Tegar Dihantam Gelombang

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember dan Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada ini aktif dalam advokasi buruh migran sejak di Solidaritas Perempuan Jawa Timur pada 1998. Salah satu pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Migrant CARE pada 2004-2016. Saat ini ia menjabat Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE. Aktif menulis di berbagai media massa cetak dan jurnal.

Senin, 2 Maret 2020, seperti enggan berakhir. Saya mengganti kompres di kening anak kedua kami, Sakwa, 9 tahun. Hening. Tidak ada kata yang terucap. Mata saya sesekali beradu dengan tatapan suami, saling memberi kekuatan. Anak sulung, Orien, 15 tahun, terus memegangi kepalanya. Ia mengeluh pening. Sejak sore, setelah menangis histeris karena bingung memikirkan apa yang sedang terjadi, ia berusaha meredakan rasa sakit di kepalanya. Mungkin terlalu banyak menangis. Mungkin juga nalarnya belum bisa mengatasi berbagai hal yang bertubi-tubi terjadi sepanjang hari itu. 

Informasi tentang Covid-19 memang serba membingungkan. Belum lagi kerumunan awak media yang turut menyambangi rumah kami, ditambah kesibukan kedua orang tuanya melayani orang-orang yang tiba-tiba ingin dinomorsatukan, semakin tidak bisa dimengerti karena kedatangan aparat pemerintah. Apa yang sesungguhnya terjadi? Sampai kapan kegaduhan ini akan terus berlangsung? 

Hari itu tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup. Bagi keluarga saya, bagi semua warga Perumahan Studio Alam Indah, juga untuk sebagian besar bangsa Indonesia. Itulah hari ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien pertama terjangkit virus corona, yang kemudian disebut menderita Covid-19. 

Tak berselang lama sejak diumumkan Presiden, identitas pribadi pasien 01, 02, dan 03 beredar luas. Bukan hanya nama dan usia, melainkan juga pekerjaan dan alamat rumah, termasuk riwayat pengobatan. Tak pelak, Studio Alam Indah, yang tercantum di alamat pasien, terkenal. Warga yang tinggal di kompleks yang sama menjadi gaduh dan panik, berusaha mengonfirmasi kebenaran berita itu. 

Pikiran saya langsung tertuju kepada ibu dan dua putrinya yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Mereka adalah teman berbincang, lawan diskusi, dan kawan bertanam organik. Sudah seperti keluarga sendiri.

Lebih Sakit dari Penyakit 

Saya mendapati telepon seluler penuh dengan panggilan tak terjawab, juga pesan singkat di aplikasi percakapan. Sebagian besar berasal dari tetangga, sesama warga perumahan Studio Alam Indah. Saat itu pukul 12.30 WIB, sejurus ketika meninggalkan ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Selama sidang, handphone memang harus disimpan di loker. 

Cemas dan panik memang sangat wajar. Di kompleks kami memang ada dua orang yang dirawat di rumah sakit, didiagnosis tipus. Kondisinya sudah membaik, sehingga yang bersangkutan minta untuk tidak perlu di-besuk lagi. Sebelumnya, sejumlah warga sudah ada yang menengok ke rumah sakit. Begitulah kebiasaan ibu-ibu bila ada tetangganya yang sakit. Beramairamai menjenguk. Jadi, tidak benar hal seperti dikatakan Wali Kota Depok bahwa perumahan kami dinyatakan eksklusif, tidak saling kenal. 

Sama seperti saya yang merasa tidak tenang, suami, Teguh Prawiro, yang minta dijemput di Perpustakaan Nasional, pun tampak tidak berhenti berbicara di telepon. Ia mengangguk, seolah-olah lawan bicaranya ada di depannya. Kadang-kadang tangannya pun diangkat, seperti meyakinkan. Ia berjalan ke arah kanan, kembali ke arah kiri, kemudian mengangkat kepalanya, tampak ingin memberi kode kepada saya untuk bersabar. 

“Pemberitaan yang beredar di media jauh lebih menyakitkan daripada sakit yang beliau derita,” ujar suami, mengutip pernyataan pasien 01 yang baru saja diucapkan melalui telepon. 

“Di WAG ibu-ibu juga banyak yang panik, bertanya-tanya, tak tahu akan berbuat apa,” saya menimpali. 

Sebagai ketua rukun tetangga (RT), wajar saja bila suami saya menjadi tempat warga mengadu. Nama pasien 02 baru saja diumumkan Presiden, kata dia, mengulang informasi yang sudah saya ketahui. 

“Tidak ada yang memberi tahu secara resmi kepada beliau tentang hal itu,” kembali ia memberi penjelasan. Rupanya itulah yang menjadi penyebab pernyataan pasien 02 bahwa pemberitaan jauh lebih menyakitkan dibanding penyakit yang diderita. 

Sehari sebelum diumumkan, pasien 01, 02, dan 03, yang tinggal satu kompleks dengan kami, berkomunikasi dengan suami saya. Ketiganya akan dipindah dari rumah sakit di Depok menuju Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) di Jakarta Pusat. Ketiganya diduga kuat menjadi pasien pertama terjangkit virus corona

Pasien 01 melapor kepada petugas medis bahwa seorang warga negara Jepang—dinyatakan positif Covid-19 per 29 Februari—hadir dalam acara yang ia selenggarakan. Sejak pertemuan itu, pasien 01 mengalami demam dan batuk. Sudah lebih dari sepekan. Dokter mendiagnosis ia menderita bronkopneumonia. 

Berbekal percakapan dengan pasien 02, suami saya membuat pemberitahuan melalui WA blast

“Salam Bapak/Ibu semua. Terkait dengan berita yang sedang beredar, benar adanya itu warga kita, Bu M dan Mba S. Saya sudah berkomunikasi dengan beliau, dan insyaallah sudah mendapat penanganan dengan baik. Tapi, berita yang beredar tanpa konfirmasi dari beliau bisa jadi menambah beban pikiran. Mari kita bersama-sama menjaga kesehatan dengan meningkatkan daya imun kita dengan banyak mengonsumsi vitamin, madu, dan lainnya. Tidak lupa kita selalu berdoa kepada Tuhan agar terhindar dari segala keburukan. Terima kasih. Teguh Prawiro.” 

Setelah mengirim pesan, kami bergegas ke Depok. Tidak langsung pulang, tapi menuju dinas kesehatan untuk memperoleh informasi yang utuh, serta langkah-langkah yang bisa dilakukan. Kepala dinas sedang rapat dengan Wali Kota, mengantisipasi kedatangan Menteri Kesehatan dan Gubernur Jawa Barat. Jadilah kami berkomunikasi dengan dua warga perumahan yang kebetulan bekerja di situ. Hingga Covid-19 menyebar luas di Indonesia, Wali Kota Depok belum pernah menyapa kami secara langsung.

Tidak bertemu dengan kepala dinas kesehatan, komunikasi dilakukan dengan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Depok. Dari hasil percakapan, suami saya kembali membuat WA blast untuk memperbarui informasi. 

“Informasi dari Kepala Dinas Kesehatan Depok: 1. Sementara tidak banyak aktivitas di luar rumah; 2. Banyak mengonsumsi vitamin C; 3. Makan makanan yang sehat dan bergizi; 4. Tidak merokok; 5. Akan dilaksanakan penyemprotan disinfektan; 6. Petugas dari dinas kesehatan akan datang; dan 7. Berdoa.” 

Kejutan demi Kejutan 

Nama Perumahan Studio Alam Indah mendadak populer. Sopir taksi online yang membawa kami pulang banyak bertanya tentang kebenaran pasien corona. Ia mendapat informasi awal dari media sosial. 

Kejutan berikutnya terjadi ketika memasuki kompleks perumahan. Waktu sudah hampir pukul 15.30 WIB. Sejumlah mobil yang di-branding dengan nama stasiun televisi, diparkir di kanan-kiri jalan menuju ke kompleks perumahan. Semakin mendekat ke rumah, awak media dengan kamera berbagai ukuran sudah berkerumun di depan rumah pasien 02. Jarak rumah itu hanya 100 meter dari rumah kami. 

Di depan rumah pasien sudah dipasang police line agar warga dan awak media tidak bisa masuk ke dalam rumah. Garis polisi itu baru ditanggalkan setelah anak pasien 02 memprotes pemasangan police line di rumah orang tuanya. Ia menyaksikannya melalui pemberitaan di televisi. Kepada media yang mewawancara, suami saya menekankan pentingnya informasi yang akurat, dukungan untuk pasien, dan mengimbau warga untuk tidak panik. 

Apa yang baru saja kami diskusikan menjadi kenyataan. Rumah pasien menjadi objek pemberitaan. Pasti berdampak kepada warga lainnya. Sangat menyedihkan, tetapi apa yang bisa kami perbuat?

Kami harus menjawab pertanyaan warga yang sebelumnya sempat menjenguk pasien 02. Setelah menghubungi aparat setempat, Camat dan Lurah Sukmajaya datang membawa petugas kesehatan dari puskesmas. Pukul 17.12 WIB, warga yang melakukan kontak dengan pasien terjangkit virus corona, diperiksa. Saya turut mendampingi pemeriksaan. 

Semua warga yang melakukan kontak terakhir dengan pasien bersepakat membuat WAG untuk memudahkan komunikasi. Pembahasannya seputar perkembangan kesehatan dan apa yang harus dilakukan. 

Hampir bersamaan dengan berakhirnya pemeriksaan kesehatan, pukul 18.05 WIB, Kepolisian Sektor Sukmajaya menginformasikan rencana penyemprotan disinfektan pada pukul 21.00 WIB oleh tim Gegana Brimob di rumah pasien. Suami saya kembali membuat WA blast untuk warga: “Bapak/ Ibu semua. Malam ini, pukul 21.00, akan dilaksanakan penyemprotan disinfektan di perumahan kita. Mohon semua nanti berada di dalam rumah. Terima kasih.” 

WAG perumahan sudah lebih tenang. Apalagi pasien 02 sempat menjawab doa dan dukungan dari semua warga. 

“Terima kasih atas doanya, kami masih diisolasi!” Jawaban pendek itu melegakan. WAG pun diramaikan dengan ucapan doa, emoticon bunga, dan love. Alhamdulillah, kami saling dukung. Apa yang kami rasakan berbeda dengan narasi media yang berkembang bahwa perumahan kami mencekam. Kami memang waspada, tapi tidak mencekam. 

Sejak alamat rumah pasien tersebar luas, berbagai informasi pun simpang siur di media sosial. Jam sudah menunjukkan pukul 20.08 ketika Kepala Dinas Kominfo Depok datang ke rumah kami untuk mendiskusikan apa yang sedang terjadi. 

Suami saya meminta Pemkot Depok membuat forum resmi agar warga bisa bertanya sekaligus memperbarui informasi yang dimiliki. Diskusi dengan Diskominfo berakhir ketika terdengarnya sirene mobil Gegana yang akan melakukan penyemprotan disinfektan. 

Senin menutup harinya ketika polisi mengakhiri penyemprotan disinfektan pada pukul 00.03 WIB. Untuk sementara, warga perumahan bisa bernapas lega. Namun, kecemasan baru dimulai saat suhu tubuh anak kedua kami masih tetap tinggi. Sakwa, yang biasa kami panggil “Gendhuk”, sakit. Empat hari pertama, demamnya naik-turun. Tiga hari berikutnya, batuknya luar biasa. Orien pun demikian. Sakit di kepalanya, berlanjut dengan suhu tubuhnya yang meninggi. Selama empat hari, ia berada di rumah saja. Kami tidak berani membawanya ke rumah sakit. Dari dokter langganan, keduanya diberi obat penurun panas, antibiotik, dan obat batuk. 

Tidak ada cerita tentang Orien dan Gendhuk sakit. Semata untuk mengurangi kehebohan. Di depan kedua anak itu, kami menghindari perbincangan tentang corona

“Pemberitaan yang beredar di media jauh lebih menyakitkan daripada sakit yang beliau derita.”

Anis Hidayah

Berhentilah Menghakimi 

Selasa, 3 Maret, mayoritas warga tetap tinggal di rumah, tidak masuk kantor. Di antara mereka ada yang sudah harus bekerja dari rumah sampai 14 hari berikutnya. Beberapa kantor bahkan mengirim dokter ke perumahan untuk mengecek kondisi kesehatan warga. Puskesmas Sukmajaya pun, selama dua jam, memprioritaskan warga yang ingin memeriksakan kesehatannya. 

Barangkali, karena tingkat stres yang cukup tinggi sejak hari sebelumnya, tubuh saya mendadak lemas. Jam dinding menunjukkan pukul 19.00 WIB. Saya merasa kesadaran saya berada di titik nol. Terduduk di sofa ruang tamu. Suami dan kedua anak saya berusaha menghangatkan tangan saya yang terasa sedingin es. Keringat terus mengalir pelan di bagian belakang kepala. Jantung pun berdebar kencang. 

Saya dibawa ke dokter terdekat. Pengukur tensi menunjukkan angka 180/110 dan indikator kolesterol 371. Tertinggi dalam sejarah kesehatan saya.

“Bila dalam waktu 15-30 menit ke depan belum mereda, harus segera dirawat di rumah sakit,” demikian saran dokter. 

“Mama harus sehat, Ayah tidak bisa menghadapi ini sendirian,” ujar suami sambil terus memegang tangan saya. 

Debar jantung saya mulai stabil. Bahkan saya sudah mulai bisa merespons keluhan ibu-ibu di WAG perumahaan begitu melihat opening acara ILC TVOne yang akan menghadirkan perempuan berinisial F sebagai narasumber terakhir. 

Perempuan itu disebut sebagai warga perumahan Studio Alam Indah. Ia mengaku tidak kenal dengan pasien 01, 02, dan 03. Akibat keberadaan pasien itu, tukang sayur pun tidak berani masuk perumahan. 

Narasumber itu bukanlah warga Studio Alam Indah. Ia hanya sekali berkunjung ke rumah kakaknya, yang memang tinggal di kompleks perumahan kami. TVOne memang meminta kami untuk menjadi salah satu narasumber, tetapi kami tidak bersedia. Saya sempat menyampaikan protes ke produser acara itu untuk meluruskan beberapa informasi. Tak ada yang bisa menjelaskan mengapa TVOne memaksakan diri, termasuk menghadirkan orang yang tidak memiliki kompetensi. 

Pasien terjangkit virus corona yang tinggal di rumah kami adalah warga senior yang terhormat, seorang dosen, penari jawa profesional yang prestasinya mendunia, bahkan menerima banyak penghargaan internasional. Sekalipun kalibernya internasional, beliau seorang yang ramah, bergaul, dan peduli kepada warga. Kami sering berolahraga, menanam tanaman organik, berdiskusi, dan melakukan banyak aktivitas bersama. 

Berhentilah menghakimi pasien. Setop menyebarkan fotofoto pasien. Kita doakan agar para pasien segera sembuh dan kembali beraktivitas, berkumpul dengan keluarganya. Kami benar-benar menyesali attitude TVOne. Media seharusnya mengedukasi masyarakat dengan memberikan informasi akurat. Kami sangat berharap, berhentilah melakukan siaran langsung, terus-menerus, dari perumahan kami. Cukup! 

Badai Berlanjut 

Rabu, 4 Maret, empat warga yang melakukan kontak terakhir dengan pasien dijemput untuk melakukan swab test. Cukup melegakan. Paling tidak ini akan mengakhiri spekulasi apakah mereka menjadi suspect Covid-19 atau tidak. Selama menunggu kesempatan melakukan tes, melalui WAG kecil, kesehatan kami dipantau Bu Ana, petugas Puskesmas Sukmajaya. 

“Apakah ada keluhan hari ini? Jika tidak, silakan melanjutkan aktivitas,” demikian pesan itu berulang setiap hari. Pada suatu hari, tidak ada pesan dari Bu Ana, sehingga anggota WAG bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan Bu Ana? 

“WA saja Bu Ana, apakah sehat hari ini?” begitu saya mencoba membawa canda di WAG. Tak pelak, semua mengirim pesan tertawa. 

Hasil swab test untuk empat warga yang melakukan kontak terakhir dengan pasien itu belum keluar. Namun, beredar informasi, empat orang positif Covid-19, yang disebut Menteri Kesehatan dalam jumpa pers, adalah warga Studio Alam Indah. 

Informasi itu membuat kami panik. Informasi itu menuntun saya mendatangi dua rumah warga yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki untuk memberikan dukungan. Ketidakpastian yang selama beberapa hari ditahan, tumpah menjadi air mata. Saya menyaksikan kesedihan itu, tepat saat azan magrib berkumandang. 

Di sepanjang jalan menuju rumah, ketika meninggalkan rumah itu, saya terus menengadah ke langit, berusaha agar air mata tidak tumpah di jalan. Berkali-kali saya memanggil nama Allah. 

Pertahanan itu runtuh ketika sampai di rumah. Saya menangis. Begitu juga suami dan anak sulung. Suami saya terus memegang dadanya, seperti berusaha meredakan jantung yang berdebar kencang. Ia minum obat, merebahkan tubuh, sambil terus mendekap dadanya. Bergantian dengan anak-anak, saya menghangatkan tangan dan kakinya dengan minyak telon.

“Kok, ujungnya seperti ini, ya?” dia bergumam, lalu minta dibawakan laptop. Ia mengalihkan perhatian dengan mendengarkan musik, menonton wayang, dan stand up comedy

Melemahnya keadaan tubuh suami saya itu mungkin juga dipengaruhi oleh peristiwa sebelumnya. Tidak tahu pesan apa yang ingin disampaikan, di belakang rumah kami ditemukan bangkai anjing dibungkus plastik dan kain kafan. Suami saya yang tampak panik melakukan pengecekan, kemudian membuat lubang untuk mengubur bangkai itu. 

Cak Lontong berhasil membuat kami sejenak melupakan berbagai peristiwa tak menyenangkan. Pukul 21.30 WIB, informasi tentang empat orang suspect Covid-19 memperoleh kejelasan. Mereka sudah berada di RSPI, berarti bukan empat warga perumahan kami. 

Ah, suspect atau positif, status itu tetap akan kami terima. Siapa yang bisa menolak terjangkit virus corona? Namun, cara penyampaian pemerintah kurang manusiawi. Di balik pasienpasien yang diumumkan itu, mereka tetap manusia yang memiliki hati dan rasa. Sedikit saja informasi yang disampaikan, dampaknya akan membuat warga berada dalam ketidakpastian. 

Detak jantung suami saya masih belum stabil. Hingga Sabtu sore, suhu tubuhnya meningkat, kali ini disertai batuk. Semakin menjadi pada Minggu siang. Sekalipun lemah, suami saya menyempatkan berolahraga bersama untuk memperkuat bangunan satu rasa dan ketahanan sosial. Saya sendiri tetap di rumah karena masih merasakan demam yang mencapai 39 derajat Celsius, naik-turun. Tubuh saya lemas, sakit semua. Mereplikasi suami, saya menonton stand up comedy untuk menghibur diri. 

Warga mendapat asupan dukungan dari Sandra Moniaga, anggota Komnas HAM yang sengaja datang bersama virologist Drh. Indro Cahyono untuk menyampaikan informasi lengkap tentang corona. Virus itu mudah menyebar, tapi juga mudah dimatikan. Info ini sangat menenangkan dan mudah dipahami dibanding protokol-protokol pemerintah yang link-nya selalu di-share di WAG.

Memetik Pelajaran 

Alhamdulillah, badai itu akhirnya berlalu! 

Setelah dua minggu digempur kegelisahan massal, tiga pasien positif Covid-19 dari perumahan kami akhirnya dinyatakan negatif pada 13 Maret. Pasien 01 dan 03 sudah pulang terlebih dulu. Demikian juga pasien 02, pada hari yang sama, dinyatakan negatif dan boleh pulang. Tidak hanya itu, empat warga yang sempat melakukan kontak langsung dengan pasien dinyatakan negatif. 

Banyak pelajaran berharga yang layak kami petik tentang bagaimana kami secara bersama-sama melewati masa sulit selama dua pekan. Tiga pasien di perumahan kami dapat menjadi bukti dan contoh bahwa corona bisa disembuhkan. Alhamdulillah, badai itu akhirnya berlalu dan kami bisa tegar melewatinya. 

Kami tak pernah berhenti waswas setiap menyaksikan korban meninggal, bagaimana anak hanya bisa melambaikan tangan kepada orang tuanya yang diisolasi, dan lonjakan angka positif Covid-19 yang terus meroket. Ketika saya atau anggota keluarga mengalami demam, ketakutan kami sudah mencapai ubun-ubun. Melihat negara lain menangani Covid-19 barangkali bisa menjadi cermin penting untuk bangsa ini, bagaimana menangani pandemi yang belum berujung. 

Jakarta, Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top