuk organik hingga saat ini. Sejak itu, kunjungan ke Kebun Oriswa dilakukan hampir tiap minggu. Berguru tentang pupuk, hama, media tanam, jenis sayur-sayur, dan lainnya. Pulangnya, tentu membawa bekal dan oleh-oleh benih serta bibit sayur-mayur sehat. 

Sejak itu, hari-hari saya diisi dengan menanam benihbenih mungil-mungil dari Anis dan juga dari Evi Permatasari, lewat komunitas Pamong Benih. Saya juga mengikuti berbagai komunitas berkebun di Instagram serta menonton YouTube tentang beraneka cara berkebun organik. Meski tak bisa bertatap muka, ruang belajar untuk bercocok tanam terfasilitasi lewat grup WhatsApp Urban Farming Club (UFC), yang sebenarnya dibentuk setelah kunjungan ke Kebun Oriswa tahun lalu. 

Kami yang berkunjung, Mbak Sandra Moniaga, Mbak Yuniyanti Chufaizah, Mbak Dewi Suralaga, dan Dian Indraswari, kerap bertukar tanya, khususnya kepada Anis Hidayah–yang kami panggil “Ibu Rektor”–untuk proses pengelolaan kebun-kebun kami. Grup ini berkembang luas hingga merambah dunia peraktivisan, khususnya para perempuan aktivis dari berbagai lintas dan sektor, dari isu HAM, lingkungan, buruh migran, perempuan, hingga pembangunan. 

Setiap pagi kami berbagi foto perkembangan kebun dan hasil panen. Harapannya hanya satu, saling “memprovokasi” agar menghasilkan semangat untuk semakin giat berkebun. Kelompok ini menjadi forum untuk berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman, dan berbagi informasi tentang menanam organik, saja. Kami tidak diperbolehkan membicarakan pekerjaan dalam grup ini, meski silang pekerjaan kami saling beririsan.

Kebun Bata secara formal lahir pada Mei 2020, saat benih-benih yang ditanam mulai menunjukkan kehidupannya. Tiap pagi, setelah bangun tidur, rutinitas saya juga berubah. Sambil menyiramnya, saya mengintip satu per satu sayur-mayur serta bunga-bunga yang muncul sedikit demi sedikit. Kebun seadanya yang awalnya berada di lantai bawah ternyata tak cukup membuat matahari menyinari mereka. Saya akhirnya menggotong sebagian dari mereka ke lantai atas untuk mendapatkan sinar matahari yang lebih penuh. 

Hampir tiap minggu rutinitas lainnya adalah berkunjung ke tukang tanaman. Tidak untuk membeli berbagai tanaman, melainkan membeli pot, media tanam, pupuk kandang, serta sekam. Sore hari saat weekend adalah saatnya memindah tanaman, mengutak-atik media tanam, dan mencoba hal-hal baru lainnya. 

Papang Hidayat, suami saya, meski tak langsung memegang tanah, juga memiliki tugas baru: menyiram tanaman setiap sore serta menyemprotkan pupuk organik cair ke masingmasing daun setiap minggu. Sebuah upaya sulit yang membuat saya tak sabar menjalankannya. Adik laki-laki saya yang baru bisa bertemu saat Lebaran lalu sampai terheran-heran akan perkembangan Kebun Bata. Dia mengingatkan saya pada kebun luas dengan berbagai jenis tanaman yang dikelola orang tua kami di rumah masa kecil. Saat itu, saya tak pernah tertarik untuk ikut mengelolanya bersama mereka. 

Kebun berukuran sepetak makin penuh dengan berbagai macam “percobaan” menanam. Panen pertama, kangkung, bayam, terung, mentimun, daun kelor, dan kacang panjang, melahirkan perasaan membuncah sekaligus mengagumi kehidupan. Benih yang kecil mungil bisa berubah menjadi tanaman yang semakin besar dan menghasilkan buah serta benih lagi. Di sisi lain, pupuk organik cair dari sisa organik menjadi nutrisi penyehat mereka sehingga siklus kehidupan tak mati. Ia berputar di sela-sela kelahiran dan kematian. 

Tak melulu berhasil. Kegagalan panen justru lebih banyak. Suatu ketika, karena keinginan untuk segera berbuah, saya menyiram pohon-pohon cabai mungil dengan air garam yang saya dapat infonya dari YouTube. Esoknya, mereka mati. Dari diskusi di UFC, saya tahu, kebanyakan air garam justru membuat mereka tak lagi hidup. Kesedihan terasa karena awalnya memiliki harapan yang tinggi atas kehidupan mereka. 

Masa pandemi membuat keinginan hidup lebih sehat dan lebih bermakna bisa direalisasikan. 

Indria Fernida

Cerita lain datang saat berkali-kali mencoba menanam benih yang sangat mungil, seperti sawi, selada, dan pakcoi. Berbagai cara dilakukan. Dimulai dengan menyemai di tray, menaburnya ke dalam pot kecil, hingga memulai lagi menabur benih satu-satu di dalam pot sampai benih-benih habis, tapi belum kunjung berhasil. Bibit yang saya dapat dari sahabatsahabat UFC juga tak semua tumbuh sehat. 

Suatu ketika, saya merasa pilu, ketika bibit pohon belimbing dari Mbak Sandra akhirnya mati setelah sebelumnya daun-daunnya berguguran. Pilu juga melanda, ketika binahong yang saya ambil dari kantor KontraS pelan-pelan berakhir kehidupannya. Pilu karena merasa bibit ini adalah pemberian sahabat, yang harusnya dijaga dengan baik. 

Kisah unik lainnya muncul ketika saya mengirim foto pohon singkong yang baru tumbuh daunnya, sementara Evi Permatasari memastikan bahwa tanaman pegagan tumbuh subur di sekitarnya. Saya tak pernah menyadari bahwa tanaman kecil-kecil yang awalnya saya anggap sebagai rumput liar itu ternyata memiliki manfaat untuk kesehatan. Bahkan, informasi terbaru, tanaman ini hit untuk kecantikan. Harganya pun cukup mahal untuk sepotong kecil di dalam pot. Kami menjaganya dengan baik, meski sebenarnya pegagan bisa tumbuh subur dengan sendirinya. Saya juga tak menyadari bahwa lidah mertua dan kuping gajah yang tumbuh banyak di Kebun Bata dan telah ditanam sejak lama selama masa pandemi harganya melangit. 

Perjalanan unik dan lucu di kelompok UFC kerap muncul, dari pemahaman bersama bahwa kami telah mengadopsi binahong dari Dian, tapi ternyata tanaman itu adalah bayam Brasil. Atau diskusi panjang dengan Yussy Agastuti tentang bagaimana mengelola kompos, dari soal takaran bau, belatung yang muncul, hingga berbagai cara mengompos. 

Diskusi juga dilakukan bersama Nor Hiqmah untuk berburu kompos organik gratis dari pemerintah Depok. Semula, Kota Depok–tempat tinggal kami–menjadi percontohan untuk unit pengelolaan sampah (UPS) terbaik di Indonesia. Sedianya, penyediaan pupuk organik diberikan kepada warga yang menyetorkan sisa sampah organik rumah tangga untuk diolah kembali menjadi pupuk. Selain itu, UPS menerima sisa sampah anorganik yang telah dipilah, termasuk menerima pengumpulan minyak jelantah. Sebuah kebanggaan khusus menjadi warga Depok di tengah berbagai isu miring tentang kota ini. Perjalanan ini juga membawa pembelajaran yang seru karena berangkat dari pengalaman praktis para petani kota pemula. 

Selain itu, saya mencoba memperpendek usia sisa sampah organik yang telah digunakan. Memanfaatkan kulit pisang serta daun bawang merah dan bawang putih untuk menjadi pupuk non-pestisida, membuat ecoenzym sederhana dari kulit jeruk, serta membuat kaldu udang dari kulit dan kepala udang adalah beberapa cara yang saya lakukan. Satu hal yang membuat gundah: tak bisa menghindari banyaknya sisa plastik akibat keharusan berbelanja online pada masa pandemi ini! 

Hampir tujuh bulan beraktivitas di rumah saja semakin membuat saya menyadari pentingnya kehidupan berkelanjutan yang biasa disebut sustainable living. Pentingnya mengembalikan segala sesuatu yang diambil dari bumi untuk dikembalikan kepada bumi dan penghidupan makhluk hidup lainnya. 

Mengelola sisa sampah anorganik dan mengompos adalah cara terbaik untuk menjaga agar tempat pembuangan sampah tak penuh. Upaya ini juga bertujuan untuk menjaga agar rumah tangga tak bau sampah. Sebagai bonusnya, pupuk organik cair dan pupuk organik menjadi nutrisi bagi sayur-sayur organik yang saya tanam dan dikonsumsi keluarga. Sebuah upaya kecil membangun ketahanan pangan, minimal dalam keluarga kami. 

Meski masih berlangsung dan tak tampak ada perbaikan di Indonesia, masa pandemi telah mengubah hidup saya. Mungkin “rasa hidup” lebih sehat dan lebih baik memberikan semangat atas situasi penghidupan yang tidak pasti. “Rasa hidup” ini juga menjawab kejenuhan yang melanda karena harus “terjebak” dalam kungkungan rumah dan bergabung dalam komunikasi serta diskusi daring yang semakin hari semakin bertambah padat. Kebun Bata dan kehidupan mengelola sisa sampah organik dan anorganik di Rumah Bata telah memberikan “rasa hidup” atas penghidupan berkehidupan dalam keluarga kami. 

Depok, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top