Sekretaris Eksekutif Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh periode 2018-2020. Sudah aktif di isu perempuan sejak 2001. Fokusnya di bidang pengorganisasian komunitas dan pelatihan-pelatihan analisis sosial, manajemen konflik, kepemimpinan perempuan, dan advokasi hak-hak perempuan. Ia ikut menulis laporan Jaring Pemantauan Aceh untuk Kekerasan terhadap Perempuan ( JPA 231).
“Bagaimana ini, Kak Bad? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kita juga bisa kena corona ini, Kak?” Pertanyaan itu disampaikan ibu-ibu yang selama ini aktif dalam kelompok Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh.
Kak Bad adalah Badriah, salah satu anggota tim lapangan RPuK. Pada awal April 2020, ia memberanikan diri berkunjung ke rumah kepala desa, bertemu dengan ibu-ibu yang selama ini menjadi relawan. Ia harus mengunjungi ibu-ibu itu karena selama ini mereka bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka mendengar, di Aceh Utara, sudah ada satu orang yang meninggal dunia karena corona.
Kalau satu orang sudah kena, berarti yang lain bisa juga kena, demikian pikir mereka. Berita tentang meninggalnya satu orang yang diduga korban terjangkit virus corona itu sangat mencemaskan, bahkan mengkhawatirkan. Lebih menyita perhatian dibanding ketika pelaksana tugas Gubernur Aceh mengumumkan penerapan social distancing pada 12 Maret 2020. Ketika itu, sudah ada dua orang yang terjangkit virus. Satu di antaranya meninggal dunia dengan status pasien dalam pemantauan (PDP).
Sejak peristiwa itu, protokol kesehatan terus digaungkan. RPuK termasuk yang memberlakukan bekerja di rumah, berkomunikasi, dan menyelesaikan tugas-tugas secara virtual. Staf lapangan yang bekerja di Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara, membatasi kunjungan. Pembatasan itu sempat dikeluhkan karena ruang pertemuan yang digagas RPuK untuk para ibu korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu itu bertujuan untuk saling memulihkan. Kecamatan Nisam Antara adalah salah satu basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada masa konflik.
Bukan hanya ketiadaan pertemuan yang membuat mereka kehilangan. Persoalan baru muncul karena pendapatan mereka berkurang drastis. Sama halnya dengan warga Nisam Antara pada umumnya, para ibu memperoleh penghasilan dari hasil kebun serta menjadi buruh pengupas dan pembelah pinang.
Untuk setiap kilo pinang yang dikupas dan dibelah, mereka mendapatkan upah Rp 1.200 hingga Rp 1.500. Bila pekerjaan mengupas dan membelah pinang harus dilakukan di kebun, yang jauh dari desa, upah naik menjadi Rp 1.800 per kilogram. Penentuan upah disesuaikan dengan harga jual pinang di pasaran. Biasanya, dalam sehari, mereka bisa menyelesaikan 30- 35 kilogram pinang.
Selain membelah pinang, penghasilan didapat dari hasil kebun. Namun panen cabai merah dan cabai rawit tidak bisa diandalkan karena harganya jatuh, tinggal dihargai Rp 5.000 per kilogram. Lebih memprihatinkan, hasil panen di kebun masyarakat yang menghasil berton-ton mentimun tidak dapat diserap pasar.
Pandemi membuat pendapatan mereka hilang seketika. Para tauke dari kabupaten lain tidak dapat membeli pinang dari Aceh Utara. Pembatasan ketat yang diberlakukan pemerintah membuat mereka tidak boleh masuk. Sudah banyak di antara mereka yang terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan harian.
Kak Muliani, seorang warga Desa Seumirah, misalnya, menyatakan kesedihannya karena ia baru saja mulai mengajar keterampilan sebagai alternatif menambah penghasilan. Ia melatih para ibu di gampongnya untuk menjahit dompet-dompet kecil, tempat pensil, tempat make up, tas, dan sebagainya.
Keterampilan menjahit kerajinan yang diselenggarakan dengan dana desa itu sangat diminati masyarakat. Namun, karena virus corona, kegiatan itu terpaksa dihentikan. Entah sampai kapan.
“Anak-anak saya juga asyik main game setiap hari karena sekolah diliburkan, tidak ada pemberian tugas seperti di sekolahsekolah lain. Saya harus menyediakan Rp 20 ribu setiap tiga hari untuk membeli kuota internet. Kalau enggak gitu, anak-anak entah ke mana mainnya. Saya juga khawatir,” ujarnya.
Setiap kali bertemu dengan warga, keluhan demi keluhan terus bermunculan, termasuk khawatir desanya terinfeksi corona karena banyak penduduk Aceh dari luar kota, seperti Medan dan Malaysia, mulai pulang kampung. Mereka memilih kembali ke kampung halaman karena tidak mungkin bertahan di negeri orang tanpa pekerjaan. Banyak orang Aceh, yang bekerja ilegal di Malaysia, terpaksa kembali.
Ketatnya penjagaan desa oleh tim gugus tugas tingkat kecamatan berdampak trauma tersendiri karena kehadiran anggota TNI berseragam yang mengingatkan mereka pada masa konflik yang mencekam dulu. Apalagi pemerintah juga memberlakukan jam malam, sepekan setelah pengumuman pemberlakuan social distancing.
Ketatnya penjagaan desa oleh tim gugus tugas tingkat kecamatan berdampak trauma tersendiri karena kehadiran anggota TNI berseragam yang mengingatkan mereka pada masa konflik yang mencekam dulu.
Laila Juari
Komunikasi dan informasi yang tidak jelas membuat warga yang belum pulih dari trauma konflik bertambah khawatir sehingga mempengaruhi kondisi psikologis dan kehidupan sehari-hari mereka.
“Itu di Lhokseumawe dah turun tentra, entah apa lagi yang terjadi,” ujar seorang warga di warung kopi saat tim RPuK berkunjung. Situasi semakin mencekam karena banyak beredar informasi yang tidak jelas.
Hasil pembicaraan antara aparat gampong dan kelompok perempuan menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan pertemuan terbatas, maksimal 15 orang, untuk memperoleh kejelasan informasi tentang virus corona. Petugas puskesmas akan menjadi salah satu narasumber untuk menjelaskan langkahlangkah yang mesti dilakukan sebagai pencegahan.
Namun pertemuan pertama yang sudah disambut antusias oleh masyarakat tidak dihadiri petugas puskesmas dengan alasan takut berada di kerumunan. Mereka tetap tidak mau hadir sekalipun sudah dijelaskan bahwa pertemuan menerapkan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, mencuci tangan sebelum naik ke balai menasah, dan menjaga jarak minimal 1 meter dengan peserta lain, sesuai dengan kesepakatan awal. Ketiadaan petugas puskesmas digantikan oleh Kak Badriah yang menyampaikan informasi dasar tentang bahaya virus corona, yang akan dilanjutkan dalam pertemuan berikutnya.
Dalam pertemuan kedua, barulah Kepala Puskesmas Nisam Antara, Bahrum, menyanggupi menjadi narasumber utama. Diskusi benar-benar dimanfaatkan kelompok perempuan untuk bertanya seputar corona. Mereka menanyakan berapa lama virus bisa bertahan di tangan manusia atau benda-benda lain, cara berkembang biak, kapan berakhirnya wabah corona, sampai ke pertanyaan siapa yang akan melakukan pengawasan terhadap orang-orang sedang menjalankan karantina mandiri di desa mereka.
Diskusi bersama Kepala Puskesmas dirasakan sangat bermanfaat bagi warga sehingga rasa khawatir perlahan berkurang. Sekalipun ada keluhan tentang kesulitan mendapatkan penghasilan, pertemuan itu bisa semakin menguatkan. Mereka saling mengingatkan untuk bersama-sama menghadapi pandemi karena kesulitan pada masa konflik lebih parah dan kejam. Meskipun hasil kebun dihargai murah, mereka masih bisa bekerja dengan nyaman dibanding saat konflik, ketika menyaksikan anggota keluarga disiksa atau dihilangkan secara paksa. Ketika itu, nyawa manusia seperti tak ada harganya. Harta benda terbakar, bahkan mereka harus mengungsi.
“Seharusnya kita menjadi lebih kuat sekarang, ini kan cobaan untuk kita. Tinggal menaati aturan yang ada, jaga kesehatan, saling berbagi karena alam kita sangat subur, bisa ditanami apa saja. Walaupun, di awal-awal corona, tanaman kita dinilai dengan harga murah, masih ada yang beli,” ucap Kak Zuriyati, salah satu kader Gampong Seumirah.
Menjalani hidup selama 30 tahun pada masa konflik di Aceh telah menempa mereka untuk bertahan dan terus bertahan.
Lhokseumawe, September 2020