Aktivis gerakan perempuan. Anggota Kelompok Kerja Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Indonesia. Pada 2017, Dewi menjadi co-founder Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI), sebuah yayasan yang berdedikasi memfasilitasi para penyandang sindrom down agar hidup bermartabat.
“Di Indonesia atau oleh masyarakat umum, perasaan orang dengan disabilitas intelektual sering diabaikan dan dianggap bahwa mereka selalu gembira, serta selalu ditekankan untuk tidak boleh marah dan dilarang ini-itu tanpa penjelasan yang memadai.”
Pandemi datang lebih awal di rumah kami karena sejak Februari 2020 kami sudah memberlakukan lockdown kepada Morgan, pada saat pemerintah bahkan menganggap corona tidak ada dan akan mati sebelum sampai Indonesia. Tanpa bermaksud menjauhi orang-orang, tapi rasanya memang kemudian seperti diasingkan semua orang, baik oleh keluarga, kawan, guru kursus anak, maupun sesama orang tua anak dengan sindrom down.
Semua kegiatan keluar Morgan kami hentikan. Tentu saja sebelumnya kami sudah memberi pengertian tentang segala bahaya serta risiko yang dia dan kami hadapi dengan merebaknya corona ini. Walaupun tahu bahwa kawan-kawannya masih kursus ini dan itu, Morgan bisa menerima bahwa “untuk sementara”, demi keamanannya, dia harus tetap di rumah saja. Untungnya, dia juga terbiasa dengan homeschooling dan punya jadwal tetap kapan harus belajar, membaca, latihan musik, dan tetap, ya, main gadget serta menonton video/film hanya pada akhir pekan.
Pada pertengahan Maret, makin banyak terdengar keluhan orang tua dari anak dengan disabilitas intelektual yang kesulitan menjelaskan kepada anak mereka tentang virus corona dan Covid-19. Ada beberapa insiden anak-anak dengan autisme yang sampai loncat pagar rumah yang terkunci karena mereka tidak mengerti mengapa harus tinggal di rumah terus-menerus.
Saya bisa membayangkan beratnya situasi murid-murid saya yang orang tuanya menggantungkan kegiatan anaknya pada tempat kursus atau guru dari luar yang mengharuskan anak ke luar rumah untuk belajar. Beberapa orang tua mengatakan anaknya menjadi pendiam. Ada juga yang tega mengatakan bahwa sayalah yang tidak mau bertemu (sigh!) karena orang tua tidak bisa menjelaskan dengan baik apa itu virus corona atau Covid-19.
Membuat Panduan
Berangkat dari situasi itu, bersama Morgan, kami menyusun dua panduan singkat dengan bahasa sederhana tentang virus corona/Covid-19 dan mengapa kita harus tinggal di rumah pada akhir Maret 2020. Waktu itu, informasi juga sudah semakin banyak yang beredar tentang pandemi ini.
Tautan atau softcopy-nya kami sebar melalui media sosial ataupun WhatsApp Group komunitas biar bisa disampaikan kepada anak atau orang dengan disabilitas intelektual. Bahkan, bagi yang tidak bisa membaca, orang tua atau pendamping akan lebih mudah menjelaskannya karena kami sangat hati-hati memilih dan hanya memakai kata-kata yang mudah, sehari-hari, dan tidak menakutkan. Ditambah dengan gambar atau fotofoto yang sangat membantu orang dengan disabilitas intelektual, yang mempunyai hambatan memahami hal-hal abstrak, untuk mengasosiasikan gambar dan situasi saat pandemi, sehingga mereka paham kenapa mereka yang lebih rentan dari yang lain sebaiknya tetap tinggal di rumah.
Dua panduan ini mendapat sambutan yang baik dari para orang tua, kawan-kawan di media sosial yang mempunyai anak dengan disabilitas intelektual, dan para pemerhati isu-isu disabilitas. Saat itu panduan kami adalah satu-satunya yang tersedia, bahkan di dunia, yang mudah dimengerti tentang virus corona atau Covid-19. Kami tahu karena kami tergabung di organisasi internasional yang baru mulai gencar pada April 2020 mendorong agar organisasi-organisasi membuat panduan bagi anggota yang sudah mulai kehilangan kepercayaan pada sekeliling mereka.
Beberapa kali pihak pemerintah juga meminta izin untuk memakai panduan kami, tapi tidak pernah jelas untuk apa dan kami juga tidak mendapatkan kredit apa pun, kecuali jadi sering diundang untuk acara-acara daring tentang protokol Covid-19.
Penghormatan untuk Guru
Hanya bersama Morgan (karena kawan kerja sepenanggungan saya sedang sakit berat saat itu dan terdampar di kota lain) dan tentu saja dorongan dari para orang tua, kami akhirnya membuka kelas daring untuk mendampingi Peer Group Remaja dengan sindrom down pada Senin, 6 April 2020. Kami memakai Zoom gratisan yang pada kelas pertama aman sepanjang dua jam, tapi pada Senin berikutnya di cut-off otomatis agar kami meng-upgrade aplikasi Zoom kami.
Kelas daring pendampingan tidak berbayar bagi remaja atau dewasa muda dengan sindrom down ini mungkin merupakan inisiatif satu-satunya tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
Dewi Tjakrawinata
Dalam pertemuan pada 20 April 2020, kami mendedikasikan kelas untuk menghormati dan mengenang kawan yang juga merupakan guru mereka, yang sakit cukup lama dan akhirnya pergi untuk selamanya. Kematian kedua yang mengguncang setelah akhir Februari, saya juga kehilangan kakak kandung karena kanker paru-paru.
Setelah tiga bulan uji coba kelas dianggap sukses dalam meningkatkan semangat dan kemampuan adaptasi muridmurid serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan kelas mingguan ini.
Kelas daring pendampingan tidak berbayar bagi remaja atau dewasa muda dengan sindrom down ini mungkin merupakan inisiatif satu-satunya tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia. Walaupun mengampu kelas daring sungguh jauh lebih melelahkan ketimbang kelas tatap muka, baik dari sisi persiapan materi maupun ketika berada di kelas, melihat muridmurid sudah “antre” di depan kelas sebelum kelas dibuka dan para orang tua mengatakan hari Senin adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu anak mereka, membuat saya bertahan dan meneruskan kelas ini entah sampai kapan.
Sampai 21 September kami sudah mengadakan 22 kali kelas daring dengan berbagai tema, terutama yang bisa meningkatkan ketahanan mental murid-murid menghadapi pandemi. Di Indonesia atau oleh masyarakat umum, perasaan orang dengan disabilitas intelektual sering diabaikan dan dianggap bahwa mereka selalu gembira, serta selalu ditekankan untuk tidak boleh marah dan dilarang ini-itu tanpa penjelasan yang memadai.
Kelas Penuh Cinta
Di kelas, kami mengajar mereka untuk mengenali berbagai emosi dan bagaimana mengendalikan emosi baik yang positif apalagi yang negatif. Kami juga mengajar mereka untuk lebih terbuka terhadap perasaan. Kami membimbing mereka membuat surat cinta untuk orang tua dan sebaliknya, kami pun meminta orang tua menulis surat cinta untuk anak mereka. Kenapa? Sebab, kebanyakan orang dengan sindrom down mempunyai kepercayaan diri rendah, sering merasa kurang dicintai, padahal mereka punya cinta yang melimpah. Kami ajak mereka untuk mengungkapkan perasaan cinta kepada orang tua dengan memeluk dan mencium, yang ditanggapi orang tua dengan terkejut (karena tidak biasa) tapi kemudian terharu dan berterima kasih.
Yang lebih mengharu biru adalah ketika tanpa setahu muridmurid, saya meminta orang tua menulis surat cinta untuk anak mereka, lalu saya memasukkan setiap surat di Power Point dengan menempelkan foto orang tua serta anaknya. Kemudian meminta anaknya (yang bisa membaca tentunya) membacakannya di kelas. Beberapa anak menangis tidak sanggup membaca surat orang tuanya karena overwhelmed, tidak menyangka bahwa ternyata orang tua mengingat hal-hal “kecil” yang mereka lakukan, yang membuat bahagia. Dan perasaan dicintai itu menjadi mood serta immune booster yang luar biasa bukan?
Tentu saja sebuah kepuasan tak ternilai buat saya bisa membuat murid-murid bahagia, bersemangat dalam menghadapi hari-hari ke depan pada masa pandemi ini. Kelas daring ini juga membawa perubahan positif untuk Morgan yang jadi lebih bersemangat, bertanggung jawab, dan semangat belajar untuk bertugas menjadi asisten di kelas. Dia juga pantas mendapatkan imbalan serta betul-betul merasakan menjadi selfadvocate kelas dunia untuk orang dengan sindrom down.
Kelas daring ini banyak mengubah cara pandang kami terhadap pandemi yang menjauhkan kami pada banyak hal, tapi sekaligus mendekatkan dan membuka banyak sekali kemungkinan yang tidak terduga. Pandemi menggagalkan banyak rencana, tapi membuka kesempatan lain yang tidak kalah menantang. Siapa sangka, kisah Morgan sebagai selfadvocate dan saya menjadi bagian sebuah publikasi international berjudul Narrative Power and Collective Action Part 2 yang terbit akhir September 2020 bersama kisah 27 collaborators lain dari seluruh dunia. Berbuat baik harus dilakukan tidak hanya dengan niat baik, tapi juga harus dikerjakan dengan sepenuh hati dan sebaiknya. Saya selalu percaya karma.
Buat yang berminat, sila klik tautan panduan informasi tentang corona/Covid-19 dan mengapa kita harus tinggal di rumah.
Cilember, Oktober 2020