Keranjang Gagasan Guru

Aktif di Yayasan Cahaya Guru sejak 2015. Yayasan Cahaya Guru merupakan lembaga yang didirikan pada 2006 dan memiliki perhatian besar bagi pengembangan tema keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam pendidikan. Di luar Yayasan Cahaya Guru, Sicillia terlibat dalam beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat, khususnya yang berada di Indonesia timur, serta merupakan inisiator program Beri Buku Bukan Peluru. 

“Saat pandemi, sekolah jadi tempat karantina buat yang sakit. Yang sakit dipisahkan dari yang sehat. Masyarakat bantu siapkan makanan dan kebutuhan secara bergantian. Guru-guru mendatangi siswa untuk belajar karena kami di pelosok. Itu kami punya hapuama. Hapuama itu merangkul, bukan saja fisik, tapi juga merangkul dengan hati.” ~ Et Musiin, guru SMP di Seram, Maluku. 

Kami membuat keranjang gagasan guru. Isinya tentu saja gagasan-gagasan dari guru, oleh guru, dan untuk guru. Siapa lagi tempat guru untuk mengadu, untuk bertanya, dan untuk saling menguatkan selain kepada sesama guru. Selama masa pandemi, walau pekerjaan guru tidak langsung berkaitan dengan mati-hidup seseorang, guru adalah profesi yang diminta terus bekerja aktif dan memastikan pendidikan berlangsung walau tidak di ruang-ruang kelas. Guru tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk beradaptasi, semua harus langsung dilakukan. Tak terhindarkan, tuaian keluhan dan protes yang datang dari berbagai pihak, baik instansi sekaliber KPAI, para pengamat dan aktivis, maupun tentu saja paling banyak datang dari orang tua. Banyak yang berpendapat bahwa guru harus begini atau guru harus begitu, tapi tentu saja tak banyak yang cukup tangguh ketika sejenak “mengambil peran guru” mengajar anaknya pada masa pandemi. 

Kekuatan guru adalah dukungan sesama guru. Media daring, di satu sisi adalah tantangan, tapi di sisi lain juga menjadi peluang. Melalui program ini, kami mengumpulkan guru dari beragam wilayah, konteks sosial, usia, jenjang sekolah, dan lainnya untuk berbagi. Cerita yang satu menginspirasi yang lain. Cerita-cerita ini kami kumpulkan menjadi keranjang gagasan. Rasa-rasanya, sudah terlalu banyak keluhan terhadap guru. Ada baiknya, kini kita memberi ruang untuk mendengarkan guru. 

Seperti Bu Et Musiin dari Pulau Seram di Maluku dengan kearifan lokal bernama hapuama, yang berarti merangkul. Tindakan luar biasa ini berbekal kearifan lokal masyarakat. Sejak masa konflik sosial di Maluku, hapuama menjadi pegangan untuk memastikan negeri mereka aman. Sesuai dengan maknanya, hapuama merangkul anak-anak dari berbagai wilayah untuk tetap belajar pada masa sulit. Pada masa pandemi, kearifan lokal ini pun terus terjaga. 

Nun jauh di Embaluh Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ada Pak Oktoriyadi yang sejak awal menjadikan lingkungan tempat tinggal anak sebagai buku terbuka untuk dipelajari setiap saat. Kontur setiap benda yang ada di sekitar anak adalah pelajaran IPA. Cabang-cabang pohon kratom yang membentuk sudut ataupun luas lampit yang menjadi alas duduk adalah pelajaran matematika. Semua yang terjadi dalam keseharian adalah pelajaran bahasa Indonesia. Di tempat Pak Oktoriyadi, jangankan internet, listrik pun sulit. Karena itu, dibanding mempercayakan pelajaran seluas layar monitor gawai ataupun komputer, Pak Oktoriyadi mempercayakan alam sebagai buku terbuka untuk murid-muridnya. Termasuk kini pada masa pandemi. 

Selama masa pandemi, walau pekerjaan guru tidak langsung berkaitan dengan mati-hidup seseorang, guru adalah profesi yang diminta terus bekerja aktif dan memastikan pendidikan berlangsung walau tidak di ruang-ruang kelas.

Sicillia Leiwakabessy

Ada pula Bu Siti Ramziah di Lampung yang mengajak para guru membuat jurnal untuk mendokumentasikan proses belajar bersama dari sisi guru ataupun murid. Ada kerja-kerja kolaborasi menuliskan panduan penyelenggaraan pendidikan yang menyenangkan bersama sesama guru, lalu membagikannya ke guru-guru lain dalam lingkup yang lebih luas. 

Di Timor Tengah Utara, ada Pak Xavier yang sehari-hari rela menempuh jarak jauh dengan sepeda motor atau berjalan kaki untuk menjumpai murid-muridnya satu per satu. Jarak antar-rumah bisa mencapai 5 kilometer. “Saya harus bilingual,” kata Pak Xavier. “Anak-anak SD di TTU berbahasa Inggris?” tanya kami. “Tidak, satunya lagi bahasa daerah,” katanya, tertawa. Beberapa orang tua murid tak lancar berbahasa Indonesia. Karena itu, selain mengajari para anak, Pak Xavier berbincang dengan orang tua tentang pendampingan siswa saat belajar dari rumah atau kebun. 

Di Lembang, Bu Nur Hidayah memimpin sekolah menengah kejuruan untuk meningkatkan kreativitas selama masa pandemi. Bu Nur Hidayah menyadari bahwa ekonomi keluarga para siswa pasti terkena dampak. Selain kegiatan pertanian, setiap program studi yang ada diarahkan untuk bisa menghasilkan sesuatu sesuai dengan ilmu yang dipelajari. Para siswa juga diperkenalkan dengan kewirausahaan serta pemasaran daring. Pandemi tidak dijadikan momen mengasihani diri, melainkan berkarya dan berupaya. 

Jawa Timur juga punya cerita. Ada Bu Sulis yang mengajak siswa-siswanya secara bertahap melakukan kebaikan kecil untuk diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang dikenal ataupun tidak dikenal. Setiap proses diikuti oleh diskusi dan refleksi untuk menggalang rasa empati dan kepedulian sosial. 

Ada juga kisah Pak Yusuf di kaki Gunung Salahutu, Ambon, yang tetap optimistis. Sekolahnya, SMPN 4 Salahutu, menjalin pela pendidikan dengan SMPN 9 Ambon. Pela pendidikan diadopsi dari sistem pela gandong yang merupakan kearifan lokal di Maluku. Sistem ini membuat kedua sekolah memiliki ikatan yang kuat dan terus bekerja sama serta saling menolong. Ini yang membuat Pak Yusuf tetap optimistis walau sekolahnya rusak berat saat diguncang gempa 6,8 skala Richter tahun lalu dan terpaksa menjalankan sebagian kegiatan belajar di tenda. Saat situasi membaik, pandemi muncul. Namun, seburuk apa pun situasi, menjalin pela dengan sekolah lain yang siap menjadi teman dalam suka dan duka tentu menghadirkan harapan. 

Ada juga gagasan-gagasan sederhana, seperti mengubah jam belajar menjadi sore hari agar anak-anak tak perlu berebut memakai gawai di keluarga pada pagi hari. Orang tua yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online juga bisa lebih tenang karena tak perlu menunda pekerjaan pada pagi hari terkait dengan urusan gawai tadi. Bu Wiwit di Jakarta menemukan ide ini setelah berupaya memahami situasi keterbatasan dan pola aktivitas yang ada di keluarga murid-muridnya. Keluarga murid bahkan antusias ikut belajar. Apalagi Bu Wiwit sangat kreatif. Ia bisa memunculkan ragam pelajaran dari penggaliannya tentang minuman hangat dari berbagai daerah di Indonesia. 

Keranjang gagasan kami awalnya berisi gagasan kecilkecil. Lama-kelamaan, keranjang gagasan ini semakin besar dan beragam. Guru-guru semakin bersemangat dan mulai dapat beradaptasi dengan baik. Dukungan masyarakat pun mulai hadir. 

“Ibu Guru, ada hujan itu. Jalan baik-baik, hati-hati licin.” 

“Ibu Guru, mari singgah makan siang. Sudah jalan dari pagi mengajar anak-anak, to?” 

Sapaan-sapaan seperti itu sekarang mulai sering didengar guru. Tidak lagi keluhan semata. Perjalanan masih panjang dan pandemi entah kapan selesai. Keranjang gagasan perlu terus diisi. Dan, semoga saja, semakin banyak teman yang berbagi energi positif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pun pada masa pandemi. 

Kota Ambon, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top