Menguatkan Keluarga, Mengedukasi Warga

Perempuan asli suku Sasak Lombok ini menjadi Ketua Gerakan Masyarakat Cinta Alam (Gema Alam) Nusa Tenggara Barat. Ia aktif menemani perempuan di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur untuk meningkatkan perekonomian yang berbasis potensi desa. Salah satu keluarga pasien positif Covid-19 fase pertama yang mendapat stigma negatif sangat kuat.

Tubuh saya bergetar hebat, air mata mengalir deras tanpa saya sadari, terpaku, lalu pelan beringsut ke sofa dan terduduk lunglai karena dengkul terasa sangat lemas. Saya menggigit bibir agar isak tangis tak terdengar tetangga, sambil bergumam dalam hati. Oh, Tuhan, apa yang harus saya lakukan sekarang? 

Perasaan saya berkecamuk melihat petugas medis dari Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 menjemput kakak lakilaki saya ke rumah sakit. Dia ditetapkan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP) klaster Gowa setelah hasil rapid test keduanya reaktif. Tangan saya gemetar saat memegang handphone untuk menulis kalimat panjang tentang perasaan sedih ini. 

Saya juga menyisipkan imbauan untuk tidak menganggap pasien dan keluarganya sebagai orang yang hina dan harus dikucilkan. Saya hanya ingin menyuarakan pendapat dan perasaan saya, juga mewakili kawan-kawan senasib yang mendapat perlakuan serupa, dan hanya bisa menyimpan rasa sedih dan marah. 

Tidak lama setelah penjemputan kakak saya, bukan hanya keluarga pasien yang mendapat perlakuan menyedihkan, melainkan juga tetangga depan dan samping rumah. Meski kami sudah mengisolasi diri untuk tidak keluar dari rumah sejak kakak dijemput, banyak tetangga yang tidak mau melintas di depan rumah kami. Seorang tetangga lainnya bahkan mengusir kakak ipar saya seperti ayam saat berniat baik mau membagikan lauk mentah yang tidak dikonsumsi. 

Kios kakak perempuan saya juga sepi pembeli karena orang-orang takut tertular. Padahal, kakak perempuan saya ini tidak pernah kontak sama sekali dengan pasien. Rumahnya pun jauh. Kakak saya yang lain, yang bekerja di instansi kesehatan sebagai perawat dan bidan, tidak diizinkan masuk kantor. Warga di sekitar kantor tempat saya bekerja seketika ikut panik setelah membaca unggahan sebuah akun Facebook yang menyertakan foto gang rumah saya. Bahkan tetangga depan rumah saya terkena imbas. Warung tempatnya biasa menitip kue tidak mau menerima makanan buatannya lagi. 

Perlakuan paling menyakitkan adalah saat ketua RT menutup akses jalan tiga kepala keluarga dengan memasang palang kayu berpaku di gang rumah. Padahal tetangga yang lain bebas keluar-masuk untuk melakukan aktivitas apa pun di luar. Sangat menyakitkan rasanya mendapat perlakuan layaknya orang hina. Mereka tidak memahami bahwa mereka pun sebenarnya berpotensi tertular dan menularkan dengan perilaku yang tidak mengindahkan protokol dari pemerintah. 

Perlakuan demi perlakuan itu membuat kakak saya marah. Para tetangga pun mengeluh sumber pendapatan satu-satunya macet karena kasus kakak saya. Kakak ipar dan keponakan dari kakak yang positif pun merasa tertekan. Mereka bahkan ingin pergi saja dari rumah agar warga sekitar merasa tenang. Mereka juga merasa tidak enak hati karena sudah memberi malu kepada keluarga besar saya. 

Melihat situasi ini, saya memahami bahwa reaksi orang bergantung pada pemahamannya tentang pandemi yang sedang melanda dunia saat ini. Begitu pula dengan reaksi dari tetangga dan keluarga karena mereka kurang memahami Covid-19 ini. 

Maka, pada hari kakak saya dijemput, saya langsung berkomunikasi dengan keluarga agar kita semua kuat dan tabah menerima kondisi. Ini musibah, bukan aib. Saya juga mengedukasi mereka dengan mengirim beberapa artikel yang berkaitan dengan Covid-19. Setelah itu, dengan kondisi kucel tapi tetap menggunakan masker, saya bergegas ke rumah kakak perempuan saya yang memiliki kios. Di tengah kemarahannya, saya memeluk dan mengajak dia duduk, lalu saya menjelaskan tentang Covid-19 secara singkat. Orang yang positif bukanlah orang yang harus dijauhi. Penyakit itu bukan hina, sama dengan flu dan batuk yang disebabkan oleh virus yang bisa ditularkan oleh siapa pun. Jika ingin dia sembuh, kita harus mendukungnya, memberikan semangat. Abaikan perkataan orang yang melecehkan kita, abaikan sikap orang yang menjauhi kita seolah-olah najis. Itu semua karena mereka tidak paham. Dia mulai tenang, tapi masih ngedumel. Saya maklum kalau dia tidak memahami Covid-19. Dia hanya seorang ibu single parent yang berjualan bahan pokok di rumah. Dia hanya mendapat informasi dari pasar tradisional saat berbelanja. 

Sangat menyakitkan rasanya mendapat perlakuan layaknya orang hina. 

Haiziah Gazali

Selanjutnya, saya menghubungi kakak-kakak yang lain untuk menenangkan dan memberi mereka pengetahuan agar tidak panik dan merasa tersudutkan. Saya meminta mereka tetap tinggal di rumah dan mengabaikan omongan masyarakat, dan bila perlu juga memberi mereka pemahaman. Saya juga mendekati anak-anak tetangga melalui WhatsApp Messenger untuk memberikan pemahaman dan mengedukasi mereka. Tujuannya agar mereka meneruskan informasi itu ke orang tua masing-masing. 

Saya juga berkoordinasi dengan gugus tugas terkait dengan penutupan akses jalan keluar-masuk. Alhamdulillah, pada sore hari setelah kakak saya dibawa ke RS, kami dapat kembali berkomunikasi dan bercanda melalui grup WA keluarga. Saya juga bersyukur tetangga mulai memahami, bahkan mendukung kami, dengan tetap bersikap baik dan tidak mengucilkan. 

Setelah itu, kehidupan kembali berjalan normal. Apalagi petugas menyampaikan bahwa hasil rapid test istri dan anak kakak saya negatif. Situasi semakin baik ketika kakak saya dinyatakan sembuh setelah dirawat selama 19 hari di RS. Penutupan akses jalan kembali dibuka pada 27 April 2020, saat kakak saya pulang dari RS. Petugas menyampaikan bahwa kakak saya dan keluarga termasuk pasien yang sangat membantu petugas untuk penyembuhan yang cepat. Kakak saya juga dinilai sebagai pasien yang sangat mematuhi aturan dan kerap memberikan semangat antar-sesama pasien secara online. Lewat media Lombok Post, ia juga memberikan edukasi kepada warga agar mau melaporkan diri jika ada gejala dan mematuhi protokol Covid-19. Ia mengingatkan bahwa dukungan keluarga adalah unsur penting penyembuhan pasien Covid-19.

Pengalaman menjadi keluarga dari pasien positif Covid-19 membuat saya belajar untuk terus memilah informasi yang valid dan hoaks. Saya terus berusaha mendapatkan pengetahuan dan wawasan tentang pandemi dan perkembangan situasi kondisi. Ini tak hanya membantu saya menenangkan, menguatkan, dan mendukung keluarga, tapi juga menyiapkan langkah-langkah untuk meretas stigma miring dari masyarakat. Saya menyadari bahwa perlakuan buruk kepada pasien dan keluarga terjadi tak lain karena minimnya pengetahuan dan informasi yang mereka dapat, serta mudahnya mereka menyerap berita-berita hoaks. Saya bersyukur bisa ikut berkontribusi memberikan informasi dan edukasi kepada warga. Meski sedikit, itu sangat berarti! 

Lombok, Agustus 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top