Prof. Uut, panggilan akrabnya, adalah akademikus di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM. Setelah berpulangnya sang suami, Prof. Iwan Dwiprahasto MMedSc, PhD, karena Covid-19, ia juga sempat diisolasi selama 19 hari. Penerima Habibie Award 2019 ini sekarang aktif meneliti penyakit dengue.
Sebuah kabar duka datang. “Universitas Gadjah Mada kembali kehilangan seorang guru besar. Beliau dikabarkan memiliki penyakit jantung. Upacara penghormatan terakhir akan dilaksanakan di Balairung UGM, Kamis, 6 Agustus 2020, pukul 14.00, dan dimakamkan di tempat peristirahatan UGM, Pemakaman Sawit Sari”.
Saya membaca berita duka yang menimpa sang guru besar itu, yang terjadi pada 5 Agustus 2020, dengan rasa perih menusuk hati. Berbeda dengan almarhum suamiku, Prof. Iwan Dwiprahasto, yang pergi dalam keheningan. Tak ada persemayaman di Balairung UGM.
Pikiranku menerawang ke hari demi hari beberapa bulan lalu.
Terayun Ketidakpastian
Wajah kami ceria. Siang itu, Mas Iwan, saya, dan Putri Karina Larasati (Putri, anak kami) akan melakukan perjalanan ke Jakarta bertiga (1 Maret 2020). Kami bertolak dari bandara yang tidak biasanya, yaitu bandara baru kebanggaan masyarakat Yogyakarta. Yogyakarta International Airport. Sesampainya di Jakarta, kami dijemput sopir kakak sulung saya, Mas Adi Santosa. Mas Iwan sudah menyiapkan kamar di sebuah hotel yang cukup mewah di bilangan Kuningan.
Keesokan harinya, Mas Iwan sudah lebih dulu berangkat untuk rapat sebentar, tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Nanti akan menyusul ke rumah sakit, katanya. Sementara itu, saya dan Putri dijemput sopir yang sama di hotel. Hari itu, tujuan utama kami dan Mas Wiwik (panggilan Adi Wibowo, kakak nomor dua) adalah menemani Mas Adi menjalani operasi katarak pada mata sebelah kanan. Operasi ini seharusnya dijalani setahun yang lalu. Alhamdulillah, operasi berjalan lancar.
Malamnya, kami memutuskan mager saja di hotel. Memesan Go-Food dan menonton televisi bersama. Hari itu, Presiden Jokowi mengumumkan temuan kasus infeksi corona pertama di Indonesia (2 Maret 2020). Mendadak, jarak antara negeri Cina dan Indonesia terasa dekat.
Pada minggu pertama Maret itu, Mas Iwan masih bolakbalik ke Jakarta. Demikian pula saya, masih kembali ke Jakarta untuk menjalankan tugas mengajar, diselingi menghadiri acara dies Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM di Yogyakarta, pada 5 Maret.
Sepulang dari Jakarta, saya terkejut saat mendapati wajah Mas Iwan pucat. Kulitnya yang putih tak mampu menyembunyikannya. Ia tampak lesu, badannya demam. Di punggungnya ada belang-belang bekas kerokan. Weekend itu banyak dihabiskannya dengan tiduran di sofa atau kamar tidur. Sesekali saja ia mengecek pesan-pesan di telepon selulernya dan menghidupkan komputer untuk mengerjakan sesuatu. Sekalipun begitu, Mas Iwan masih bersemangat untuk quality time, makan siang bertiga di sebuah resto di bilangan Yogya utara.
Hari-hari berlalu tanpa kejelasan medis. Aku semakin khawatir. Ini sudah hari kelima sejak ia sakit. “Mas, kalau hasil laboratorium untuk demam berdarah atau tifus negatif, lalu Mas Iwan sakit apa?” Kali ini, Mas Iwan menanggapi ajakan saya “Ya udah, yuk, ke rumah sakit. Ke rumah sakit mana?” Saya menawarkan pergi ke rumah sakit yang paling lengkap fasilitasnya di Yogya. Namun, Mas Iwan tampak khawatir, “Nanti banyak orang yang tahu.” Lalu ia meminta saya menelepon dokter kenalannya di rumah sakit lain. Hari itu, 12 Maret 2020, Mas Iwan harus dirawat.
Hari kedua dirawat di Rumah Sakit JIH, kondisi Mas Iwan tampak menurun. Di usianya yang menjelang 58 tahun, ia banyak tidur, mengigau. Napasnya dibantu oleh masker oksigen yang menutupi sebagian wajahnya.
Siang itu, dokter memintaku ke ruang khusus untuk menjelaskan kondisi Mas Iwan. Perasaanku tidak enak. Benar saja, paru-paru Mas Iwan telah diselubungi oleh bercak-bercak putih yang menyebar hampir di seluruh paru-parunya. Ada infeksi yang meluas. Penyesalan mulai menghantui, “Duh, mengapa tidak kemarin-kemarin saya paksa ke rumah sakit?”
Pneumonia berat. Mas Iwan, yang bekerja di Departemen Farmakologi dan Terapi, masih bisa diajak berdiskusi ihwal pilihan obat antibiotiknya bersama dokter yang merawatnya. Dengan pengetahuannya yang luas tentang antibiotik, tidak sulit bagi Mas Iwan untuk mengusulkan jenis antibiotiknya. Ia juga masih memintaku menulis beberapa pesan WhatsApp untuk pamit tidak menghadiri rapat. Sebagai ketua tim kurikulum program studi kedokteran, Mas Iwan merasa tidak enak karena itu rapat penting dengan kepala-kepala departemen, katanya. Namun, justru kepanikan mulai merasuki pikiran saya. Tibatiba saja penyakit yang semula “jauh”, tampak di pelupuk mata. Apakah Mas Iwan terkena Covid-19?
Saya tak sampai hati menggunakan masker. Namun, para perawat dan dokter tampak mulai lebih ketat memakainya dan sering mencuci tangan. Pertentangan batin semakin bertambah ketika sadar bahwa ini penyakit menular. Beberapa orang bezoek ke rumah sakit, termasuk Putri, kakak-kakak Mas Iwan, dan Mas Samadi (yang tinggal serumah selama lebih dari 20 tahun). Apakah dapat menulari mereka? Bagaimana dengan Putri, anak kami semata wayang?
Sabtu sore itu, Putri, yang masih kuliah di jurusan komunikasi UGM, sudah menunggu di halaman Rumah Sakit JIH. Tujuannya satu, menjenguk ayahnya. Mengetahui penyakit Mas Iwan dapat menular, saya merasa cemas dan naluri keibuan saya spontan melarang Putri turun dari mobil. Pertengkaran kami pun tak dapat dihindari.
Putri kangen bertemu dengan ayahnya. Di telepon, saya tidak tahan mendengar suara tangisnya. Saya pun turun ke tempat parkir, bermaksud membuatnya mengerti. Namun, alihalih menenangkannya, emosi saya malah tak terkendali. Saya sangat bingung. Terbayang Mas Iwan yang terbaring lemah dan wajah Putri yang mungkin bisa tertular bila menemui ayahnya. Saat itu, protokol kesehatan belum disebarluaskan masif ke masyarakat.
“Ya sudah, Putri boleh naik nengok Bapak, tapi janji enggak lama-lama. Kalau bicara juga jangan terlalu dekat, ya,” begitu pesan saya mengalah. Putri menepati janjinya, “Ma, terima kasih udah ngizinin aku ketemu Bapak sebentar.”
Malam itu, kondisi Mas Iwan semakin menurun. Setelah dua hari dirawat, Mas Iwan akhirnya dipindahkan ke ruang rawat intensif (intensive care unit-ICU), sambil mempersiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit lain. Air mataku tumpah di ruang tunggu ICU.
Membuka Identitas
“Semalam bisa istirahat, Mas?” kataku sambil menggenggam erat tangannya. Jawabannya lirih, “Bisa.” Rupanya itulah perbincangan terakhir kami sebelum Mas Iwan dirujuk ke ICU RSUP Dr Sardjito keesokan paginya (Minggu, 15 Maret 2020, pukul 08.30).
Di sanalah Mas Iwan terbaring. Sekalipun dilengkapi dengan peralatan canggih, bagi keluarga pasien, tempat ini paling tidak bersahabat. Pintu tebal ICU seakan-akan membelah dunia menjadi dua, yakni dunia tempat keluarga pasien menunggu dan pasien dirawat. Pintu itu pula yang memisahkan kami, dua orang yang saling mengasihi. Ada tembok pemisah tebal.
Ruang khusus berukuran sekitar 3 x 4 m2 itu tampak lebih kecil karena berbagai peralatan di kanan-kiri tempat tidur yang menopang hidup Mas Iwan. Ia mungkin sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Tim medis yang bekerja siang-malam, tanpa lelah, menjadi penghubung kami. Mereka memberikan yang terbaik untuk Mas Iwan, sekalipun risiko tinggi senantiasa mengintai mereka dan keluarganya.
Ditemani kedua kakak, Mas Adi dan Mas Wiwik, kami menempati ruang seluas 4 x 4 m2 di area dalam ICU. Sekalipun sudah berada di dalam ICU, jarak 8-10 meter yang memisahkan dengan Mas Iwan masih terasa cukup menyiksa. Ada dua pintu lagi dan lorong yang harus dilewati sebelum berada di ruangan yang sama dengan Mas Iwan.
17 Maret 2020. Bak terkena petir di siang bolong, mataku tak berkedip ketika membaca pesan WhatsApp. “Sudah selesai diperiksa, Prof. Iwan Dwiprahasto positif SARS-CoV-2.” Seketika kepalaku terasa berat. Kenapa kami tidak berpikir ke arah sana? Penyakit itu sangat menular.
Batin saya bergulat. Sepuluh hari terakhir sebelum dirawat di RS JIH, Mas Iwan menghadiri beberapa pertemuan di Jakarta dan berbicara di beberapa acara seminar. Belum lagi aktivitas di kampus yang memuncak dengan rangkaian dies fakultas. “Aduh, bagaimana ini?”
Saya tidak mungkin mengetahui siapa saja yang bertemu dengan Mas Iwan. Haruskah saya membuka identitas Mas Iwan kepada publik? Ataukah mengirim pesan pribadi kepada mereka-mereka yang saya ketahui telah bertemu dengan Mas Iwan? Bagaimana kalau saya simpan saja rahasia ini? “Tapi penyakit ini sangat menular dan membahayakan orang lain,” kataku meyakinkan diriku sendiri.
Menyandang profesi kesehatan masyarakat, saya harus berani mengambil sebuah keputusan berat. Satu-satunya cara adalah membuka identitas Mas Iwan di media. Dengan niat untuk kebaikan orang lain, saya yakin Mas Iwan akan sependapat dengan saya. Erna Kristin, kolega Mas Iwan sekantor, kemudian memberikan daftar nama. Ditambah dengan daftar saya, ada sekitar 30 orang yang harus dilacak oleh Riris Andono Ahmad (Doni), teman sekantor yang ahli epidemiologi.
Tembok Pemisah dan Kabar Itu
“Aku udah lihat Bapak, Ma. Aku tadi berdiri memegang kakinya di balik selimut sambil berdoa Tuhan masih menyelamatkan Bapak,” begitu cerita Putri. Dengan memakai baju berlapis yang kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang mungil, masker rangkap, sarung tangan, kacamata, dan sepatu boots, ia berjalan melewati lorong dan pintu berlapis untuk melihat ayahnya. Kali ini, mereka saling terdiam. Tak ada lagi kalimat “Bapak sayang Putri” seperti yang sering diucapkan Mas Iwan kepada Putri.
Malam itu, aku meminta Putri datang lagi ke rumah sakit. Ia ditemani Mas Sam sekeluarga. Di bangku tempat keluarga pasien ICU lainnya menunggu, kupegang tangannya yang mungil. Mulutku kaku, bingung mulai dari mana. “Nak, Bapak kondisinya menurun, tetapi Bapak masih berjuang sekalipun sudah berat sekali. Kita tetap terus berdoa, tetapi sekaligus pasrah dan ikhlas. Tuhan dapat mengirimkan mukjizat setiap saat”.
Di balik maskernya, aku melihat Putri menangis. Ia lalu bercerita memimpikan ayahnya pulang ke rumah. Baginya, itu sebuah harapan bahwa ayahnya akan sembuh. Ingin aku memeluknya erat-erat, tapi itu tidak bisa aku lakukan. Aku khawatir ia tertular.
Hari-hari berikutnya terasa berjalan sangat lambat. Pekerjaanku hanya menunggu dan memohon kepada Ilahi. Menunggu datangnya mukjizat. Namun, tidak bagi para dokter dan tenaga kesehatan yang merawat Mas Iwan. Siang-malam mereka berpacu dengan waktu.
Saturasi oksigen Mas Iwan semakin rendah. Tekanan darahnya pun demikian, sekalipun dosis obat sudah dinaikkan. Dengan kadar gula darah yang melonjak tinggi, alat continuous renal replacement therapy (CRRT) yang terpasang untuk membantu fungsi ginjal kembali tidak berfungsi akibat darah yang mengental. Fungsi jantung dan parunya telah diambil alih pula oleh alat extracorporeal membrane oxygenation (EMCO) yang didatangkan khusus dari RS Jantung Harapan Kita, Jakarta.
Di tengah situasi yang semakin kritis, Sabtu, 21 Maret 2020, pukul 07.00, masuk sebuah pesan WhatsApp dari dokter yang merawat, “Prof. Uut, menyampaikan amanah dari Pak Direktur Utama, dipersilakan untuk istirahat di Paviliun Ayodya kamar 106. Sudah kami siapkan ruangannya.” Rasanya aku ingin berteriak, “Tidak, saya tidak mau pindah dari ruang tunggu di dalam ICU ini!” Tidakkah mereka mengerti perasaanku sebagai seorang istri? Aku hanya ingin berada di samping Mas Iwan. Bukan malah semakin menjauh!
Aku mengangguk lesu, terpaksa mengiyakan. Ruang itu selama ini digunakan untuk memberikan penjelasan tentang kondisi pasien ICU. Terbayang wajah-wajah memelas keluarga mereka. Mereka sama sedihnya dengan aku.
Tiba-tiba saja penyakit yang semula “jauh”, tampak di pelupuk mata. Apakah Mas Iwan terkena Covid-19?
Prof. dr. Adi Utarini
Sepanjang penantian itu, entah berapa kali kami dipanggil ke ICU. Aku sudah pasrah. Setiap bel berbunyi, denyut nadiku terasa cepat. Suara bel interkom memang sangat keras, mengagetkan. Pikiranku semakin mengembara ke manamana. Bagaimana kalau kondisi Mas Iwan sangat menurun dan aku terlambat diberi tahu? Pada kondisi seperti apa mereka akan memberi tahuku? Apakah akan dilakukan pijat jantung (resusitasi)? Mungkinkah mereka melepaskan alat-alat ketika aku belum sampai ICU? Siapa yang akan menuntun Mas Iwan ketika maut datang menjemput? Pokoknya, harus ada yang menuntunnya.
Aku sangat resah. Saat itu, tak ada satu pun yang mulai mengajakku berbicara tentang hal ini. Mungkin mereka menganggap aku sudah tahu. Atau segan karena aku juga guru mereka. Atau mereka memang bingung bagaimana menyampaikan hal-hal yang sangat erat dengan kematian ini.
“Kami sudah melakukan yang optimal.” Begitu kalimat terakhir yang terucap ketika dua dokter spesialis senior datang ke Ayodya menjelaskan kondisi terakhir Mas Iwan. Aku mengerti apa arti kalimat itu. Tak ada lagi yang dapat atau belum dilakukan untuk menolong Mas Iwan.
Batin ini sangat tersiksa. Berharap ingin berada sedekat mungkin dengannya, membisikkan doa terbaik untuk menguatkan. Membayangkan mendekap tubuhnya dan memohon tubuh itu tak terbujur kaku. Memeluk erat, tak rela ditinggalkan.
Bel interkom kembali berbunyi. Selain tim dokter, kali ini ada seorang rohaniwan yang memimpin kami berdoa bersama. Apa sudah mendekati saatnya? Di tengah memuncaknya keresahan ini, Putri mengabarkan kalau Mas Sam dirawat di Rumah Sakit Akademik UGM karena batuk, sesak, demam, dan badannya lemas.
Lewat tengah malam, seorang perawat mengetuk pintu kamar di Ayodya dengan perlahan. Kali ini, tak ada lagi suara bel yang mengejutkan. Terima kasih sudah memahami kami.
Dan, langit serasa runtuh. Seorang dokter berperawakan agak gemuk menyampaikan berita: “Prof. Iwan Dwiprahasto telah berpulang, pukul 00.04, Selasa, 24 Maret 2020.” Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah, inilah ketetapan akhir-Mu.
Tubuhku sudah tak bertenaga untuk menjerit mengapa aku tak berada di sampingnya. Mengapa aku tak bisa membacakan “la ilaha illallah” berulang kali untuknya? Aku bahkan tak bisa bersamanya untuk terakhir kalinya. Aku duduk terkulai, dengan derai air mata membasahi pipi.
“Prof, ini pakaian gantinya. Nanti, kalau sudah dipakai, saya yang akan menemani Prof untuk masuk.” Dengan pakaian seperti robot, aku berjalan menelusuri lorong. Segerombolan orang telah berada di depan pintu yang aku tuju, menghentikan langkahku.
Satu lagi rohaniwan mendekatiku dan mengajakku berdoa di depan pintu kedua. Sebenarnya aku jengkel, tak sabar untuk mendekap suamiku. Detik itu aku tersadar, ternyata permintaanku tak dapat dipenuhi. Rohaniwan itu memakai pakaian biasa, bukan APD lengkap. Pantas saja ia tidak dapat mendampingi Mas Iwan. Air mataku sontak mengalir deras. Aku hanya bisa tertunduk, mengutuk diriku sendiri. “Ya Allah, mengapa mereka tidak memberi tahuku lebih cepat?”
Aku menyentuh pipi Mas Iwan yang halus dan meraba kepalanya, sembari berulang kali mengucapkan “la ilaha illallah” di telinganya. Ya Allah, aku menjerit dalam hati, tolong dengarkan aku, terimalah doaku.
Orang yang aku cintai sudah pergi 10 menit yang lalu. Betapapun aku ingin mencium pipinya, memeluk tubuhnya untuk terakhir kali, tak ada satu pun yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa berbisik meminta maaf.
Satu per satu alat dilepaskan dari tubuhnya.
Mengantarmu, dalam Hening
Pukul 2 pagi. Suasana ruang kamar jenazah terasa dingin mencekam, dengan cahaya gelap remang-remang. Segelap pikiranku. “Apa yang akan terjadi setelah ini?”
Aku tak tahu. Apa yang akan berubah karena Covid-19? Masing-masing tampak sibuk melakukan tugasnya. Petugas terlihat lalu-lalang. Kakak yang mendampingiku pulang ke rumah untuk menjemput Putri. Aku duduk sendiri. Ada satu jenazah lainnya di sana.
“Bu Uut, jenazah akan disucikan dan semuanya akan dilakukan oleh tim forensik yang sudah dilatih.” Kalimat yang diucapkan Yodi Mahendradhata, salah satu wakil dekan di Fakultas, ini sudah cukup melegakan. Alhamdulillah.
“Apa nanti akan dimakamkan bersama petinya?” Iya, katanya. “Apa nanti petinya dibungkus plastik?” Iya, katanya, sambil berusaha menjelaskan kepadaku. Aku mendengarkan dengan setengah hati, sambil membayangkan estetika peti yang akan terlihat terbungkus plastik. Yodi sibuk mencoba menghubungi pihak UGM untuk mengatur penggalian makam. Hari masih terlalu pagi.
Dalam benakku, setelah disucikan, jenazah kemudian dibawa dengan ambulans menuju kediaman kami. Kalaupun tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah, tidak mengapa. Setidaknya bisa didoakan, disalatkan, dan diberangkatkan dari rumah tempat kami tinggal selama hampir 30 tahun. Upacara tlusuban adat Jawa masih bisa dilakukan, lalu sambutan cukup dari satu orang saja, Pak RT atau Pak RW. Tetangga berdoa dari rumah masing-masing.
“Nanti upacara di Balairung dimulai jam berapa? Apa masih bisa diberangkatkan dari rumah? Masih boleh tlusuban, kan? Toh, petinya sudah dibungkus plastik, jadi sudah tidak menular. Oh ya, aku juga belum menyiapkan foto Mas Iwan untuk di Balairung.”
Kalimat itu begitu saja keluar dari mulutku. Dan berharap ada anggukan kepala Yodi untuk mengiyakan. Tapi jawabannya malah penjelasan soal protokol permakaman.
“We have to bury the body in four hours or as soon as possible,” begitu kata Yodi. “Jadi, dari sini, jenazah akan langsung dibawa ke Pemakaman Sawit Sari. Kalau diberangkatkan dari rumah, nanti malah membuat panik lingkungan perumahan. The photo is no longer necessary,” ucapnya.
Aku terdiam. “Apa setidaknya mobil ambulans bisa melewati jalan di sebelah barat Balairung untuk berhenti beberapa saat? Jadi, keluar dari Sardjito, tidak langsung ke arah kiri, tetapi belok ke kanan dulu, muter sedikit aja.” Kali ini jawaban Yodi singkat namun menyisipkan harapan. “Ya, akan diusahakan.”
Makam akan siap sekitar pukul 7 pagi. Yodi tampak sibuk meyakinkan beberapa pihak bahwa jenazah dan peti sudah dilindungi, sudah tidak infeksius lagi. Para petugas di permakaman tentu khawatir.
Peti jenazah telah siap, terbungkus rapi dengan kain putih yang menutupi lapisan plastik di bagian luar peti. Seperti Mas Iwan sehari-hari, rapi dan selalu mengenakan hem warna putih bersih. Peti itu sudah tidak boleh dibuka. Salat jenazah telah dilakukan.
Pesan belasungkawa mulai memenuhi telepon selulerku. Beberapa keluarga dan kawan dekat mulai datang silih berganti. Kesedihan mereka sangat kentara.
Sambil menanti subuh tiba, jariku sibuk merangkai kalimat yang akan disebarluaskan oleh staf humas Fakultas melalui berbagai media. Ada tambahan kalimat yang tidak biasanya: “Jenazah akan diberangkatkan dari RSUP Dr Sardjito pukul 08.30, langsung menuju pemakaman UGM Sawit Sari. Dimohon Bapak/Ibu berdoa dari kediaman masing-masing dan tidak mengirimkan karangan bunga.”
Menanti persiapan akhir di tempat pemakaman, tiba-tiba datang berita bahwa Rektor UGM Panut Mulyono dan beberapa dekan mengajak untuk berdoa bersama di Balairung. Wakil keluarga diharapkan hadir di sana pukul 07.30. Mas Bambang Wijanarko, Mbak Ita Dewayani, dan Ratih Damayanti, saudara sekandung Mas Iwan, pun meluncur ke Gedung Pusat. Rasa sedihku agak terobati, sekalipun tanpa jasad Mas Iwan di sana, di Balairung UGM, tempatnya mengabdi.
Pemberangkatan telah siap menjelang pukul 08.00. Beberapa pelayat takziah, menyempatkan datang sebelum mereka mulai bekerja. Spontan dilakukan doa bersama dengan beberapa Direksi RS Sardjito dan tim, keluarga, teman dekat, dan beberapa pelayat yang masih menemani. Selepas itu, mobil ambulans melaju kencang ke arah utara. Mobil berjalan melewati selokan Mataram menuju Jalan Kaliurang, tanpa sempat melewati Gedung Pusat tempat Balairung UGM berada.
Bayangan tinggallah bayangan. Pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Aku bersyukur jenazah telah disucikan, dikafani sesuai dengan ajaran Islam, dan tetap boleh dimakamkan di Sawit Sari.
Pemandangan di pintu masuk makam Sawit Sari mulai terasa berbeda. Petugas berpakaian APD menyemprot mobil ambulans dan setiap mobil yang memasuki area tersebut. Tampak beberapa wajah yang familier, termasuk para pengurus Fakultas, FK-KMK UGM. Berbeda dengan biasanya, acara pelepasan dan doa dilakukan sebelum permakaman, dipimpin oleh salah satu Wakil Rektor UGM, Paripurna.
Seusai pelepasan, tujuh orang berseragam APD lengkap berwarna biru mulai menurunkan peti jenazah secara perlahan, didampingi Doni. Liang kubur itu tampak kokoh, dilindungi beton di sisi samping dan atas untuk penutupnya. Sesuai dengan prosedur Covid-19, para pelayat menyaksikan pemakaman dari jarak 100 meter, di sekitar joglo. Namun, seluruh prosesi pemakaman disiarkan UGM melalui YouTube.
Aku melihat dari jarak sangat dekat ketika peti diturunkan sampai akhirnya mencapai dasar liang kubur. Konon, liang ini dipersiapkan lebih dalam. “Sekalian besok untuk aku,” dalam hatiku. Para petugas mulai menutupi liang kubur dengan beton dan tanah. Mas Iwan memang tidak senang kotor. “Mungkin cara ini menjaga tubuh Mas Iwan tetap bersih, suci, ketika menghadap Sang Khalik.”
Makam Mas Iwan terletak di sisi timur. Menyendiri, dekat pepohonan yang rindang. Makam lain mungkin takut ketularan, begitu saya sempat berpikir sambil meringis. Ah, tapi, makam ini lebih luas daripada yang lainnya, seperti halaman di rumah, asri. Nyaman.
Dua keranjang bunga mawar dan seikat bunga putih dari tetangga cukup untuk meninggalkan aroma harum di makamnya. “Mas, Mas Iwan meninggal syahid. Tidak akan ditanya-tanyai lagi oleh malaikat. Jangan takut, ya, Mas. Insyaallah, akan langsung dibukakan pintu surga oleh-Nya. Amin. Selamat jalan, Mas, sampai bertemu lagi.”
Dalam keheningan, Mas Iwan berpulang ke Sang Pencipta. Tak banyak yang mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Pun tak ada karangan bunga yang memenuhi pemandangan di sekitar makamnya. Seolah-olah ia tak ingin merepotkan. Ia tak pernah diberangkatkan dari rumah ataupun disemayamkan di Balairung seperti lazimnya ketika seorang guru besar UGM meninggal. “Ah, semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Itu yang terbaik,” kataku menenteramkan diri sendiri.
Empat bulan setelah berpulangnya Mas Iwan, saya mulai bekerja di kantor. Obrolan ringan sepulang kantor sekarang mengisi hari-hari berdua bersama Putri. “Nak, tadi teman sekantor Mama masih menangis ketika ngobrol tentang Bapak. Masih belum percaya Bapak sudah pergi. Kita juga sering merasakan begitu, ya, Put. Waktu itu Bapak berangkat dari rumah menuju rumah sakit diantar Mas Sam dan Mama, bawa satu koper. Rasanya seperti mengantar Bapak tugas ke luar kota aja.”
Hingga saat ini kadang aku masih tanpa sadar berucap, “Mas, kapan pulang?”
Yogyakarta, Agustus 2020