Gerakan Inklusi Kami Bangkit Saat Pandemi!

Turut mendirikan Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) Nusa Tenggara Timur pada Februari 2020, ia juga menjadi Kepala Unit Layanan Disabilitas Akademi Pekerjaan Sosial, Kupang. Saat kuliah S-2 di bidang Disability Policy and Practice di Flinders University, Australia, ia dipercaya menjadi Presiden Adelaide Flobamora Community 2018-2019 dan pengurus Flinders University Student with Disability Association (FUSDA).

“Tahun ini adalah tahun ketika tulisan-tulisan berubah menjadi alat perjuangan.” 

Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) Nusa Tenggara Timur adalah kado Valentine terindah buat kami berenam dan pandemi yang mulai pada awal Maret “memaksa” organisasi muda belia ini untuk matang jauh lebih cepat, berfungsi sepenuhnya, dan memberi kontribusi untuk kebaikan. 

Namun yang membuatnya sungguh istimewa adalah orangorang di belakang organisasi impian kami yang inklusif ini. Mereka adalah Yani Nunuhitu, Elmi Sumarni Ismau, Dinna N. Noach, Yunita Baitanu, dan Yafas Lay. Lalu ada saya, Berti Soli Dima Malingara. 

Semua berawal pada akhir Januari 2020, setelah saya mengikuti salah satu training untuk advokat muda disabilitas di Universitas Brawijaya Malang. Training ini ditujukan bagi anak muda agar bisa memiliki keahlian untuk melakukan advokasi kebijakan di daerah masing-masing. 

Kembali ke Kupang, lima anak muda datang dan meminta saya ikut mendirikan satu lembaga swadaya masyarakat untuk mewadahi aspirasi komunitas difabel. Singkat cerita, tanpa pengalaman mendirikan atau mengelola sebuah organisasi nirlaba, kami daftarkan GARAMIN NTT ke notaris supaya sah dan legal dulu. 

Kami bergerak inklusif, ada difabel fisik, intelektual. Saya sebagai seorang non-difabel dan Yafas sebagai satu-satunya laki-laki merasa nyaman meskipun kami juga datang dari latar belakang pendidikan, suku, dan perbedaan-perbedaan lain yang melekat pada kami. 

Tak lama setelah resmi berdiri, kami mendapat undangan ke Sumba Timur untuk membawakan materi tentang kekerasan atau diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan. Bahkan kami juga sempat diundang sebuah radio swasta untuk talkshow. Saya pergi dengan Elmi. Karena kecelakaan yang dialaminya pada masa SMA, kedua kaki Elmi diamputasi. Sekarang ke mana-mana dia berkursi roda. 

Selain mengisi materi, kami sempatkan untuk berjalanjalan di Piarakuku Hills, bertemu dengan seniman patung difabel fisik yang membuat karya seni mengagumkan. Patungpatung khas Sumba dan sebuah patung Presiden Indonesia Joko Widodo yang mengenakan kain Suma Timur setinggi 2 meter. Kami juga menikmati perjalanan darat dari Sumba Timur ke Sumba Barat dan berfoto di Bukit Werinding. Itu merupakan saat yang paling berkesan buat saya dan Elmi, pertama kali bisa mendaki bukit, walaupun kecil, dan berfoto. 

Bagi teman-teman difabel, mendaki bukit adalah barang mewah. Kenapa? Sebab, tidak semua orang mau membantu menggendong atau meluangkan waktu untuk sekadar berjalanjalan, dan selalu dianggap hal yang membahayakan. Sampai di Sumba Barat, kami sempat mengikuti siding perempuan Gereja Kristen Sumba. Kami berdua mengikuti acara secara pasif di ruangan gereja. Namun, setelah mereka masuk ke Kampung Praijing dan mendeklarasikan stop kawin tangkap, kami berdua ikut. Ini pertama kalinya kami melihat mama-mama dan nona-nona yang militan berjuang agar tidak ada lagi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Pulau Sumba. 

Elmi itu pemberani, periang, dan cerdas. Dia juga suka menolong dan tidak gentar akan tantangan. Dia sangat suka belajar menjadi seorang peneliti, bahkan berani ke Jakarta sendiri. Tiga kali lolos seleksi kegiatan di tingkat nasional, seperti Forum Aksi Pemuda Nasional (Youth Action Forum), Training Advokat Muda Disabilitas (Youth Disability Advocacy Training/YDAT), dan sekolah GRADIASI (Gerakan Advokasi Indonesia Inklusi) tingkat madya, Elmi sekarang belajar menjadi peneliti muda di Desa Oelomin, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang. 

Lalu ada Yani Nunuhitu (Yani), si sulung di antara kami semua, sosok bijaksana, suka damai, teliti, dan punya keahlian di bidang keuangan serta semua yang berbau angka. Yani menggunakan dua tongkat penyangga untuk membantu mobilitasnya. Yani sangat dimanja oleh mamanya, walaupun dia selalu ingin mandiri saja. Kalau kami antar pulang, semua tas dan helmnya akan dibawakan oleh mama atau keponakannya. 

Paling muda di antara kami adalah Dinna N. Noach (Dinna), si murah senyum, kocak, dan paling jago belanja online. Dinna, yang bekerja sebagai staf khusus di kantor Gubernur NTT, merupakan seorang difabel mini yang sangat mandiri dan paling suka naik bemo atau ojek online (sepeda motornya pun harus jenis Mio atau Scoopy). Saat ini ia melakukan penelitian dengan komunitas tuli tentang bahasa isyarat. 

Lalu Yunita Baitanu (Nita), si cantik, petani sayur hebat, cekatan, dan sangat suka menolong teman-teman lainnya. Nita tidak memiliki telapak tangan kiri sejak lahir dan kesulitan berkonsentrasi sehingga perlu waktu lama untuk menjelaskan suatu tugas. Namun, sekali paham, dia akan memberikan yang terbaik yang dia bisa. Nita tinggal dengan nenek dan bibinya karena ibunya telah meninggal, sementara bapaknya tinggal di Jawa. Dia harus membantu bibinya menyiram kebun sayur yang cukup luas setiap hari dan menjaga neneknya. Nita lebih banyak diam. Dia paling tidak suka jika diajak berpikir, tapi dia paling senang ketika diajak bersih-bersih atau memasak. 

Terakhir ada Yafas Lay (Yaf) si ganteng, kreatif, desainer grafis andalan, dan si super tenang. Yaf sudah menikah dan punya seorang anak. Yaf kehilangan lengan kanannya dan menggunakan tangan palsu. Sebagai direktur, dia selalu memberikan kesempatan kepada kami semua untuk berbicara, dan dia bukan seorang diktator. Itu yang membuat kami bisa menjadi orang merdeka dengan pemikiran-pemikiran kami. 

Saat Covid-19 melanda, kami semua diam di rumah, kecuali Nita dan Yafas. Nita bekerja di kafe dan Yafas bekerja di percetakan. Saya sendiri sempat mengalami ketakutan selama dua minggu karena melihat berita kematian akibat Covid-19 yang bertubi-tubi. Saya mengurung diri di kamar dan tidak mau keluar, meskipun ada keluarga yang berkunjung ke rumah. Bapak saya cukup khawatir atas perilaku saya, yang menurut Bapak aneh. Saya sama sekali tidak mau ke luar kamar kecuali makan. Saya merasa terkena Covid-19 karena waktu berkunjung ke Sumba Timur saya mengalami gejala-gejala yang mirip.

Awalnya saya aktif dalam grup WhatsApp Forum Academia NTT (FAN) Covid-19 NTT, yang diinisiasi oleh salah seorang aktivis dan akademisi senior yang menjadi salah satu penasihat GARAMIN NTT, Kak Elcid Li. Saya gelisah karena kebutuhan para difabel sering diabaikan. Saya lalu bentuk grup WA sendiri yang berfokus pada kebutuhan difabel di NTT: Tanggap Covid-19 NTT Inklusi. 

Grup ini berkembang cepat dan kami aktif dalam berbagai diskusi. Seperti tanpa ujung, daripada diskusi dan debat kusir saja, kami mencoba membuat webinar dengan modal Zoom gratisan. Kami belajar dari nol. Menyusun kerangka acuan; menentukan pembicara, host, dan moderator; menghubungi pembicara; serta menyiapkan undangan. Kami juga berlatih sendiri bagaimana menjadi seorang host dan moderator. Saya sendiri pemalu, tapi harus memaksakan diri menjadi pemberani supaya teman-teman difabel juga berani. Yani harus menghabiskan waktu bersama saya 4-5 jam hanya untuk berlatih mengucapkan salam dan memperkenalkan pembicara. 

Suara dan tangan Yani bergetar pada awal latihan hingga akhirnya bisa menjadi pembawa acara saat peresmian unit layanan disabilitas Akademi Pekerjaan Sosial Kupang. Banyak suka-duka. Misalnya, memegang ponsel selama satu jam lebih karena ada salah seorang narasumber yang tidak bisa menggunakan Zoom. Jadi saya video call dan memasang ponsel di depan layar laptop. Saya benar-benar kewalahan mengatur Zoom sambil terus memegang ponsel. Setelah webinar kedua, kami mulai berbagi peran jika ada rapat daring.

Membangun Jembatan, Mengembangkan Jejaring 

Di tengah kesibukan itu, saya mendapat telepon dari rekan difabel dari Papua yang mengajak saya bergabung dalam grup WEBKUSI, yang merupakan grup WA jaringan disabilitas nasional. Saya bergabung dan mengajak teman-teman di GARAMIN dan di grup Tanggap Covid-19 NTT Inklusi untuk juga bergabung. Kami diperlengkapi dengan webinarwebinar yang membuka wawasan kami tentang bagaimana cara mengadvokasi dan merawat jaringan. Saya dan teman-teman merasa seperti mimpi bisa ada dalam grup yang terdiri atas aktivis-aktivis senior yang kami biasa tonton di televisi dan tidak pernah menyapa. Kami tidak membayangkan mereka mendukung kami dengan tulus. Saya dipercaya menjadi koordinator Provinsi NTT untuk asesmen singkat tentang dampak Covid-19 terhadap penyandang disabilitas di Indonesia. 

Saya mengurung diri di kamar dan tidak mau keluar, meskipun ada keluarga yang berkunjung ke rumah. 

Berti Soli Dima Malingara

Dalam waktu 10 hari, kami bisa mengumpulkan 205 responden di tengah pandemi. Teman-teman GARAMIN NTT secara singkat dilatih untuk membantu mengisi kuesioner dan membantu difabel lain mengisi dan membagikan link. Dalam sebuah webinar nasional yang diikuti oleh Bapak Sunarman Sukamto, Staf Khusus Presiden, saya tibatiba diminta membagikan pengalaman dan strategi bagaimana melibatkan difabel dalam proses selama survei singkat tersebut. 

Kaget, bangga, dan gugup. Rasanya seperti mimpi bisa berbicara dalam forum nasional. Saya tidak pernah membayangkan bisa melakukan hal ini dalam hidup saya. Tidak berhenti di situ. Kami juga dilibatkan dalam rapat nasional dengan mitra pembangunan untuk mempersiapkan diseminasi hasil asesmen singkat yang akan didukung oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Saya diutus mewakili jaringan disabilitas nasional untuk menjadi narahubung. Nama saya ada dalam poster webinar nasional. Ini membuat saya semakin gugup tapi sekaligus senang dan bangga karena diberi kepercayaan dan bekerja dengan tim yang sangat mendukung.

Kami akhirnya membuka jejaring dengan pemerintah. Dukungan dari pemerintah (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/Bappeda Provinsi NTT dan Badan Pusat Statistik Provinsi NTT), Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi NTT, tiga kampus di NTT, dan media (Aliansi Jurnalis Independen, Jurnalis Online, dan Ikatan Wartawan Online) membuat kami semakin gigih berjuang beradvokasi melalui webinar. Kami mulai meniru apa yang dibuat di tingkat nasional. Dalam webinar, kami menyediakan juru bahasa isyarat dan tenaga close captioning untuk membuat webinar kami menjadi inklusi dan bisa dinikmati oleh teman-teman tuli. 

Di tengah pandemi, kami bertiga (saya, Yani, dan Dinna) memberanikan diri datang ke kantor Bappeda Provinsi NTT untuk mengajak kerja sama menyelenggarakan webinar nasional. Ide kami disambut baik dan akhirnya dibentuk panitia. Kegiatan pun berjalan dengan baik. Saya mendapat kesempatan membuat sambutan bagi Gubernur NTT. Lagi-lagi ini seperti mimpi. Saya yang gugup dan tidak bisa menulis ini dipercaya untuk membuat naskah sambutan. Tiga hari saya tidak bisa tidur. Sampai akhirnya pukul 4 pagi saya mulai mencoba menulis dan bisa selesai dalam waktu dua jam. Kami bertiga kembali lagi memberanikan diri bertemu Pak Gubernur Viktor Laiskodat dan menyampaikan kerja GARAMIN NTT selama pandemi serta bercerita juga soal mimpi kami untuk memiliki unit layanan disabilitas di kampus Akademi Pekerjaan Sosial. Beliau menyampaikan kebanggaannya kepada kami, anak muda difabel yang bekerja dan terus berinovasi selama pandemi. Beliau juga berharap agar cita-cita kami membentuk unit layanan disabilitas bisa menjadi model yang baik buat kampuskampus di NTT lainnya.

Selain bermitra dengan Bappeda Provinsi NTT, kami mulai bermitra dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa untuk menginisiasi desa inklusi di daratan Timor, Flores, dan Sumba Timur. Desa inklusi adalah mimpi saya sejak 2012, hanya saya belum tahu lebih dalam. Di tengah pandemi, SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel) Indonesia mempercayakan kami mengelola pelatihan sekolah singkat desa inklusi bagi lima desa di lima kabupaten di Provinsi NTT. Kami tidak pernah membayangkan organisasi kecil kami mendapat kepercayaan sebesar ini. Kami semua hanya bisa bersyukur dan mengerjakan yang kami bisa, didukung oleh beberapa relawan. Hasilnya, tim SIGAB Indonesia bangga atas hasil kerja kami serta memberikan apresiasi dan semangat kepada kami. 

Masa pandemi tidak mematahkan semangat kami untuk mengejar mimpi: perguruan tinggi yang inklusif. Kami bermimpi agar kampus punya unit layanan disabilitas yang menjadi jembatan dan wadah sebagai tempat pendidikan yang inklusif. Kami bertemu dengan Direktur Akademi Pekerjaan Sosial (APS) Kupang dan Ketua Yayasan Kesetiakawanan untuk menyampaikan ide ini. Gayung bersambut dengan mimpi kampus APS Kupang. Sebelum diresmikan, kami menyelenggarakan sebuah webinar nasional yang melibatkan beberapa narasumber, antara lain Staf Khusus Presiden Bapak Sunarman Sukamto, Pak Slamet Thohari (perwakilan AIDRAN/Australia Indonesia Disability Research Association Network), Direktur APS Bapak Stefanus Reinati, dan saya. Kampus memberikan kami sebuah gedung yang akan kami gunakan sebagai tempat mengembangkan ide dan kreativitas. Bukti nyata perempuan-perempuan muda difabel berkontribusi untuk dunia pendidikan melalui tindakan kecil dengan penuh cinta. Mimpi kami adalah melihat bangkitnya generasi difabel muda yang mampu berpartisipasi aktif dan menjadi pemimpin di daerah kami. Pada 19 Agustus 2020, gedung ini diresmikan. 

Bersuara Lewat Tulisan 

Menulis membuat saya merasa lebih baik saat saya sedih. Selain itu, menulis membuat saya senang karena bisa berbagi hal baik dengan orang lain. Saya punya masalah dalam berpikir cepat dan selalu merasa tidak percaya diri. Akan tetapi, saya paksa untuk menulis walaupun hanya di diari atau Facebook. 

Hal yang membuat saya kaget adalah tulisan saya di Facebook dibilang baik oleh salah seorang aktivis senior dan beliau meminta izin untuk memmuat tulisan saya dalam blognya. Itu pertama kali saya merasa tulisan punya dampak besar untuk memotivasi orang lain. 

Ini tulisan yang dimuat oleh Kak Ishak Salim di blog PerDIK (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan) https://ekspedisidifabel.wordpress.com/2020/04/13/renunganpaskah-sebuah-tulisan-untuk-perempuan-flobamora-tercintadi-tengah-covid19/. Yang kedua, tulisan dari FB saya dimuat sebagai sumber dalam berita Jakarta Post tentang Dinna Noach, Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Disabilitas yang merupakan anggota GARAMIN NTT https://www. thejakartapost.com/youth/2020/07/21/disabled-student-madespecial-advisor-to-east-nusa-tenggara-governor.html

Tidak pernah terbayangkan, saya perempuan yang selalu menghabiskan waktu untuk menangis, yang pelan-pelan bangkit untuk berani menulis hal-hal kecil tentang perjuangan saya dan teman-teman, akhirnya bisa menjadi berkat buat banyak orang. Saya juga belajar otodidak membuat press release untuk setiap kegiatan-kegiatan webinar kami, dan itu dimuat di media. Saya senang sekali ketika tulisan bisa memberkati orang lain dan menjadi alat advokasi yang kuat untuk perubahan menuju kesetaraan difabel. Tulisan ini dimuat di Pos Kupang, Timor Express, dan blog Solider Jogja. 

Tahun ini adalah tahun ketika tulisan-tulisan berubah menjadi alat perjuangan. Hal ini terus saya bagikan kepada adik-adik saya di GARAMIN NTT, dan sekarang Elmi Ismau pelan-pelan mengikuti jejak saya: menulis di Facebook. Saya percaya pelan-pelan makin banyak perempuan difabel yang akan menuliskan perjuangannya. Suara dari kampung akan menjadi berkat buat difabel-difabel lain di kota serta kampung yang berjuang untuk hak-hak mereka dan menjadi perempuan merdeka. 

Kupang, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top