Dokter di RS Kanker Dharmais dan RS Pondok Indah ini lulus dari Fakultas Kedokteran UGM dan Finder’s University, Australia, dan kini menyelesaikan S-3 di UGM. Aktif sebagai pengurus Ikatan Dokter Indonesia, Perhimpunan Onkologi Indonesia, dan Masyarakat Paliatif Indonesia. Di tingkat internasional, ia menjadi member Asia Pacific Hospice and Palliative Care Network dan board of Indonesian Journal of Oncology dan Indonesian Journal of Cancer.
Astaga naga. Kenapa jadi begini? Ke mana saja wajah manusia beserta senyum dan kecerewetannya? Rentetan pertanyaan itu muncul dalam hati ketika suatu pagi, Maret 2020, saya memasuki pintu utama Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.
RS Dharmais, tempatku bekerja, sehari-hari sibuk melayani pasien yang datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Antrean selalu panjang di setiap pojok layanan. Hari itu semua berubah. Tak ada lagi antrean mengular. Tidak ada canda tawa seperti biasa. Tak ada tegur sapa yang ramah dari sesama karyawan atau karyawan ke pasien. Debat yang seru di ruang diskusi di antara para dokter pun tidak terdengar. Dharmais menjadi sunyi, lengang, tegang, dan dingin.
Manajemen rumah sakit membuat banyak batasan. Jumlah pasien dibatasi, jadwal operasi ditunda, layanan perawatan di rumah atau home care ditiadakan, jam besuk dihapus. Bahkan rapat rutin tim kerja diliburkan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hari-hari itu, suasana kelabu seolah-olah akan terjadi hujan badai.
Teman-teman perawat, syukurlah, terlihat lebih tenang menghadapi situasi yang serba tak menentu itu. Mereka bisa membawa suasana menjadi lebih tenang, mungkin karena terbiasa sehari-hari menangani ratusan pasien secara intensif. Para perawatlah yang mengingatkan para dokter dengan berbagai kalimat, “Dokter, jangan lama-lama di kamar pasien,“ atau “Pakai sarung tangannya, Dok.” Jika ada dokter yang lengah, para perawat dengan gesit menghampiri dokter sambil berkata, “Dokter, stetoskopnya dicuci dulu.”
Sebagian dokter, tak bisa dimungkiri, tak bisa menyembunyikan perasaan takut tertular Covid-19. Maklum, pada hari-hari awal pandemi, kabar duka dari sesama kolega dokter datang silih berganti. Kekhawatiran tak bisa dihindari. Rasa khawatir ini tertangkap dari cara penanganan pasien. Pelayanan kepada pasien terasa menjadi tidak sepenuhnya. Interaksi antara dokter dan pasien, yang merupakan bagian dari proses penyembuhan itu sendiri, terpaksa tersekat setelan hazmat, masker, dan tameng wajah.
Perlengkapan alat pelindung diri (APD) pun punya kisah tersendiri. Pengap, berat, dan tak boleh dilepas sesuka hati, jika tak mau terinfeksi virus entah dari percikan ludah siapa. Suatu saat, seorang kolega tampak tersiksa dengan alat pelindung diri yang terasa pengap. Sambil membetulkan letak masker, dokter ini mengeluh susah bernapas dan berkata, “Siapa yang menjamin keselamatan kita dalam kondisi seperti ini? Bagaimana kalau keluarga di rumah jadi tertular? Saya tidak mau kerja dulu, Dok. Lebih baik di rumah saja. Kasihan anak-istri kalau terjadi apa-apa dengan saya.” Dia beranjak keluar dari ruangan sembari berkata, “Mana masker harus beli sendiri pula.”
Harus dicatat, dokter yang ekstra-khawatir dan segan bertugas hanya sedikit. Jauh lebih banyak dokter yang tetap bekerja, termasuk dokter-dokter senior, walaupun ada imbauan bagi yang berusia 60 tahun ke atas sebaiknya tidak usah praktik. “Siapa lagi yang akan jadi garda terdepan kalau bukan kita? Dalam perang melawan pandemi ini, kita ini tentaranya,” begitu kata seorang dokter senior. Saya, yang juga berada di balik APD, kesulitan mendengar perkataan sang dokter senior dan saya berkata, “Enggak dengar, Dok. Tolong diulangi.” Sesungguhnya, sebagian diriku ingin berulang kali mendengar kalimat heroik itu. Ingin kuyakinkan diri sendiri dengan kalimat itu, memompa semangat untuk terus melayani.
Lalu, bagaimana dengan pasien dan keluarganya?
Pasien kanker tergolong orang yang memiliki risiko tinggi terinfeksi Covid-19 karena imunitasnya yang rendah. Jadi, walaupun Dharmais bukan rumah sakit yang khusus menangani Covid-19, kami siap melayani pasien kanker yang terinfeksi virus tersebut. Sebagian pasien menunda kontrol ke rumah sakit karena takut tertular Covid-19. Sebagian lain seakan-akan tidak peduli dan menganggap kanker harus terus diobati. Semuanya tetap harus mendapat penanganan yang baik.
Salah satu problem pada masa pandemi adalah pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Pasien yang memiliki gejala atau tanda infeksi paru harus ditempatkan di ruang tersendiri, yaitu di bangsal infeksi, sambil menunggu hasil tes yang baru tersedia dalam beberapa hari setelah pemeriksaan. Pasien yang hasil tesnya negatif akan dipindahkan ke bangsal umum. Sedangkan pasien yang hasilnya positif, yang berarti terinfeksi Covid-19, harus dirawat di ruang isolasi.
Sudah tentu, selain masalah kanker, pasien dan keluarga merasa cemas dan takut saat menunggu hasil tes deteksi Covid-19. Larangan berkunjung bagi keluarga, pembatasan izin penunggu hanya satu orang, bukan hal yang mudah bagi pasien dan keluarga. Suasana menjadi terasa lebih mencekam bagi pasien karena semua petugas kesehatan mengenakan APD. Sulit membedakan mana dokter, mana perawat, mana petugas laboratorium, dan sebagainya. Tidak ada identitas apa pun. Pasien merasa asing dan jauh dari dokter karena jarak harus minimal 1,5 meter. “Suaranya tidak jelas, Dok,” kata seorang pasien saat menerima penjelasan dari dokter yang berbicara di balik APD dan masker berlapis.
Suatu kali, ada pasien yang melontarkan pernyataan, “Dokter, mana senyumnya? Aku rasanya kehilangan harapan. Aku lelah.” Ya, senyum punya banyak arti. Bagi pasien, senyum dokter dapat menenangkan dan mengurangi kecemasan. Dokter yang tersenyum membuat pasien memiliki kemampuan atau keberanian untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Senyuman membantu pasien untuk dapat menyampaikan dengan jujur apa yang dialaminya. Dan, akhirnya, senyuman memberikan harapan.
Pakaian seperti astronaut yang disebut baju hazmat itu menghalangi senyuman, juga gestur tubuh seperti anggukan. Kacamata goggles yang harus dipakai untuk melindungi mata dari droplet membuat tatapan mata tidak mampu ditangkap lawan bicara. Padahal, di balik anggukan dan tatapan mata itu, ada pesan penting bagi pasien, seperti “Aku mengerti apa yang engkau rasakan, aku memahami ketakutan dan kekhawatiranmu”, atau “Kamu pasien yang hebat dan kuat”, dan “Engkau pribadi yang unik dan luar biasa”, serta “Aku juga ingin engkau dapat disembuhkan, aku berdoa untukmu, pasienku yang sangat berharga”.
Bagi saya, yang bertahun-tahun menekuni bidang paliatif, saya paham betul bagaimana pesan dan semangat seorang dokter bisa mempengaruhi daya tahan pasien. Saya tak ingin senyum saya ditelan APD. Tapi, bagaimana caranya? Setelah berpikir sejenak, saya berinisiatif mengalungkan foto diri yang sedang tersenyum di dada. Banyak juga kolega yang bertanya, “Untuk apa?” Ada juga yang menertawakan inisiatif ini, tapi belakangan mereka mengerti. ”Wow, Maria…iya, ya. Ternyata pemakaian APD menjadi kesulitan bagi kita untuk mengenal satu sama lain,” kata kolega saya.
“Siapa lagi yang akan jadi garda terdepan kalau bukan kita? Dalam perang melawan pandemi ini, kita ini tentaranya.”
dr. Maria Astheria Witjaksono
Bagi pasien, setidaknya foto di dadaku membuat mereka tahu aku hadir membawa senyuman. Aku siap mendengarkan, ingin menolong, dan memberi semangat. Suatu kali, seorang pasien perempuan, untuk memudahkan kita sebut saja namanya Indah, memandangku dengan penuh harapan. Di antara sesak napasnya, saya dan Ibu Indah bercakap-cakap:
“Dokter, doakan aku, ya.”
“Ibu ingin didoakan apa? Ada permohonan khusus-kah?”
“Aku mungkin tidak lama lagi akan pergi. Semua sudah selesai. Aku sudah siap. Tapi, ada anakku yang tidak mengizinkan aku untuk pulang.”
Walaupun kalimat ini bukan pertama kalinya aku dengar dari pasien-pasien paliatif, tetap saja kalimat ini menjadi pesan yang sangat pribadi dan istimewa bagiku. Air mata mulai tergenang di pelupuk matanya dan akhirnya menetes. Ingin rasanya aku memeluknya. Tanpa terasa, air mataku pun ikut mengalir. Aku tersenyum sambil kutunjukkan foto di dadaku agar ibu tersebut mampu menangkap senyumanku. Kursiku kudekatkan dan aku bertanya.
“Ibu, apa kiranya yang membuat putra ibu tidak siap?”
“Ya, karena dia baru pisah dengan istrinya. Anaknya masih kecil.”
“Oh, oke. Jadi, putra Ibu khawatir siapa yang akan merawat anaknya karena selama ini Ibu Indah yang merawat?”
Ibu Indah mengangguk dan meneruskan tangisnya. Saya bertanya, “Menurut Ibu, siapa yang sebaiknya merawat anak ini jika Ibu Indah sudah pergi?” “Itulah dokter, saya tidak tahu,” dia menjawab. Apa yang dapat saya lakukan agar dapat membantu dalam masalah ini? Saya bertanya dengan penuh harapan dapat melakukan sesuatu. “Saya minta tolong dokter,” katanya.
Saya lantas mengajaknya berdoa. “Baik, Ibu Indah. Sekarang mari kita berdoa sesuai dengan keyakinan kita masing masing, Ibu. Semoga Tuhan memberikan jalan yang terbaik untuk Ibu dan putra Ibu, dan seluruh keluarga.” Maka, mengalirlah doaku dalam hati dan kami sama sama menutupnya dengan “Amin”. Ibu Indah tampak lega. Dia tersenyum, mengucapkan terima kasih, dan ingin aku kembali besok.
Aku segera menelepon putranya untuk meminta waktunya menyampaikan apa yang baru disampaikan oleh Ibu Indah. Aku mengibaratkan pasienku di akhir kehidupannya seperti kupukupu yang indah. Cantik tapi rapuh. Rapuh tapi tetap cantik. Keesokan harinya, pukul 07.14, seorang perawat meneleponku, memberitahukan kupu-kupu indahku telah terbang tinggi menemui Penciptanya.
Semakin hari, semakin aku menyadari betapa pentingnya komunikasi bagi pasien dan dokter. Komunikasi yang mampu meyakinkan pasien bahwa dokter memahami ketakutan dan kekhawatiran mereka, bahwa dokter dokter siap membantu dalam kondisi terburuk sekalipun. Akhirnya, sebagai manusia, dokter harus merelakan raga pasien yang terus melemah karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun, jangan pernah membiarkan jiwa dan iman menjadi pudar. Jangan biarkan kecemasan dan harapan lenyap tanpa teridentifikasi dan terselesaikan. Dokter juga memiliki tugas agar pasien kembali dengan damai, bermartabat, dan husnul khatimah. Dengan demikian, aku sebagai dokter mempersiapkan kematianku sendiri. Ya, kematian bukanlah hal yang harus ditakutkan, apalagi dihindari, melainkan sesuatu yang harus dipersiapkan. Kematian sejatinya hanyalah sebuah kendaraan untuk menuju ke kehidupan baru yang abadi.
Selamat jalan, Indah. Kupu-kupu indahku. Terbanglah tinggi ke istana abadimu.
Jakarta, September 2020