Liputan Runyam karena Pandemi

Perempuan muda ini adalah wartawan Tempo yang berkecimpung di dunia jurnalistik sejak Desember 2017. Semasa mahasiswa, ia aktif di pers mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) bernama Ultimagz.

Pertengahan Maret 2020, saya mulai merasakan kejanggalan di tubuh saya. Beberapa kali saya meriang. Apalagi setelah pulang kerja pada malam hari. Badan begitu lelah. 

Tapi saya mengabaikannya. Saya bukan tipe orang yang langsung periksa ke dokter jika merasa tidak enak badan. Saya tahu sekuat apa tubuh ini. Dia akan bertahan. Demam atau meriang akan hilang, cukup dengan istirahat, minimal dua hari. Saya pun tetap bekerja, liputan di rumah-rumah sakit rujukan Covid-19. 

Begitu pandemi Covid-19 melanda, saya memang diminta meliput perkembangan pasien Covid-19 di rumah-rumah sakit rujukan, terutama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan di Jakarta Timur. Sesekali saya liputan ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso di Jakarta Utara. 

Pada 15 Maret lalu, seorang teman kantor mengajak untuk cek kesehatan di RSPI Sulianti Saroso. Saya pun mengiyakan. Kala itu, rombongan wartawan yang sehari-hari bertugas di Istana Kepresidenan berbondong-bondong ke RSPI Sulianti atau RSUP Persahabatan setelah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dinyatakan positif terjangkit virus corona. Budi Karya beberapa kali mondar-mandir di Istana sebelum menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Kawan yang mengajak saya merupakan satu dari rombongan wartawan Istana tersebut, yang sehari-harinya bertugas “menjaga” Presiden Joko Widodo alias Jokowi. 

Bukan hanya wartawan Istana yang heboh. Wartawanwartawan yang kesehariannya memantau isu ekonomi juga ramai-ramai cek kesehatan. Rata-rata mereka juga ke RSPI atau Persahabatan. Wartawan ekonomi memang yang paling sering bersinggungan dengan Menteri Budi Karya. Mereka kerap melakukan wawancara doorstop (mencegat langsung untuk wawancara). 

Wajar bila mereka khawatir, mengingat keganasan dan gampangnya penyebaran virus corona. Jumlah pasien Covid-19 di Indonesia terus bertambah, bahkan sampai saat saya menulis ini, berbulan-bulan sejak pandemi mulai menyentuh Indonesia. Yang meninggal pun tidak sedikit. 

Saya mungkin satu-satunya wartawan yang tidak pernah doorstop Budi Karya, apalagi Jokowi. Saya hanya meliput isu seputaran Ibu Kota, termasuk memantau RSPI dan RS Persahabatan. 

Sebenarnya saya tak mau khawatir berlebihan dengan kondisi badan saat itu. Tapi, rasanya tidak salahnya juga untuk cek ke dokter. 

Di RSPI, dokter menanyakan apa yang saya rasakan. Ia tidak meminta saya untuk tes darah atau rontgen. Ia menganggap saya hanya kurang istirahat dan tidak ada indikasi terjangkit Covid-19. Satu faktor lagi yang meyakinkan saya tidak terkena virus tersebut, saya tidak pernah berinteraksi dengan pasien yang positif Covid-19. Saya pun disarankan agar beristirahat tiga hari dan minum vitamin. 

Tapi, saya mengabaikan saran tersebut. Saya berkeras tetap bekerja. Seperti biasa, saya bolak-balik Tangerang Selatan-Jakarta dengan naik kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Setelah kasus positifnya Budi Karya, media tempat saya bekerja, Tempo.co, memberlakukan sistem bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Tapi, kepala kanal Metro memberlakukan hanya satu orang yang kebagian WFH per harinya. Media-media lain juga melakukan hal yang sama, WFH dengan modifikasi. Namun, ada pula yang WFH penuh, meski tak banyak. 

Jumat pagi, 20 Maret, saya meriang lagi. Entah apa yang sedang diperjuangkan pasukan imunitas tubuh saya. Padahal, hari sebelumnya, saya sudah cukup istirahat karena libur setelah hari sebelumnya bekerja sampai malam.

Saya bersiap ke dokter lagi. Kali ini saya tidak mau menyepelekan. Harus cek darah. Kalau perlu, rontgen. Saya mengajak Papa karena dia pun tiba-tiba sakit. Saya tidak mau tahu, kami berdua harus cek darah. 

Saya pun langsung “menodong”: “Apakah kami bisa tes swab (usap)?”

Lani Diana Wijaya

Kami berangkat ke Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Tangerang Selatan, yang dekat dengan rumah kami. Di sana, dokter menanyakan keluhan kami. Demam, batuk, pilek, dan sesak, itu yang kami rasakan. Suhu tubuh saya normal. Sementara itu, suhu tubuh Papa mendadak tinggi, 38 derajat Celsius. Saya mulai khawatir akan kondisi Papa. Dokter merekomendasikan agar dilakukan cek darah dan rontgen. Sekitar dua jam, proses ambil darah dan rontgen beres. Saya langsung membuka hasil cek rontgen dan menatap serius tulisan bagian “kesan” alias kesimpulan medis. 

Saya dinyatakan menderita bronkopneumonia. Waduh, apaan tuh? Sembari menunggu hasil uji darah, saya mencari di Google apa itu bronkopneumonia. Intinya, bronkopneumonia adalah penyakit infeksi di paru-paru. Penyebabnya bisa karena virus, bakteri, atau jamur. 

Pikiran saya makin ke mana-mana. Tapi, saya mencoba tenang hingga menunggu penjelasan dokter. Setelah menerima sepucuk kertas berisi hasil tes darah, saya langsung kembali ke ruang dokter umum. Saya belum sempat melihat hasilnya. Sudahlah, nanti dokter saja yang menjelaskan. 

Saya sudah waswas dan berdoa dalam hati agar leukosit kami normal. Dari pengalaman teman-teman saya, kalau leukosit di atas normal, dicurigai terinfeksi virus corona

Ternyata leukosit kami aman. Tapi, paru-paru saya bermasalah. Dokter bilang bisa karena terpapar udara kotor, asap rokok, atau virus. Pekerjaan saya sebagai wartawan desk Metro (isu Jakarta dan sekitarnya) memang tidak pernah jauh dari udara kotor dan asap rokok.

Awalnya, dokter seperti tidak berani langsung menyangkutpautkan masalah kesehatan saya dengan corona. Itu terlihat dari raut wajahnya. Mungkin juga ia takut tertular virus dari saya. Saya pun langsung “menodong”: “Apakah kami bisa tes swab (usap)?” 

Dokter menganjurkan agar kami ke instalasi gawat darurat (IGD) untuk menanyakan tes itu lebih terperinci. Dia menyebutkan kami harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari sampai 2 April. Kami ditetapkan sebagai orang dalam pemantauan (ODP). Mulai hari itu, saya rehat dari tugas liputan. 

Hari demi hari saya jalani untuk isolasi mandiri. Saya menempati sebuah rumah milik keluarga, sendirian. Kesehatan saya memburuk, sementara Papa lekas membaik dan tetap di rumah. Saya pun mencoba peruntungan cek ke rumah sakit lain, Eka Hospital Bumi Serpong Damai, pada Senin, 23 Maret lalu. Di sana memang tersedia tes swab. Tapi, saya harus menunggu sangat lama. Saya tiba pagi, dan hingga sore hari, tak kunjung diperiksa juga. Saya lantas meninggalkan Eka Hospital karena tubuh saya semakin lemah. 

Dari Eka, saya langsung meluncur ke Rumah Sakit Sari Asih Ciputat. Dokter IGD meminta saya cek darah lagi, dan kemudian memutuskan saya mesti menjalani rawat inap. Namun, ruang isolasi di Sari Asih Ciputat sudah penuh. Walhasil, saya diinapkan di ruang pemeriksaan IGD, semalam saja, sembari dokter mencarikan rumah sakit rujukan Covid-19 yang kosong. Namun, di IGD, saya dipisahkan dari pasien lain. 

Keesokan harinya, dokter mengeluarkan surat rujukan ke RSUP Fatmawati di Jakarta Selatan dan Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta Pusat. Saya langsung berangkat ke Fatmawati, namun ditolak. Alasannya, alat tes swab habis. Menurut RS Fatmawati, pasien rujukan harus langsung menjalani tes swab.

Pada momen ini, pikiran saya sudah ke mana-mana, mencari jalan agar bisa segera ditangani. Panas badan saya terasa semakin tinggi. Napas juga memberat. Saya berpikir untuk berangkat saja ke Wisma Atlet Kemayoran, mengingat sudah ada rujukannya juga. Atasan saya, Wakil Pemimpin Redaksi Tempo.co, Anton Aprianto, pun sudah mengontak pengelola Wisma Atlet agar saya bisa dirawat di sana. 

Saat menunggu, adik yang menemani ke Fatmawati memberi saran agar saya sebaiknya dirawat di rumah sakit yang tak jauh dari domisili keluarga. Saya pun cenderung setuju dengannya. 

Akhirnya, petugas di RS Fatmawati mengecek kondisi tubuh saya, tanpa tes swab. Petugas juga minta saya kembali tes darah dan rontgen. Hasilnya, leukosit saya di bawah normal. “Artinya, ada infeksi virus,” kata seorang perawat. Sementara itu, hasil rontgen saya tak jauh berbeda dengan sebelumnya, masih ada bercak di paru-paru, penanda bronkopneumonia. 

Lagi, ruang isolasi di Fatmawati penuh. Jujur, saya capek. Benar-benar lelah di tengah kondisi kesehatan yang terus menurun. Saat itu, yang saya pikirkan hanya ingin tes swab dan isolasi di rumah sakit agar keluarga saya tetap aman. Itu saja. 

Tapi, mau tak mau, saya kembali ke rumah, menjalani isolasi mandiri. Ruang isolasi di Fatmawati penuh. Dokter juga menganggap kondisi saya masih memungkinkan untuk tak dirawat di rumah sakit. Ia membekali saya dengan beberapa obat, di antaranya paracetamol untuk menurunkan demam, antibiotik, obat batuk, dan obat sesak napas. RS Fatmawati menjanjikan bakal menghubungi lagi saat alat tes swab tersedia. 

Puji Tuhan, tiga hari setelahnya, 27 Maret, saya membaik. Demam saya menghilang. Saya mulai merasakan kembali tubuh yang segar, seolah-olah siap kembali bekerja. Hanya, batuk-batuk saya makin intens. Rasanya batuk saya lebih parah dari sebelumnya. Karena itu, saya bertekad harus tetap menjalani tes swab

RS Fatmawati tak kunjung memberi kabar. Saya pun bertolak ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, Jakarta Pusat, atas rekomendasi teman pada 28 Maret. Dokter di RSUD Tarakan menetapkan saya sebagai pasien dalam pengawasan (PDP). 

Menurut dia, dengan kondisi mengidap pneumonia, seharusnya saya berstatus PDP dan dirawat sedari awal sakit. Sayangnya, alat tes swab di RSUD Tarakan juga habis saat itu. Dokter menambah waktu isolasi saya selama 14 hari, 28 Maret-11 April. Saya pun memutuskan isolasi mandiri saja karena kondisi badan sudah membaik. Saya kembali ke rumah dan menunggu waktu untuk tes swab

Sepekan kemudian, saya kembali ke RSUD Tarakan setelah diberi tahu alat tes swab sudah siap. Hasil tes darah saya, versi RSUD Tarakan, baik. Sementara itu, tes swab yang saya jalani adalah tes usap tenggorokan. Hasil tes tak cepat keluar, lantaran pemeriksaan laboratorium terpusat dan jumlahnya membeludak. Lebih dari seminggu saya menunggu. Beruntung saya minta nomor telepon dokter RSUD Tarakan. Saya pun menghubunginya untuk menanyakan hasil tes swab. “Hasil swab Mbak Lani negatif, ya,” begitu isi pesan WhatsApp dokter, Sabtu, 11 April. 

Lega. Itu artinya keluarga saya pun aman dari paparan virus corona. Saya tak cuma sekali melakukan tes swab. Untuk tes kedua, saya melakukannya di Puskesmas Bambu Apus, Tangerang Selatan. Ini lebih untuk meyakinkan hati saja. Data saya sebagai ODP tercatat di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, sehingga saya ditawari tes swab. Hasilnya juga negatif. 

13 April 2020. Saya aktif bekerja lagi. Reporter di desk Metro WFH sepenuhnya. Saya pun bekerja dari rumah. Hanya 3-4 kali saya liputan ke lapangan untuk memantau rapat di DPR DKI Jakarta.

Ketentuan WFH mulai dilonggarkan seiring dengan mulai diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 5 Juni. Kepala kanal Metro mengubah jadwal WFH. Setidaknya dua orang diterjunkan ke lapangan per hari. Makin ke belakang, makin banyak yang ke lapangan. Ada yang atas inisiatif sendiri, ada pula yang mendapat penugasan dari redaktur. Sementara itu, saya meminta keringanan untuk tidak meliput di keramaian. Meski dokter mengatakan bercak bronkopneumonia di paru telah berkurang, sampai kini saya masih memendam satu pertanyaan: apa penyebab bronkopneumonia tersebut. 

Jakarta, Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top