Baku Dapa dan Baku Bantu di Ambon

Bai, panggilannya, aktif dalam isu kekerasan berbasis gender dan perdamaian di Maluku. Ia menjabat Ketua Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN). Ia diganjar Kick Andy Hero’s 2020, 75 Ikon Wirausaha Sosial Berprestasi dari Unit Pancasila 2017, Ashoka Fellowship 2015, Tupperware She Can 2014, Woman of Change dari Kedutaan Amerika Serikat 2013, dan Saparinah Sadli Award 2012. 

Pagi yang indah di Kota Ambon. 

Mama-mama dari Komunitas Arbes, Batumerah, Kota Ambon, sudah berdatangan di Walang, lokasi tempat kami biasa berkumpul. Ada yang berjualan papeda bungkus, ikan asar, sayur urap, dan lepat. Percakapan mamamama membuat pagi yang indah itu terusik. “Bagaimana ini, Kakak? Pelabuhan tutup. Bandara sudah tutup juga. Bapak tak ada uang masuk. Mau makan apa kita?” 

Kebanyakan mama di Arbes bersuamikan buruh pelabuhan di kapal Pelni. Pulang bekerja, para suami ini biasa membawa pulang sayur dan ikan. Ada juga uang belanja Rp 50 ribu untuk berbelanja beras, sabun, dan minyak tanah. Bila pekerjaan suami tidak ada, kompor tak bisa menyala. 

Mama Hermina atau Mama Na, 30 tahun, misalnya, sedang hamil empat bulan. Dia duduk murung. Tak ada makanan di rumah. Mama Na menceritakan kisahnya kepada beta. Di rumah Mama Na, ada empat orang. Mama Na, suami, anak tertua usia 4 tahun, dan mama mertua usia 76 tahun. “Beberapa hari ini, kami hanya masak bubur supaya bisa bertahan. Suami sekarang di rumah saja. Dia orangnya pendiam dan pemalu, sehingga beta harus pergi mencari kerja serabutan seputar lingkungan agar kami bisa hidup,” kata Mama Na. 

Mama Na tidak sendirian. Ada banyak perempuan yang bernasib seperti Mama Na di komunitas kami. Sedih rasa hati beta. Pikiran beta, pasti banyak anak-anak yang pertumbuhannya terhambat karena kurang gizi. Ibu hamil seperti Mama Na pasti kesulitan, tidak bisa rutin memeriksakan kehamilan. 

Dua hari kemudian, Mama Nurjana atau Mama Jana menanyakan jasa asisten rumah tangga untuk menyetrika dan mencuci. Mama Jana bercerita bahwa beban kerjanya bertambah berat. Suaminya, yang sakit gula, tidak memiliki penghasilan sejak dirumahkan. Kondisi suaminya mulai parah, sementara keluarga harus tetap makan. “Beta jualan roti keliling. Seng ada waktu untuk istirahat karena beban bertambah, mulai urusan dalam rumah, harus merawat suami yang sakit, hingga memikirkan kebutuhan keluarga,” kata Mama Jana. Hasil jualan cukup untuk makan sehari-hari. “Kadang-kadang jualan tidak laku, dapat Rp 20 ribu juga sudah syukur.”

Kisah lain datang dari Mama Sumarni. Suaminya sakit. Mama Sumarni tetap berjualan di pasar. Dia menjaga toko dengan penghasilan harian Rp 25 ribu per hari. Hanya cukup untuk berbelanja sayur, ikan, dan transportasi. Sering tidak cukup malah. 

Di tengah kegalauan, muncul hoaks bahwa corona bisa disembuhkan dengan makan telur ayam, yang dimakan sebelum subuh. Semua orang di Ambon dan sekitarnya makan telur ayam. Harga telur ayam jadi melejit sampai Rp 10 ribu per butir. Esoknya, beta dengar mama-mama berteriak, “Kami sudah bebas corona karena sudah makan telur sebelum subuh.” 

Ada yang bertanya kepada beta, “Apakah Kak Bai ikutan makan telur?” Beta jawab, “Tidak.” Beta bertanya, dari mana mendapat informasi tentang telur rebus ini? Mama Ida menjawab, “Kami mendapat informasi dari Desa Kailolo. Katanya ada anak kecil yang baru lahir sambil makan telur dan berteriak corona! Lalu anak itu mengatakan, kalau mau bebas dari corona, konsumsi telur malam ini sebelum subuh.” 

Tiba-tiba datang Mama Na yang sedang berjualan ikan asap. Dia berteriak, “Beta senang sekali karena sudah bebas corona. Hai, katong sudah bebas corona, jadi seng usah ketakutan dan khawatir lagi.” 

Beta semakin bingung, sedih. Di Facebook dan grup WhatsApp, orang ramai berbicara soal telur rebus, sampai harga telur mahal dan habis di pasar. Aduh. Ini informasi simpang siur dan bisa menyesatkan. Beta ikutan stres dan mengalami psikosomatis, badan sakit tanpa sebab yang jelas. Beta susah tidur, khawatir Ambon jadi daerah zona merah seperti Jakarta. Mampukah warga Kota Ambon melalui kondisi ini? Apa yang harus kami lakukan?

Beta hanya memikirkan keselamatan keluarga dan orangorang terdekat yang beta kasihi. Setiap pagi sampai tengah malam, telepon seluler beta berbunyi. Ada yang curhat soal ekonomi, laporan KDRT atau kekerasan seksual, juga ada mama-mama yang menelepon membutuhkan informasi tentang Covid-19. Ada pula yang menelepon bertanya soal masker, di mana bisa mendapatkan masker? 

Susah beta mau jawab apa. Bingung karena masker di semua apotek habis. Alkohol dan hand sanitizer juga habis. Semakin bingung di mana bisa mendapatkan masker. 

Pada 19 Maret 2020, Pemerintah Provinsi Maluku mengeluarkan surat edaran untuk bekerja di rumah. Semua kegiatan harus dilakukan di rumah dengan protokol kesehatan. Ketakutan, tidak mau bertemu orang, memilih di rumah saja sambil berjemur, dan menjaga imun tubuh. Persoalannya, bagaimana yang harus mencari uang untuk makan? 

Beta juga dihubungi banyak teman. Tenaga medis kesulitan mendapatkan alat pelindung diri (APD), alat pengukur suhu, dan perlengkapan lainnya. Bidan Ita Latuconsina di Puskesmas Pelauw, Pulau Haruku, menginformasikan melalui WhatsApp bahwa wilayah kerjanya sangat luas, wilayah kepulauan. Orangorang pun harus menyeberang dari pulau ke pulau. “Beta harus mengontrol orang-orang keluar-masuk dari Seram dan Ambon melalui jalur laut,” kata Bidan Ita. Diperlukan alat pengukur suhu di beberapa pelabuhan, yakni di Wairiang, Kailolo; Pelabuhan Namalatu Pelauw; dan Pulau Seram. “Tenaga medis juga terbatas. Butuh relawan dan ketersediaan APD,” kata Bidan Ita. 

Melalui grup-grup komunitas, termasuk Komunitas Jalan Santai Matasiri (KJSM), kami menggalang dana. Kami membeli dua alat pengukur suhu untuk disumbangkan ke Puskesmas Pelauw. Senang rasanya bisa membantu tim medis dan relawan, meski tak banyak. 

Mama-mama juga mengeluhkan kesulitan mendapatkan masker. Sepotong masker dijual Rp 15 ribu. Barangnya pun susah didapat. Beta sedih membayangkan kesulitan yang dihadapi mama-mama. Uang makan sehari-hari saja tidak ada, apalagi harus membeli masker. 

Di tengah kegalauan, muncul hoaks bahwa corona bisa disembuhkan dengan makan telur ayam, dimakan sebelum subuh.

Baihajar Tualeka

Suatu pagi, beta berolahraga mendaki bukit di sekitar Air Besar, Desa Batumerah Sirimau, Kota Ambon. Ketika sedang jalan, beta berjumpa dengan seorang ibu yang tengah berjalan kaki. Kami berkenalan. “Tante Bai, beta pung nama Mama Nurul. Beta ini janda dua anak. Suami meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu di Maluku Barat Daya. Sehari-hari beta menjahit kebaya,” katanya memperkenalkan diri. Sudah beberapa minggu ini tak ada orderan menjahit kebaya. “Beta hidup dari uang pensiunan suami yang PNS, Rp 1,5 juta satu bulan,” kata Mama Nurul.

Pulang ke rumah, beta ingat terus cerita Mama Nurul. Mesin jahit menganggur, tak ada orderan. Kemudian beta membuka Facebook, melihat unggahan Mbak Leya Catleya Soeratman dan komunitas EMPU yang mempromosikan maskernya. Beta berkomunikasi via WA dengan Mbak Leya, bagaimana cara memesan masker buat mama-mama komunitas di Ambon dan Seram. Kisah Mama Nurul dan mesin jahitnya yang menganggur juga beta ceritakan ke Mbak Leya. “Ayo, ajak Mama Nurul ikut menjahit masker,” kata Mbak Leya. 

Esoknya, beta pergi mencari Mama Nurul di rumahnya di Kompleks Perumahan Pelauw, Arbes, Desa Batumerah, Kota Ambon, menawarkan untuk menjahit masker. Mama Nurul menolak. “Beta seng percaya diri, seng ada pengalaman menjahit masker. Nanti hasilnya seng bagus,” kata Mama Nurul. Beta menghubungi Mbak Leya lagi, mengusulkan supaya ada tutorial pembuatan masker oleh teman-teman EMPU.

Beta pergi ke toko membeli kain. Kami juga mengumpulkan kain-kain yang tersimpan di dalam lemari, lalu membawanya ke rumah Mama Nurul. Ada mama-mama lain, antara lain Mama Nya dan Mama Oki, yang ikut bergabung. Mereka merupakan mama-mama penjahit yang sudah lansia serta tidak memiliki pendapatan dan orderan selama masa pandemi. 

Bersama-sama, kami belajar membuat masker dengan tutorial video yang dikirim EMPU. Berhasil. Masker jadi. Bagus. Mama-mama senang. Kami tersenyum. Dengan tangan dan kemampuan menjahit, mama-mama bisa berbuat sesuatu yang positif. 

Masker kain buatan mama-mama dijual Rp 15 ribu selembar. Sebagian dana yang masuk untuk donasi bagi komunitas di Seram dan Kota Ambon. Untuk warga sekitar, membeli masker cukup dengan membayar ongkos jahit Rp 5.000 selembar. Sudah ribuan masker yang kami buat dan terus berkembang sampai kini. 

Beta, dibantu Arita, pengurus Desa Batumerah, membantu promosi jualan masker. Arita memasukkan nama Mama Nurul ke daftar Pemerintah Desa Batumerah. Dengan begini, masker buatan Mama Nurul dan komunitas dibeli dengan dana desa. Usaha masker ini terus berkembang. Pesanan tidak hanya dari Kota Ambon, tetapi juga dari Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku Tengah, dan Buru. 

Mama Nurul merupakan perempuan yang gesit. Dia menggerakkan mama-mama menjadi relawan Covid-19. Mereka membantu teman-teman tenaga medis untuk memberikan edukasi bagi masyarakat Arbes. Para relawan ini juga mendata orang-orang yang baru tiba dari zona merah untuk menjalani isolasi mandiri. Selain itu, mereka melakukan penggalangan dana bersama komunitasnya untuk pengadaan wastafel portabel, melakukan penyemprotan disinfektan, dan menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal.

 Gerakan mama-mama tak berhenti di masker. Mama Nurul mengajak kami berbagi makanan. “Ayo berbagi rasa antar-sesama. Covid-19 tidak mengenal orang kaya, miskin, perempuan, laki-laki, agama apa pun. Mari saling menopang dan baku bantu,” kata Mama Nurul. 

Beta menelepon Ibu Pendeta Gite Loupatty yang ada di Noloth, Saparua. Kami berdua bercerita tentang kondisi dan makanan lokal apa yang bisa tahan lama dan mudah disimpan. Ibu Pendeta bercerita bahwa sagu di Noloth, yang diolah mamamama, belum laku terjual. Langsung beta pesan sagu Rp 400 ribu, yang dikirim melalui kapal kayu yang membawa bahan bakar. Ada empat karung besar sagu kiriman Ibu Pendeta Gite. Esoknya, kami membagi-bagikan sagu kepada mama-mama komunitas di Ambon. 

Kami pun berbagi makanan. Kami membagi sembako dan sagu kepada mama-mama yang membutuhkan, termasuk lansia dan penyandang disabilitas. 

Tado (tinggal) di rumah terus berjalan. Kami bertanyatanya dalam hati, kapankah kondisi ini akan membaik? “Tuhan beri kita berkah tanah yang subur dan negeri yang kaya rempah-rempah,” kata Mama Khadija di Ahuru, Kota Ambon. Memanfaatkan pekarangan serta menanam sayur dan rempah penting dilakukan. 

Sambil mengolah lahan pekarangan rumah, bibit cabai dari sisa bumbu dapur yang telah membusuk disemai. Tunas tanaman cabai dimasukkan ke dalam polybag dan dibagi-bagikan kepada mama-mama. 

Sejak saat itu, kami memulai gerakan memanfaatkan pekarangan rumah untuk ketahanan pangan. Awalnya hanya lima orang yang terlibat. Kini, gerakan tersebut telah berkembang menjadi 80 orang yang tersebar di seluruh Kota Ambon. Pekarangan rumah atau lahan kosong diolah menjadi lebih produktif. 

Kami saling berbagi bibit, menguatkan, dan membuka ruang-ruang perjumpaan demi merekatkan kebersamaan. 

Kami ajak para suami dan jemaat Komunitas Waikoha ikut membantu. Baku bantu mama-mama dengan bapak-bapak untuk memperkuat dan memulihkan. Bapak-bapak membuat bedengan, sementara mama-mama yang menanam dan memeliharanya. Susah dan senang sama-sama dirasakan. 

Saat panen sayur, suasana kebahagiaan tergambar dari raut wajah mama-mama dan bapak-bapak. Begitu memasuki lorong, terlihat keindahan. Semua rumah memiliki tanaman, juga tersedia wastafel portabel. Di atas perbukitan, terlihat kebun kasbi atau singkong. “Panen sayur sudah dua kali. Kami bagibagikan ke rumah-rumah. Semua tetangga mendapatkan sayur dan tidak kehabisan makanan,” kata Mama Nel. 

Umi Akmal, perempuan yang bercadar, juga bertanam serta menata halaman rumahnya menjadi hutan dan apotek hidup. “Hasilnya kami bagi untuk sesama. Bibit juga dibagi,” kata Umi Amal. Bersama Mama Waty, di Kompleks Setengah Lusin Arbes Batumerah, Ambon, Umi Akmal mengajak mamamama lain mengolah lahan-lahan kosong. Mereka bertanam sayur, pisang, dan singkong. 

Mama Jara juga menanam singkong dan sayur di samping rumahnya. Hasil panen dinikmati bersama tetangga. “Rumahku adalah pasarku,” kata Mama Jara. Kini, tak perlu lagi membeli sayur ke pasar. Pengeluaran uang bisa dihemat dan lebih sehat pula. 

Mama-mama di Kota Ambon telah membuktikan bahwa situasi sulit ini justru bisa membuat orang saling terhubung. Kami belajar beradaptasi, mengelola emosi, dan tetap kreatif. Baku bantu, baku dapa, saling topang, dan saling menggerakan untuk membantu sesama. 

Kota Ambon, Juli 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top