Memberi dengan Ketulusan Hati

Ibu dua anak ini berasal dari Papua: ayah dari suku Lani dan ibu dari suku Walak. Alumnus FKIP Universitas Cenderawasih, Jayapura, ini dipercaya menjadi Ketua Departemen Perempuan GIDI (Gereja Injili di Indonesia). Bersama beberapa pemimpin perempuan lain dalam GIDI, ia berkomitmen memperbaiki gambar dan rupa Pencipta yang sedang dan terus dirusakkan dalam diri manusia, khususnya perempuan.

“Saya harus bertindak!” Masyarakat harus mendapat informasi dalam bahasa yang mudah dimengerti. Sebab, inilah panggilan yang harus dijawab. Kita tidak bisa hanya berada dalam kecemasan dan kekhawatiran. 

“Jenni… kita harus bertemu!” Akhir percakapan melalui telepon dengan Jenni itu mengawali langkah-langkah yang harus dilakukan untuk turut serta mengatasi pandemi Covid-19. 

Sejak pertengahan Mei 2020, Pemerintah Provinsi Papua membatasi kegiatan masyarakat hanya sampai pukul 14.00 WIT. Pembatasan itu belum dibarengi dengan antisipasi dan penanganan pandemi secara cepat. Tempat-tempat untuk cuci tangan belum disediakan. Bahkan masker dan hand sanitizer pun masih sangat sedikit yang dibagikan. 

Hampir setiap hari media mainstream terus memuat peningkatan jumlah orang yang terjangkit virus corona. Apa jadinya pada masyarakat Papua yang sehari-hari selalu melakukan jabat tangan, bahkan berpelukan, sebagai bentuk salam persahabatan? Sementara itu, bila virus menyebar, banyak yang terjangkit, fasilitas kesehatan masih sangat kurang. 

Sebagai Ketua Departemen Perempuan Gereja Injili di Indonesia (GIDI), saya bersama Jenni dan Jeremina–sebagai tim kerja–mendiskusikan apa yang harus dilakukan. Dalam refleksi kami, pandemi Covid-19 benar-benar menguji iman dan menantang kepemimpinan tim kerja. 

GIDI merupakan gereja di Tanah Papua yang lahir di wilayah pedalaman pada awal 1960-an dengan nama Gereja Injili Irian Barat (GIIB). Perkembangan pelayanan telah mencakup beberapa provinsi di Indonesia sehingga nama GIIB berubah menjadi GIDI. 

Anggota jemaat GIDI lebih banyak perempuan. Hampir semua anggota jemaat perempuan bekerja sebagai petani dan menjual hasil kebun di pasar. Dari komposisi itu, bisa dikatakan bahwa sebagian besar perempuan GIDI merupakan kelompok yang rentan terpapar corona

Pelayanan Kasih 

Beberapa hari setelah rapat, dengan sedikit uang yang kami miliki dari kas departemen, kami membeli masker, hand sanitizer, sarung tangan, dan handuk kecil. Pada Rabu, 29 April 2020, beberapa pemuda gereja membantu kami membagibagikan 100 paket sanitary kepada mama-mama pedagang di Pasar Baru Sentani. 

Setelah pelayanan kasih itu, sambil minum qualala di area parkir pasar, Jenni berkata kepada saya, “Kaka… mama-mama yang jualan di blok A sampai blok E belum dapat. Tadi tu hanya dua jalur bagian depan.” Demira dan Laura yang turut dalam pelayanan kasih itu membenarkan pernyataan Jenni. 

“Kalau begitu, kita harus bikin apa lagi?” saya melempar pertanyaan, mengajak semua berpikir dan memberi pendapat. Semua terlihat lelah. 

“Kita su cape, jadi kita pulang dulu sudah eee, hari Jumat ketemu di kantor, baru kita putuskan sama-sama.” 

Tidak mungkin mengandalkan keuangan masing-masing untuk memenuhi kebutuhan pembelian masker dan hand sanitizer. Kami bersepakat membuat poster berisi kebutuhan paket sanitary. Setiap anggota tim menyebarkan poster tersebut melalui Facebook dan grup WhatsApp. 

Sepekan setelah poster disebarluaskan, telepon seluler saya berdering. 

“Ibu Rode, saya akan kirim masker dari Oksibil!” Penelepon adalah Ibu Romauli Taplo, istri penginjil anggota GIDI Jemaat Sion, Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang. 

“Terima kasih banyak, yepmum,” jawab saya singkat sambil menarik napas dalam-dalam. 

Yepmum berarti salam dan terima kasih. Kata itu berasal dari suku Nglaum, yang mendiami daerah Oksibil. Rasa haru meliputi hati saya. Ternyata hidup dalam komunitas rakyat yang masih tinggal di honai dan bergantung pada hasil kebun tidak membatasi diri untuk turut memberi bagi sesama. 

Bukan hanya Ibu Romauli Taplo, ibu-ibu anggota jemaat GIDI yang tinggal di Sentani mengantarkan langsung sumbangan mereka kepada kami. Hoerlina Pahabol dan Demira Payokwa, dua pemuda yang turut menyalurkan masker pada tahap pertama, pun memberi sumbangan dana dengan langsung mengirimkan uang ke rekening Perempuan GIDI. 

Sumbangan juga kami dapatkan dari beberapa orang yang bukan anggota GIDI. Ibu Selvi Wilson memberi puluhan masker anak yang dijahit sendiri. Saudari Fheyrana Wakerkwa dan beberapa pejabat publik turut memberi masker, hand sanitizer, dan sarung tangan yang langsung diantar ke kantor pusat GIDI di Sentani. 

Dari hasil sumbangan, dikemas 500 paket yang kemudian disalurkan ke Pasar Baru Sentani pada 9 Mei 2020. 

“Waktu jual, Mama harus pakai masker dan sarung tangan. Jangan lupa cuci tangan dengan sabun sebelum pulang. Uang yang Mama pegang ini, sudah pindah dari tangan ke tangan,” Jeremina menjelaskan bagaimana cara menjaga kebersihan dan menangkal penyebaran virus corona

“Anak perempuan, waa… waa… waa… su ingat kami, mamamama di pasar,” ujar Mama Gombokwe, yang disambut anggukan dan senyuman dari tim kerja yang membagikan sanitary kit. Waa… wa… wa… berasal dari bahasa Lani, salah satu suku di pedalaman Papua, yang berarti terima kasih. 

“Anak… Mama rasa susah karena sudah hampir satu minggu ini Mama hanya dapat Rp 50 ribu dari hasil jual singkong dengan ubi. Kalau sebelum ada virus corona ini, Mama biasanya dapat Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu,” kisah Mama Gombokwe. 

Keluhan yang sama disampaikan Mama Heni, penjual sagu dan ikan dari Danau Sentani, yang saya jumpai di blok E. 

“Anak Perempuan, Mama ini biasanya dapat berkat Rp150 ribu sampai Rp 300 ribu. Tapi, gara-gara virus corona, mama hanya dapat Rp 100 ribu, kadang kala Rp 80 ribu,” ujar Mama Heni ketika saya membagikan masker dan hand sanitizer.

Gerakan Berkebun 

Pada pembagian tahap kedua, terdapat kelebihan 100 paket, yang kemudian disumbangkan ke Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua. Koalisi tersebut melakukan kegiatan serupa di wilayah Waena, Abepura, dan Kota Jayapura. Sanitary kit tidak hanya dibagikan ke mama-mama Papua, tetapi juga semua pedagang. 

Pelayanan kasih yang kami lakukan ternyata mendapat perhatian masyarakat. Beberapa hari kemudian, saya mendapat telepon dari Lanikwe, seorang pemuda Gereja Baptis. 

“Kaka, kami pemuda gereja sudah membuka lahan baru untuk berkebun. Kami tidak bisa bergantung terus kepada pemerintah untuk dapat bantuan beras. Tapi kami perlu bibit petatas. Kaka dong bisa tolong kami ka?” Permintaan itu membuat kami harus memutar otak. Saya menghubungi Jenni dan Jeremina. Kami pun mengunjungi Mama Setty, Mama Mina, dan Mama Masmina. Ketiga mama memiliki kebun. Mereka menanam petatas, keladi, jagung, pisang, sayuran, mentimun, dan jahe. 

“Mama, ada pemuda Gereja Baptis yang perlu bibit petatas. Mama bisa kasih bibit untuk mereka ka?” tanya saya penuh harap kepada Mama Setty. 

“Bisa Anak. Mama biasa bagi apa yang Mama bawa dari kebun untuk tetangga. Biasa Mama bikin begitu Anak. Apa yang Mama makan, Mama senang kasih orang lain yang tidak punya kebun,” ujar Mama Setty dengan senyum lebar. Saya mengangguk pelan, tak kuasa menahan air mata. Terharu pada nilai hidup Mama Setty. Mama yang telah berhasil menyekolahkan ketiga anaknya menjadi sarjana dari menjual hasil kebunnya. 

Setelah memberikan bibit petatas kepada pemuda Gereja Baptis, permintaan bibit berdatangan dari beberapa asrama mahasiswa. Kami langsung ke kebun bersama ketiga mama dan mengumpulkan semua bibit dari apa yang mereka tanam. 

Dalam tiga tahap, bibit diberikan kepada 12 kelompok pemuda dan asrama mahasiswa, antara lain Asrama Mahasiswa Kabupaten Yalimo; Asrama Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia (STT) Walterpost; P3W Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua; kelompok kerja ibu-ibu di Arso, Kabupaten Keerom; dan Kelompok Pemuda Baptis Papua. 

“Selain asrama, kami membagikan bibit kepada beberapa kawan aktivis perempuan yang juga membuka kebun-kebun kecil di sekitar rumah mereka,” ujarnya. 

Hampir setiap hari media mainstream terus memuat peningkatan jumlah orang yang terjangkit virus corona. Apa jadinya pada masyarakat Papua yang sehari-hari selalu melakukan jabat tangan, bahkan berpelukan, sebagai bentuk salam persahabatan? 

Rode Wanimbo

Pandemi Covid-19 berhasil menggerakkan para mahasiswa untuk berkebun. Mereka termotivasi oleh kelompok pemuda gereja dan masyarakat yang membuka lahan baru untuk berkebun. Juga muncul kekhawatiran terhadap berkurangnya ketersediaan sembako karena pembatasan masuknya pesawat dan kapal dari luar Papua yang diberlakukan pemerintah. 

Selain pemberian sanitary kit dan bibit tanaman pangan lokal, kami memberikan perhatian kepada para mama janda. Bantuan sembako telah menjadi program prioritas Departemen Perempuan GIDI sejak 2018. Sebanyak 40 paket bahan makanan pokok berupa beras, minyak goreng, gula, dan kebutuhan lainnya disalurkan kepada para janda dari tiga denominasi gereja. 

Perempuan-perempuan sederhana yang bergantung pada kebun memaknai kasih dengan ketulusan hati. Peka terhadap kebutuhan sesama, komunikasi yang baik, dan sikap saling menghargai merupakan landasan untuk membangun hubungan kerja sama dan solidaritas. 

Jayapura, Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top