Lahir di Pare, Kediri, 2 November 1951. Ahli biologi molekuler lulusan Monash University, Australia; salah satu pendiri Lembaga Biologi Molukuler Eijkman (pada 1993). Herawati melakukan perjalanan intensif ke berbagai tempat untuk memetakan DNA suku-suku di seluruh Indonesia. Penerima berbagai penghargaan, antara lain Habibie Award (2008). The Lancet, pada 2012, menyebutnya sebagai “the champion of basic science in Indonesia”.
Pergantian tahun identik dengan kegembiraan. Harapan. Tapi, tidak di hari-hari menjelang 2020, tahun yang membawa badai yang mengubah begitu banyak hal. Tahun yang ternyata menyimpan begitu banyak drama.
Saya ingat, ketika itu, beberapa pesan masuk di telepon seluler saya. Pesan datang dari sesama kolega ilmuwan, mendiskusikan perkembangan hangat. Ada klaster pneumonia aneh di Wuhan, Cina. Insting saya berkata ada sesuatu yang gawat tengah terjadi dan sedang mendekat ke Indonesia.
Kami bertukar informasi secara intensif dengan kolega, sesama ilmuwan dari berbagai lembaga riset di dunia. Meskipun belum jelas, penyebabnya diduga berasal dari pasar induk makanan laut di Wuhan. Saya teringat pada pandemi flu burung, yang puncaknya terjadi pada 2005-2006, yang juga berawal dari pasar tradisional. Kondisi di Wuhan semakin membuat hati ketar-ketir. Lockdown total diberlakukan di Wuhan. Pemerintah Cina membangun rumah sakit darurat. Ribuan tenaga medis, ribuan sukarelawan, dikerahkan. Situasi sudah begitu serius. Di Indonesia, saat itu belum ada pernyataan resmi bahwa Covid-19 telah mampir di negeri ini. Terasa betul, ada kabut yang menyelimuti.
Masa Limbo
Saya menyebut pekan-pekan awal, Januari-Februari 2020, sebagai masa limbo. Tak menentu. Belum ada pernyataan resmi pemerintah tentang adanya kehadiran coronavirus di negeri ini. Situasi ini membuat kami bertanya-tanya, lantaran seperti too good to be true. Sayangnya, kami semua di Lembaga Eijkman tak bisa bergerak leluasa memobilisasi program apa pun, termasuk mendeteksi keberadaan virus, sebelum ada pernyataan resmi dari pemerintah.
Telepon seluler saya tak henti berdering hari-hari itu. Pesan singkat datang bertubi. Semua menanyakan tentang status penyebaran Covid-19. Rentetan pertanyaan seperti: “Bagaimana, sih, sebenarnya keadaan kita di Indonesia? Wuhan sudah lockdown. Ini sudah serius sekali,” atau “Apakah betul tidak ada virus yang menyebar ke Indonesia?” Tak sedikit juga yang mempertanyakan, “Apa yang akan dilakukan Lembaga Eijkman? Bukankah Eijkman sanggup dan punya peralatan modern pendeteksi virus?” Sungguh. Saya tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan yang datang dari berbagai penjuru ini.
Saya bingung, sedih, dan marah. Campur aduk rasanya. Saya tidak dapat menjawab pertanyaan dari para sahabat dari dalam dan luar negeri yang khawatir akan keadaan pandemi di Indonesia. Berat rasanya menahan malu lantaran tak bisa menjawab aneka pertanyaan itu. Sebagai peneliti, saya bisa dan tahu jawabannya apabila kami diberi wewenang. Namun, situasi yang serba belum jelas saat itu membuat kami tidak berdaya.
Sementara itu, di media, berbagai pejabat sibuk memberi pernyataan menenangkan: tak ada coronavirus di Indonesia. Bahkan, ada pejabat yang mengutip pernyataan lembaga riset Harvard, entah lembaga mana persisnya dan apa dasar argumennya, yang memastikan tak ada Covid-19 di Indonesia.
Pernyataan bahwa tak ada Covid-19 di Indonesia tidak membuat kami senang dan tenang. Justru sebaliknya. Kerisauan makin menggunung. Berbagai lembaga internasional menghubungi kami di Eijkman. Tak sedikit yang menawarkan bantuan alat uji, bertanya ihwal prosedur pengujian serta teknis pengiriman sampel, terlebih mengingat wilayah Indonesia begitu luas. Kami teruskan pertanyaan-pertanyaan tersebut ke kementerian terkait dan berbagai lembaga yang berwenang. Sepi. Tak ada jawaban. Risau kian kuat.
Kerisauan banyak pihak pada pekan-pekan itu amat beralasan. Jarak Wuhan dan Jakarta hanya ditempuh dalam 7 jam, Denpasar ke Hong Kong hanya perlu 9,5 jam, dengan pesawat penerbangan. Intensitas penerbangan dari berbagai kota di Indonesia ke kota-kota di Cina pun pasti meningkat pada pengujung tahun. Saya sangat paham bahwa diseases have no borders. Penyakit tak kenal perbatasan negara. Jadi, kedatangan pandemi ini tinggal soal waktu saja.
Gelombang Penyangkalan
Tulisan ini bukan didasari semangat menyalahkan pihak mana pun. Namun, mengingat pandemi sangat mungkin berulang, reaksi kita pada pekan-pekan awal pandemi perlu kita jadikan pelajaran berharga. Banyak pihak yang tidak serius menanggapi virus ini. Gelombang denial atau penyangkalan muncul. Berbagai komentar menghiasi media dan media sosial, termasuk yang agak berbau rasis seperti: “Orang Indonesia kan berbeda, kita ini kebal virus.”
Pertanyaannya, bagaimana, kok, orang-orang itu bisa memastikan orang Indonesia kebal, sedangkan kita tak tahu apa benar virus sudah menyebar? Bagaimana mendeteksi virus jika tak dilakukan tes? Berbagai pertanyaan tak kunjung beroleh jawaban. Seperti juga pertanyaan, apa betul Covid-19 tidak ada di Indonesia sejak Januari-Februari 2020? Sulit menjawab tanpa pencarian kasus yang saksama.
Baiklah, kita mencoba dulu bagaimana perjalanan penyebaran virus ini dari tempat asalnya. Kita mulai dengan situasi di Wuhan, pertengahan Desember 2019. Saat itu dilaporkan adanya kasus pertama dengan gejala seperti radang pneumonia. Kasus ini merebak dengan cepat dan mewabah menjadi 59 kasus pada 29 Desember 2019. Seminggu kemudian, dilaporkan ada satu kasus di tempat lain dengan riwayat perjalanan ke Wuhan. Di Hong Kong, tercatat 38 kasus dilaporkan, juga datang dari Wuhan. Singapura sudah melaporkan kasus pertama pada 23 Januari 2020. Australia melaporkan kasus pertama, 25 Januari 2020.
Artinya, pada Januari 2020, virus corona sudah mampir di negara-negara yang berdekatan dan berinteraksi lumayan intensif dengan Indonesia. Perkembangan ini benar-benar mengkhawatirkan. Pada 26 Januari, Covid-19 meluas ke Kanada, Kamboja, Jerman, dan Sri Lanka. Virus berderap cepat. Pada akhir Januari 2020, Covid-19 berturut-turut dilaporkan ditemukan di Finlandia dan Uni Emirat Arab; Filipina dan India, serta Italia, Rusia, Spanyol, Swedia, dan Inggris.
Januari itu pula, kami yakin, wabah Covid-19 sangat mungkin telah singgah di negeri ini. Keyakinan itu beralasan kuat. Tidak hanya karena ada penerbangan langsung ke Denpasar, tapi juga karena lalu lintas pesawat terbang yang sangat ramai saat libur akhir tahun, juga menjelang liburan tahun baru Imlek. Transmisi virus sangat mungkin sudah terjadi di antara orang yang lalu-lalang.
Bersama sekelompok peneliti senior, kami menggelar pertemuan internal dan tertutup pada Februari 2020 di Jakarta. Semua yang hadir menyampaikan kekhawatiran bahwa pandemi telah sampai di Indonesia. “Wah, Covid-19 sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Kita harus bergerak cepat dan mengevaluasi diri,” begitu ajakan yang muncul. Ajakan yang disetujui oleh semua peneliti yang hadir.
Kami sebagai peneliti siap bekerja keras. Peralatan pengujian segera kami siapkan, dengan merujuk pada beberapa model sebagai alternatif. Deteksi bisa kita lakukan pada penderita yang dirawat dengan gejala infeksi saluran pernapasan atas, yang karena itu bisa disebut sebagai suspek Covid-19.
Akan tetapi, bagaimana kami para peneliti bisa mengakses para suspek Covid-19? Apakah tes bisa kami lakukan pada terduga pasien dengan gejala gangguan pernapasan? Bagaimana prosedurnya? Siapa yang sudah melakukan tes tersebut? Sayang sekali, tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan itu. Kami betul-betul frustrasi dibuatnya. Buat kami, para peneliti, keterbukaan itu penting. Metode yang digunakan harus transparan dan dapat direplikasi oleh laboratorium lainnya.
Pada 1 Maret 2020, saya diundang sebagai narasumber dalam acara “Dialog Cross Check”, yang digelar oleh medcom.id dengan peserta para jurnalis. Topiknya sangat menarik: “Kita Imun atau Melamun?” Saya hadir sebagai narasumber karena Lembaga Eijkman dikenal memiliki fasilitas deteksi dan kemampuan riset genom yang mumpuni.
Nihilnya kasus virus corona di Indonesia memang menjadi perhatian dunia internasional. Indonesia diduga tak mampu melakukan deteksi akurat keberadaan virus dan hal ini berisiko memperparah penyebaran pandemi. Indra Maulana, sebagai tuan rumah diskusi, mengajukan pertanyaan yang menggelitik, pertanyaan yang ada di benak semua orang: “Apakah memang SARS-CoV-2 tidak ditemukan di Indonesia?”
Sejenak saya tertegun sebelum menjawab pertanyaan Indra Maulana. Saya sadar, sebagai seorang peneliti yang punya integritas, saya tidak dapat berbohong atau memberikan jawaban yang bercabang ala politikus. Walhasil, saya menjawab pertanyaan tersebut dengan bertanya kembali, “Bagaimana Indonesia bisa yakin masih terbebas dari corona?” Rupanya, pertanyaan saya menjadi bahan headline liputan di Koran Tempo dan berbagai media lainnya.
“Bagaimana Indonesia bisa yakin masih terbebas dari corona?” Rupanya, pertanyaan saya menjadi bahan headline liputan di Koran Tempo dan berbagai media lainnya.
Herawati Supolo Sudoyo
Diskusi tersebut benar-benar timely, pas waktunya. Keesokan harinya, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama yang diumumkan secara resmi. Jelaslah sekarang. Tidak ada bedanya dengan negara lain, Indonesia juga telah menjadi tempat penyebaran Covid-19.
Barulah tiga minggu kemudian, yakni pada 23 maret 2020, terbit pengumuman Surat Keputusan Menteri Kesehatan bahwa Lembaga Eijkman menjadi salah satu laboratorium resmi diagnostik Covid-19. Kami merasa lega dan juga tertantang, bahwa pada akhirnya tim peneliti Eijkman dapat menyumbangkan bakti kepada bangsa.
Pandemi dan Paradigma Baru
Pandemi ini sendiri telah menciptakan berbagai paradigma baru. Salah satunya adalah percepatan berbagi informasi di antara para ilmuwan. Hanya sepuluh hari setelah wabah diumumkan, sekelompok peneliti di Wuhan mengumumkan telah berhasil menemukan informasi genetik virus penyebab, 70 persen identik dengan virus SARS.
Virus corona baru itu kemudian disebut SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus Type 2), sedangkan penyakitnya sendiri disebut Covid-19, singkatan dari Coronavirus Disease 19 (angka ini menerangkan tahun timbulnya penyakit). Virus corona baru ini menambah deretan virus corona yang sebelumnya dilaporkan dapat menginfeksi manusia, dua di antaranya menyebabkan pandemi, yaitu SARS dan MERS. Tidak mengherankan jika gejala yang ditemukan pada SARS, MERS, juga Covid-19, ini serupa, yakni gangguan saluran pernapasan yang cukup berat.
Informasi tersebut diterbitkan hanya sepuluh hari setelah berita wabah diumumkan Cina. Para peneliti di mana pun bisa mengaksesnya. Ini perkembangan yang sangat luar biasa. Hormat kami kepada para peneliti di Wuhan, yang pastinya telah bekerja siang-malam untuk dapat mengenali karakter virus baru dalam waktu yang sangat singkat.
Saya tidak pernah mengalami hal seperti ini sejak saya bekerja dalam bidang biologi molekuler. Biasanya, kami harus menunggu beberapa bulan sampai hasil karakterisasi virus diterbitkan. Inilah yang dapat saya katakan paradigma baru. Keinginan berbagi informasi dengan tujuan secara cepat mengenali dan merancang penanganan yang tepat, telah membangkitkan rasa solidaritas di antara para ilmuwan di seluruh dunia.
Informasi urutan informasi genetik virus corona pun bisa diakses dengan mudah. Urusan atau sekuens DNA SARS- CoV-2 dipublikasikan dan dimasukkan dalam kumpulan data Global Initiative and Sharing All Influenza Data (GISAID), lembaga yang menampung semua data genom virus, dengan tujuan mulia. Tujuannya adalah agar data sekuens DNA virus dapat dimanfaatkan oleh semua peneliti untuk mempelajari evolusi virus, deteksi yang lebih efisien, desain obat, maupun pembuatan vaksin. Prioritas pertama adalah bagaimana kita dapat mendeteksi virus ini secara tepat dan akurat.
Jadi, apa yang kita ketahui pertama mengenai SARS-CoV-2 ini? Virus baru ini adalah suatu virus RNA, yang memiliki informasi genetika berukuran sebesar sekitar 30 ribu pasang basa. Ibaratnya suatu cerita, yang memiliki 30 ribu huruf cetak, DNA yang menandai virus ini hanya memiliki empat huruf, yaitu A (adenin), G (guanin), T (timin), dan C (sitosin) dengan urutan yang spesifik. Tentu saja ada strategi yang harus diambil untuk menandai bagian mana yang akan dipilih sebagai tes diagnostik.
Beruntung kami memang sudah memiliki suatu laboratorium khusus yang sudah berpengalaman bekerja dengan virus baru. Kami menyebutnya Emerging Virus Research Unit (EVRU). “Kami sudah mendesain tes untuk virus baru ini, dari data yang sudah ada di GISAID, dan kami siap menggunakannya,” begitu kata Frilasita Yudhaputri, seorang peneliti muda yang memimpin EVRU di Lembaga Eijkman. Buat kelompok peneliti ini, deteksi virus corona bukan hal asing lagi. Sebelumnya, para peneliti Eijkman sudah menemukan dua tipe virus corona pada tubuh manusia, yakni dari spesimen pasien dengan demam yang bukan disebabkan oleh parasit malaria dan virus dengue.
Namanya percepatan, dalam hitungan waktu dua minggu saja, lima metode tes Covid-19 dikembangkan. Tes diagnostik untuk SARS-CoV-2 menggunakan teknologi real time reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) telah dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran Charite di Berlin. Universitas Hong Kong, Pusat Pengendalian Penyakit (CDC; Central Disease Control), Institut Nasional Penyakit Infeksi Jepang, dan Departemen Ilmu Kedokteran Kementerian Kesehatan Thailand, masing-masing memiliki metode tersendiri.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Frilasita Yudhaputri dan kawan-kawan di Eijkman secara cepat melakukan optimasi pada keempat metode deteksi molekuler spesifik SARS-CoV-2. Metode ini juga yang kemudian dikembangkan oleh CDC di Amerika. Boleh dikatakan, awal Februari itu sebenarnya kami sudah siap melaksanakan tes diagnostik.
Tes dan Percepatan Pengembangan Teknologi
Sampai sekarang, standar emas (gold standard) dalam tes diagnostik Covid-19 adalah menggunakan tes PCR yang langsung mengetes fragmen DNA virus. Kami melakukan isolasi virus di laboratorium khusus berstandar Biological Safety Laboratory level 3 (BSL3) yang digunakan untuk patogen berbahaya. Terus terang, para peneliti dunia, termasuk kami, masih terus belajar mengenali karakter virus baru ini. Virus yang begitu misterius, belum ada obatnya, dan belum ada vaksinnya. Ekstraksi dilakukan secara manual, suatu pekerjaan yang berat. Semua tenaga dikerahkan untuk dapat melakukannya dalam beberapa shift.
Penyebaran virus berlangsung sedemikian cepatnya disertai angka kematian yang tinggi. Bagaimana harus bersikap? Tidak ada jalan kecuali memperkuat infrastruktur, menyediakan peralatan otomatik, dan menambah mesin PCR. Serangkaian upaya ini ternyata belum cukup juga, meskipun kami sudah lembur dan mengerahkan semua tenaga peneliti. Kami tidak bisa mengatasi ketertinggalan pengetesan. Banyak sampel yang belum bisa dites, tertunda sampai berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Sudah tentu hal ini membuat pendataan deteksi penyebaran virus tersendat.
Sementara itu, dari berbagai informasi, kami mengetahui bahwa ada satu perusahaan, yakni Tempo Scanchemie, yang membuat mesin penguji Covid-19 dengan sistem tertutup. Sifatnya otomatis total. Sampel masuk dalam satu sistem dan langsung keluar dari mesin dalam kondisi yang sudah terdeteksi. “Kita harus mendapatkan mesin itu untuk Indonesia, bagaimanapun caranya. Coba kita cari apa dalam masa pandemi ini ada filantropis yang ingin menyumbang jumlah yang berarti dan namanya akan berukir di dinding laboratorium,” begitu kesimpulan dari diskusi tim Waspada Covid atau Wascove Lembaga Eijkman.
Kami melobi berbagai pihak demi mendapatkan bantuan mesin deteksi Covid-19. Kemampuan mesin ini cukup mengesankan, bisa melakukan 1.000 tes per hari. Mendapatkan mesin ini juga bukan hal yang mudah. Punya dana pembelian saja tidak cukup karena harus bersaing dengan berbagai negara yang juga membutuhkan mesin Tempo Scanchemie. Akhirnya, dengan bantuan Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo, upaya kami berhasil. Kami mendapatkan bantuan mesin otomatis itu. Laboratorium yang khusus untuk mendeteksi Covid-19 di Eijkman itu pun kami namai “Laboratorium Tempo Scanchemie”.
Dukungan dari berbagai pihak yang kami dapat memang begitu mengharukan. Donasi masker, APD, dan pembersih tangan mengalir, sehingga kami tidak lagi khawatir akan keselamatan tenaga peneliti. Saya tidak dapat membayangkan bahwa apa yang kami inginkan itu dapat terlaksana tanpa bantuan banyak pihak. Tentunya itu adalah hasil kerja keras tim yang memperlihatkan kemampuan mereka, sehingga orang percaya pada kerja kami.
Kami bekerja keras. Jelas, kami tidak bisa mengecewakan publik yang telah mendukung kami. Para peneliti yang bertugas bahkan tak sempat meluangkan waktu untuk pergi ke luar pada saat makan siang. Dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta, kantin yang beroperasi di sekitar Salemba, lokasi Eijkman, pun sangat terbatas.
Lalu, tanpa kami duga, datang lagi dukungan. Komunitas Kuliner Jalansutra, yang saya bergabung di dalamnya, menggalang dukungan dana publik. Rae Hadisurya, dari Jalansutra, menghubungi saya dan bertanya, “Her, apa yang bisa kami bantu? Perlu APD?” Hmmm, saya berpikir, teman-teman Jalansutra ini kan banyak chef yang jago masak. Bagaimana kalau kirim makanan saja supaya tim peneliti tidak repot harus cari makanan ke luar dari kompleks laboratorium?
Maka, jadilah. Jalansutra mengirim bantuan paket makan siang untuk 50 anggota staf yang bertugas di Eijkman. Para chef, dimotori Harnaz Tagore dan Lidia Tanod, bergerak memasak makanan untuk kami, yakni para peneliti, petugas lab, dan petugas kebersihan Eijkman. Setiap hari, berbulan-bulan, pasokan makan siang yang sehat dan lezat datang dari Komunitas Jalansutra. Sungguh sebuah dukungan mengharukan. Saya merasa dipeluk erat oleh semua orang.
Kita Semua Belajar
Sebenarnya, tidak ada satu negara pun yang mengetahui jumlah total penduduknya yang terinfeksi Covid-19. Hal yang diketahui sampai saat ini hanyalah status infeksi dari orang yang telah dites. Semua orang yang telah dikonfirmasi terinfeksi berdasarkan tes laboratorium dihitung sebagai confirmed cases. Ini artinya, penghitungan confirmed cases bergantung pada berapa banyak negara telah melakukan tes. Tanpa tes, tidak ada data! Tes adalah jendela kita melihat ke dalam pandemi dan bagaimana penyebarannya.
Tanpa melihat data siapa saja yang terinfeksi oleh virus, kita tidak akan bisa memahami pandemi. Tanpa data, kita tidak tahu negara mana yang bekerja dengan baik, dan negara mana yang melaporkan angka kasus dan kematian yang terlalu rendah. Jadi, kembali lagi ke Indonesia, kita tahu posisi Indonesia yang sangat rendah dalam melakukan tes. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Perbanyak tes, tes, dan tes. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan itu.
Pandemi telah memberikan pembelajaran kepada kita semua. Bahwa kita harus selalu siap untuk menghadapinya, termasuk menyiapkan segala sesuatu untuk pandemi yang akan datang. Pengetahuan, kemampuan penguasaan berbagai teknik baru, didukung dengan peralatan terkini, harus terus dikembangkan.
Sampai saat tulisan ini diturunkan, akhir November 2020, pandemi belum juga reda. Indonesia pun belum beranjak dari gelombang pertama. Perjalanan masih jauh. Karena itu, kita semua perlu berefleksi, apa yang kurang, apa yang perlu kita perbaiki? Kolaborasi dan solidaritas diperlukan untuk mendeteksi yang tidak terdeteksi. Dan, tentunya kita semua perlu dengan rendah hati memegang moto para peneliti, ancora imparo, atau “saya masih belajar”.
Jakarta, Oktober 2020