Aku Bersama Covid-19

Menjelang purnatugas sebagai anggota Ombudsman Republik Indonesia, ia tetap semangat bekerja. Ahli bidang hukum dan tenaga profesional di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) ini aktif berorganisasi sejak muda. Ia banyak meneliti isu pemberdayaan dan perlindungan hukum, terutama untuk perempuan dan anak. Dipercaya menjadi komisioner Komnas Perempuan selama dua periode, 2006-2014.

Tanpa kata 

Selasa, 24 Maret 2020. Dering telepon seluler sore itu tak akan pernah saya lupakan. Saat itu, setelah salat asar, sekitar pukul 16.00, Kepala Medical Check-up Unit (MCU) Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto mengabarkan bahwa saya positif Covid-19. Deg! Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. 

Meski sudah berusaha merespons dengan tenang, degup jantung berdetak kencang. Ada rasa kaget, marah, ingin berontak, tapi tak terucap. Dalam hati bertanya, kenapa kamu menghampiri saya? 

Di satu sisi, otak terus berputar memikirkan pesan dokter. Sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) yang orang tanpa gejala (OTG), saya diminta segera melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Saya mesti minum vitamin, berolahraga, memaksimalkan kebugaran tubuh, “menyambut” kehadiran virus corona dengan rasa gembira. Ini penting agar imunitas tubuh terjaga. 

Tapi, di sisi lain, degup jantung semakin kencang ketika memikirkan adanya kemungkinan semua anggota keluarga tertular. Kami semua tinggal serumah tanpa ada social distancing (jaga jarak). 

Tak hanya itu, kepala seperti berputar memikirkan teman-teman kantor yang juga berpotensi tertular. Seminggu belakangan, bahkan sehari sebelum dinyatakan positif, saya masih rapat dengan mereka. 

Beban menularkan Covid-19 kepada keluarga dan teman kantor semakin membuyarkan nasihat dokter. “Hadapi dengan sabar, jangan sedih, dan tetap disiplin dengan protokol kesehatan: tidak ke luar rumah, menjauh dan jaga jarak dengan keluarga dan dengan siapa pun, serta selalu menggunakan masker. Juga usahakan tetap berolahraga.” 

Berulang kali saya mengambil napas panjang untuk menghilangkan rasa panik. Saya juga terus komat-kamit berdoa agar tubuh bisa lebih rileks menerima berita yang mengoyak ketenangan saya. Rupanya segala usaha tersebut tidak berjalan dengan baik. Jari masih gemetaran saat mengangkat dan menutup semua telepon masuk yang susul-menyusul. Entah dari mana mereka menerima informasi, media dengan cepat mengetahui bahwa saya positif Covid-19. 

Dengan keberanian yang entah datang dari mana, ditambah rasa pasrah dan ingin segera memastikan kesehatan keluarga dan kawan-kawan, serta pihak-pihak yang berdekatan, akhirnya jari-jari pun menuangkan tulisan di grup pimpinan Ombudsman Republik Indonesia. Saya menginformasikan bahwa saya positif Covid-19 dan meminta doa agar diberi kesembuhan. Lega rasanya berhasil menuliskan kalimat pemberitahuan tersebut. 

Tak berapa lama kemudian, ada respons dari rekan sejawat yang menyampaikan kabar serupa: positif Covid-19. Beliau adalah Ibu Lely Pelitasari, Wakil Ketua Ombudsman. Rasanya ada sedikit tambahan napas. Ada teman menapak dalam langkah-langkah pengobatan untuk penyembuhan. 

Melacak jejak corona 

17 Maret 2020. Saya dan anak bungsu melakukan tes mandiri. Syukur, dokter mengatakan bahwa hasil tes kami berdua tidak menunjukkan positif Covid-19. Hasil tes darah dan toraks tidak menunjukkan ada virus corona di tubuh kami. Akan tetapi, buat anak saya yang memiliki gejala flu, dokter memberinya vitamin, obat batuk, dan obat pilek. Kebetulan ia sudah hampir seminggu batuk dan pilek. Banyaknya kegiatan membuat dia wira-wiri ke kampus menggunakan angkutan umum. Tentu itu sangat mengkhawatirkan pada masa pandemi. 

Sementara itu, saya juga cukup sibuk dengan berbagai tugas. Tempat-tempat dengan kerumunan dan orang yang abai mengenakan masker yang berpotensi menyebarkan virus berkalikali saya kunjungi. Ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dinyatakan positif terinfeksi virus corona pada 14 Maret lalu, semua pemimpin di kementerian dan lembaga negara diminta menjalani tes. Para pemimpin di Ombudsman pun mengikuti tes pada Jumat, 20 Maret 2020. Saya, meski dua hari sebelumnya sudah tes mandiri tanpa swab test, tetap mengikuti tes bareng-bareng ini. 

24 Maret. Sebelum menyampaikan hasil swab test saya, dokter menanyakan apa yang saya rasakan selama ini. Saya jawab bahwa saya tidak merasakan gejala sebagaimana yang sering disebutkan dalam pemberitaan, seperti sesak napas, demam tinggi, batuk kering, dan lemah lunglai atau diare. Tidak satu pun gejala itu saya rasakan. Suhu tubuh saya ketika itu 37,1 derajat Celsius. Memang ada sedikit batuk yang kadang muncul semingguan terakhir setelah saya makan duku Palembang. 

Saya mulai komatkamit membaca istigfar dan takbir ketika memperhatikan jumlah dan keadaan pasien yang sedang antre untuk mendapat layanan. 

Ninik Rahayu

Tubuh saya juga merasa sedikit meriang empat hari sebelum dinyatakan positif. Saya sempat minta mbak pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di rumah membelikan obat pereda flu di warung. Namun, karena saya istirahat cukup, meriang itu akhirnya hilang. Obat flu urung saya minum. 

Kondisi yang sama juga disampaikan Bu Lely Pelitasari. Ia hanya mengalami gejala demam ringan pada malam sebelum hasil tes diterima, yakni badan agak meriang dan tenggorokan gatal. Tapi, sehari kemudian, ia sudah membaik. Kondisi kami berdua, di mana reaksi terhadap virus corona yang tidak terlalu tampak, inilah yang membuat dokter menyarankan agar kami melakukan isolasi mandiri di rumah. 

Saya masih terus memikirkan apa saja yang berpotensi menyebabkan saya terinfeksi virus ini. Saya mencoba mengingat apa saja yang saya lakukan setidaknya dalam 14 hari sebelum saya dinyatakan positif. 

Saya memang melakukan enam kunjungan ke rumah sakit, baik untuk berobat maupun mengunjungi keluarga teman yang sedang dirawat. Saya juga dua kali bepergian ke luar kota, menghadiri permakaman, dan menghadiri rapat yang dihadiri kolega yang belakangan baru saya ketahui bahwa yang bersangkutan baru pulang dari luar negeri. 

Akhirnya, saya harus menerima kenyataan bahwa upaya melacak jejak penyebab saya terinfeksi corona tidaklah mudah. Banyak aktivitas yang berpotensi menjadi sumber penyebaran. Tapi, saya tak kuasa memastikan kapan dan bagaimana cara virus corona hinggap di tubuh saya. 

Memilih rumah sakit untuk isolasi 

Keinginan untuk melacak penyebab terinfeksi Covid-19 saya sudahi karena hanya menambah rasa bersalah tak berkesudahan. Yang saya pupuk dalam hati saat itu adalah penerimaan bahwa saya sudah terinfeksi, juga membesarkan hati bahwa saya harus sembuh. Untuk mencegah gejala meningkat dan memastikan saya mendapat pengobatan yang benar, saya memutuskan untuk mengikuti pengobatan di rumah sakit. 

Rencana awal, saya akan melakukan perawatan di Wisma Atlet. Melewati penjagaan ketat, akhirnya saya sampai di lobi Wisma Atlet yang sudah disulap oleh pemerintah menjadi tempat perawatan pasien Covid-19. Saya mulai komat-kamit membaca istigfar dan takbir ketika memperhatikan jumlah dan keadaan pasien yang sedang antre untuk mendapat layanan. Perasaan saya campur aduk. Ada rasa takut dengan status positif Covid-19, tapi merasa ada teman melihat jumlah antrean layanan di Wisma Atlet. Juga sedih melihat kondisi pasien yang menunjukkan gejala lebih berat dibanding saya. Rasa yang campur aduk itu terwakili dengan bacaan lirih tahlil dan tahmid yang terus-menerus saya panjatkan. Dalam hening.

Tiba-tiba saya tersadar ketika ada paramedis dengan pakaian alat pelindung diri (APD) menegur. “Bu, antre, duduk di sana,” katanya sambil menunjuk deretan bangku ruang tunggu yang nyaris tak bersisa. 

Tawaran itu saya iyakan. Tapi saya tetap berdiri. Tidak hanya ingin berjarak dengan pasien lain yang sudah hampir berdempetan duduk di kursi antrean, tapi saya juga merasa “sesak” melihat antrean panjang lebih-kurang 50 orang yang kondisinya sangat membutuhkan pertolongan dengan kategori prioritas. 

Saya pun kemudian balik badan, menemui asisten yang menemani saya, dan mengajaknya ke RSPAD Gatot Soebroto untuk meminta suntik vitamin C saja dulu, sambil memikirkan langkah berikutnya. Bahkan saya sempat berpikir untuk melakukan isolasi mandiri di rumah saja, meski dengan segala keterbatasan dan kekhawatiran. 

Saat di mobil itulah saya curhat kepada sopir dan asisten pimpinan. Rasanya tidak mungkin melakukan perawatan di Wisma Atlet. Meskipun Direktur Wisma Atlet memang telah menyiapkan dua kamar untuk kami berdua, saya tetap merasa kurang “adil” jika saya harus ikut antre di situ. 

Tapi, akhirnya, saya memutuskan kembali ke Wisma Atlet. Malam itu juga, bersama Bu Lely, saya kembali menuju Wisma Atlet. Kami sengaja memilih lebih malam dengan pikiran, kalau lebih malam, kondisi di Wisma mungkin jauh lebih sepi. Keputusan ini kami ambil setelah mempertimbangkan pesan Ketua Ombudsman Prof. Amzulian Rifai melalui WhatsApp, yang intinya: “Ikuti prosedur untuk dirawat di WA (Wisma Atlet) dengan Ibu Lely. Semoga segera pulih hingga tuntas.” 

Saya seperti mengulang peristiwa yang sama saat kami berdua sampai di Wisma. Jumlah pengunjung memang agak berkurang dibanding saat kedatangan saya yang pertama. Tapi, malam itu, saya malah diperlihatkan pasien-pasien yang kondisi klinisnya lebih berat dibandingkan dengan saat kedatangan saya yang pertama. Semua petugas medis sibuk membantu pasien.Tak satu pun petugas duduk di kursi tanpa pasien. 

Akhirnya, kami berdua memutuskan mencari alternatif tempat kami akan mengisolasi diri. Menurut kami, Wisma Atlet sebaiknya menerima pasien yang lebih membutuhkan penanganan secara cepat dibandingkan dengan kondisi kami berdua. 

Kami pun direkomendasikan Rumah Sakit Bhayangkara Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Dua malam kemudian, kami masuk ke rumah sakit yang masih baru dalam menerima rujukan pasien Covid-19 ini. Saya dan Bu Lely termasuk pasien batch pertama. Total ada sembilan orang yang dirawat. Meski demikian, masih cukup banyak pemberitaan di media yang mengatakan bahwa saya dirawat di Wisma Atlet. 

Dalam dua malam saat di rumah, sebelum kami ke RS Bhayangkara Brimob, kami menggunakan cara pengobatan dengan pantauan dokter dari jarak jauh. Dua malam tersebut merupakan dua malam di mana saya sangat tidak tenang. 

Banyak yang bertanya mengapa saya memilih isolasi di rumah sakit, meski dokter Ibrie, Kepala Medical Check-up Unit RS Gatot Soebroto, memberi penjelasan: “…bahwa yang harus dilakukan oleh orang yang positif Covid-19 dengan kondisi tidak bergejala adalah isolasi mandiri di rumah selama 14 hari, istirahat cukup, dan minum vitamin, dan tidak harus ke RS”. 

Saya ragu melakukannya mengingat riwayat saya yang gampang panik, kurang paham tindakan medis, dan usia sudah menjelang 60 tahun. Saya khawatir betul jika ada komplikasi atau hal-hal yang tidak mampu saya lakukan di rumah bila kondisi memburuk. Maka, pikiran pendek saya memutuskan untuk minta dirawat di rumah sakit. 

Akan tetapi, ada alasan lain yang tak kalah penting: keselamatan keluarga, supaya mereka tidak tertular. Saya tinggal di apartemen, dengan ruangan yang tidak terlalu besar. Maka, pilihan isolasi di rumah menurut saya kurang tepat. Pilihan ini juga disepakati rekan sejawat saya. Akhirnya, kami berdua memilih isolasi di rumah sakit dan tinggal sekamar. 

Pilihan sekamar berdua ternyata tepat. Selain ada teman berbincang dan melakukan kegiatan bersama, kami saling menyemangati dan mengingatkan. Saya sangat mensyukuri kondisi waktu itu. 

Oh, iya. Ada kejadian lucu saat kami tiba di lantai tiga RS Bhayangkara. Kami berdua diinapkan di ruang yang di depan kamarnya tertulis kamar ICU (intensive care unit). Karena tidak ada penjelasan sebelumnya, kami sempat bingung, kenapa kami ditempatkan di ruang ICU? Meski di kamar hanya ada dua tabung oksigen, di seberang kamar terdengar jelas bunyi-bunyi khas kamar ICU. Akhirnya, kami baru mengetahui bahwa kamar yang kami gunakan sifatnya sementara karena kamar lainnya belum dipartisi. Jadi, digunakanlah ruangan ICU terlebih dulu. Saking ragunya ihwal penempatan ini, kami berdua sempat keluar dari ruangan. Kami kembali menemui perawat dan menelepon kepala rumah sakit agar dipindahkan ke ruang biasa, bukan ICU. 

Menjalani perawatan di RS Bhayangkara 

Berbekal catatan medis dari RSPAD Gatot Soebroto, kami mulai menjalani masa perawatan di RS Bhayangkara. Setelah pemeriksaan dokter, meski telah tengah malam, kami berdua mendapat makan malam dan obat. Tanpa saya tanya obat dan vitamin apa, semua saya telan begitu saja. Sebagaimana disampaikan dokter, belum ada obat untuk Covid-19 ini. Dokter hanya memberikan tiga jenis antibiotik dan beberapa obat pencegahan dan vitamin C dan B untuk menambah imunitas tubuh. Obat demam dan obat batuk diminum jika ada gejala muncul. 

Kami berdua juga mengonsumsi VCO, habatusauda, vitamin C 1.000 mg, rebusan sambiloto, dan rebusan daun pepaya. Selain itu, kami minum obat Cina. Sebelum meminumnya, kami selalu mengonsultasikan semuanya dengan dokter. Kami diperbolehkan mengonsumsinya sepanjang dirasa nyaman dan tetap diberi jarak waktu dua jam di antara obat atau vitamin yang dikonsumsi. Kami berdua menyatukan Western medicine, Chinese, dan traditional medicine.

Kegiatan sehari-hari selama perawatan di rumah sakit boleh dibilang seperti kegiatan di rumah saja. Pagi dan sore, sesuai dengan anjuran dokter, kami berolahraga. Kami juga berjemur dengan memanfaatkan sinar matahari dari balik jendela dan makan-minum secara teratur. Membaca, salat, berdoa, dan tentu saja istirahat yang cukup juga menjadi kegiatan rutin kami. Selama di rumah sakit, saya menyantap dengan lahap semua makanan yang disajikan. 

Selama perawatan, dokter memeriksa kami setiap hari. Perawat, petugas bagian gizi, dan petugas kebersihan juga meramaikan kunjungan ke kamar setiap hari. Saya merasa kerja mereka lebih berat karena semua yang masuk ke kamar mesti menggunakan APD lengkap. 

Guna memudahkan komunikasi dengan dokter dan perawat, termasuk dengan sesama pasien Covid-19, rumah sakit membuat grup WhatsApp. Grup ini sangat membantu jika ada keluhan atau permintaan yang membutuhkan komunikasi cepat dengan paramedis. 

Pulang 

Selama di rumah sakit, saya masih bisa berkomunikasi dengan keluarga dan rekan sejawat. Saya bahkan tetap ikut rapat-rapat dengan tim di kantor. Jadi, bisa dikatakan tidak ada yang berubah. Saya bekerja dari rumah sakit (work from hospital) dan kawan-kawan di kantor sebagian juga bekerja dari rumah (work from home) selama masa pandemi ini. 

Terkadang memang ada rasa tenggorokan gatal dan seperti akan turun ke dada. Biasanya saya cepat-cepat minum air putih hangat, berkumur dengan air garam, atau menempelkan alat panas di punggung. Sesekali saya merasa begitu berat di dada, juga meriang. Tapi, jika diukur, suhu tubuh saya normal, sekitar 36,6-37 derajat Celsius. Terkadang muncul situasi psikologis, seperti badan terasa sakit dan ingin tidur. Kalau sudah begitu, saya melawannya dengan berdiri dan olahraga kecil-kecil, atau minum air panas. Gejala ringan yang terjadi pada saya tetap tidak boleh dianggap remeh, mengingat ketika kita mengabaikan gejala tersebut, saat itulah virus menyerang. 

Kepala RS Bhayangkara Brimob, dr. Taufik, meminta kami tidak lengah dan mengabaikan segala gejala yang dirasakan oleh tubuh. “Pasien di ruang sebelah, yang masuk ke rumah sakit hampir bersamaan dengan Ibu, telah meninggal. Padahal pagi harinya masih terlihat bugar dan berolahraga. Malamnya dia meriang dan paginya sudah tiada,” begitu tuturnya. 

Saya dan Bu Lely pun saling mengingatkan untuk minum air hangat, berkumur air garam, serta minum madu dan vitamin-vitamin yang diberikan. Kami juga saling menghibur dan berbincang tentang apa saja, dari urusan kantor, anakanak, sampai hal-hal yang, selama bergaul di kantor, hampir tidak pernah kami berdua bicarakan. Allah memang telah menakdirkan kami berdua bertemu di sini, dan itu sungguh saya syukuri sebagai nikmat tersendiri. 

Kami juga melakukan semuanya dengan riang. Bahkan termasuk ketika beberes kamar. Maklum, karena rumah sakit baru, ada beberapa perlengkapan yang belum ada. Misalnya saat kami memasang jemuran handuk, yang berkali-kali gagal. Bukannya mengomel, kami malah tertawa-tawa. 

Dokter yang merawat kami pun mengatakan kami berdua tampak senang dan gembira. Insyaallah itu menambah daya imun untuk kesembuhan dari sakit Covid-19 ini. Beliau juga bercerita ada seorang pasien PDP yang kehilangan semangat, sangat khawatir, dan murung sejak dinyatakan sakit Covid-19. Akibatnya, imunitas tubuhnya turun drastis. Bagi dokter, kondisi ini tentu membuat proses penyembuhan lebih sulit.  

Alhamdulillah, kabar gembira beruntun datang. Hasil rapid test pertama dan kedua keluarga dan 100 rekan di kantor yang sempat berdekatan dengan kami berdua selama 14 hari terakhir dinyatakan negatif. Tak terhingga rasa syukur kami kepada Yang Maha Kuasa. Setidaknya beban bahwa kami berdua menularkan virus kepada orang lain tidak terjadi. 

Saya sempat deg-degan saat menunggu hasil rapid test keluarga dan teman-teman kantor. Demikian pula saat menunggu hasil swab test kami. Takut, cemas, jika hasilnya positif. Berulang kali saya ambil dan buang napas sambil komatkamit berdoa. Tapi, tetap saja tidak mudah menghilangkan kegelisahan. Alhamdulillah, hasilnya negatif. 

Pada 8 April 2020, setelah dua kali swab, saya dan Bu Lely dinyatakan sembuh. Kami pun diperbolehkan pulang. Meski sudah pulang, bukan berarti saya sudah menjadi manusia yang bebas dari virus. Sesuai dengan protokol kesehatan, selama 14 hari setelah dari rumah sakit, saya tetap harus menjalani isolasi mandiri di rumah untuk memastikan virus yang ada di tubuh saya benar-benar sudah bersih. Oleh karena itu, waktu keseluruhan isolasi mandiri saya adalah 28 hari sejak dinyatakan positif. 

Hikmah dari kebersamaan saya dengan virus ini adalah kesadaran baru akan ujian kesabaran dan penerimaan sebagai hamba dalam menghadapi ujian dari Sang Pencipta. Juga terus tak putus semangat memohon kesembuhan dari-Nya. 

Buat teman-teman yang sekarang masih dirawat, ayo tetap semangat. Insyaallah sembuh. Dan buat kita semua yang sehat, tetap berhati-hati dan terus mengikuti protokol kesehatan. 

Jakarta, Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top