Suara Hati dari Ruang Isolasi

Perawat yang menjadi Kepala Ruangan di RS Kanker Dharmais. Sebelum masa pandemi, Vera bekerja di ruang rawat inap kelas 2 dan 3. Namun, sejak masa pandemi, pada April-Juni 2020, ia ditugaskan di ruang isolasi. Setelah tiga bulan, ia dirotasi kembali ke ruang rawat inap biasa. Ibu empat anak yang sangat mencintai pekerjaannya.

Apakah saya siap bertugas di ruang isolasi Covid-19? Apakah saya yakin? Bagaimana dengan anak-anak dan keluarga di rumah? Apakah saya perlu menyewa kos atau tinggal di asrama perawat? Apakah saya perlu menyiapkan kamar khusus di rumah untuk saya tidur? Bagaimana jika saya tertular penyakit ini? 

Sejumlah pertanyaan menyeruak di kepala saat saya, sebagai perawat, ditugaskan di ruang isolasi Covid-19. Kekhawatiran serupa juga dialami teman-teman perawat lainnya yang mendapat tugas sama. Sempat ada yang ragu dan berniat mengundurkan diri. Namun, syukurlah, lebih banyak lagi di antara kami yang bertahan dan tetap bertugas di ruang isolasi. Kami saling memberikan dukungan dan semangat. Kami juga saling mengingatkan untuk tetap menjalankan protokol kesehatan di mana pun berada. 

Keep happy, keep safety, and keep healthy. Kalimat “sakti” ini selalu diulang-ulang dalam setiap briefing ataupun melalui grup WhatsApp. Kami wajib menjaga stamina dan daya tahan tubuh agar tidak mudah tertular. Dengan jiwa yang sehat dan bahagia, kami yakin tubuh akan sehat. Jika ada salah satu dari kami yang tampak cemas, kami akan saling mengingatkan untuk tetap rileks dan bahagia. No stress! 

Demi menjaga mood, saat bertugas, kami menyalakan musik yang dapat merelaksasi. Kami juga berolahraga, seperti senam aerobik atau yoga, sebelum beraktivitas. Tentu dengan tak lupa berdoa agar kami selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. 

Untuk menjaga stamina, pihak rumah sakit memberikan makanan dan snack tambahan untuk petugas di setiap shift. Tak lupa vitamin yang dipasok sesuai dengan kebutuhan. Kami juga memperoleh alat pelindung diri (APD) yang cukup sehingga tak khawatir terjangkit virus. Manajemen RS juga menyediakan sabun cuci tangan sesuai dengan standar kesehatan untuk melindungi kami. 

Dukungan fasilitas dan perhatian pihak manajemen RS soal keselamatan dan kenyamanan ini membuat banyak petugas tetap bertahan saat ditempatkan di ruang isolasi. Dalam pelaksanaannya, tetap ada sejumlah kendala yang kami hadapi saat bertugas. Kendala yang dihadapi tidak hanya saat merawat pasien, tapi juga ketika menghadapi keluarga. 

Dari pihak pasien, ada yang tidak bersedia dirawat, tidak betah dirawat, sampai ada yang ingin ditemani oleh keluarga. Perlu pendekatan khusus dari pihak perawat agar pasien dapat mengerti kondisinya. Jika pasien ingin ditemani keluarga, biasanya kami akan meminta keluarga untuk selalu menghubungi pasien melalui video call atau melalui CCTV dan interkom yang ada di rumah sakit. Untuk pasien yang tidak betah dirawat, perawat harus mampu mengkaji kebutuhan pasien. Apakah mereka tidak betah karena takut, bosan, atau mungkin ada yang diinginkan. Jika karena takut, biasanya kami memberikan pengertian bahwa perawat akan selalu memantau dari CCTV, sehingga pasien tidak merasa sendiri. Pasien juga dapat menekan bel jika membutuhkan kami. 

Kami juga menyampaikan bahwa perawat tidak bisa setiap saat menemani pasien karena harus menjaga jarak dan mengurangi paparan. Untuk masuk ke ruangan, kami harus memakai APD level 3, yang terdiri atas cover all set (hazmat lengkap, face shield lengkap, sampai penutup kaki). Jika pasien masih gelisah dan tetap ingin keluar dari ruangan, kami akan menyampaikan ke dokter untuk minta persetujuan konsul ke psikolog. Kondisi seperti itu biasanya muncul pada pasien yang jarang dikunjungi keluarga sehingga kurang mendapat dukungan moral. 

Untuk kendala yang berasal dari keluarga, perawat biasanya menghadapi kerabat yang masih menolak hasil bahwa keluarganya positif Covid-19. Mereka berdalih bahwa keluarganya hanya sakit infeksi paru biasa, bukan Covid-19. Ada juga yang tidak mematuhi waktu berkunjung dengan alasan ingin memberikan dukungan kepada keluarga di dalam dan tidak tega meninggalkannya sendiri. Padahal, perawat pun harus membatasi jarak dengan keluarga karena mereka juga termasuk orang tanpa gejala (OTG). Biasanya, setelah diberi pemahaman, ada yang setuju, ada pula yang tidak.

Kami harus menjadi pertahanan terakhir dan terbaik untuk pasienpasien tercinta. 

Vera Sulistyaningrum

Mereka diberi waktu untuk berkunjung dan dilarang masuk jika tidak menjalankan protokol kesehatan. Kami pun membersihkan permukaan setiap alat yang dipegang keluarga tersebut, seperti interkom ataupun telepon. Kendala yang paling berat adalah saat ada keluarga yang menolak keluarganya dimakamkan dengan protokol Covid-19. Anggota tim saya pernah sampai dimaki-maki oleh pihak keluarga karena dianggap tidak memiliki hati lantaran tidak mengizinkan mereka masuk kamar pasien yang sedang sekarat (dying). 

Sebenarnya, bukannya kami tidak mengizinkan masuk sama sekali, tapi yang boleh masuk hanya satu perwakilan keluarga dan yang lain melihat dari kamera CCTV. Pada proses pembungkusan jenazah pun sama. Ini kami lakukan sesuai dengan protokol yang berlaku di rumah sakit kami. Pernah juga ada keluarga yang menolak jenazah keluarganya dikebumikan di tempat pemakaman yang sudah ditentukan. Mereka bahkan sudah membawa ambulans untuk membawa jenazah keluarganya ke kampung halaman Namun, peraturan tetap peraturan. Pihak manajemen bahkan sampai memanggil pihak kepolisian agar kami yang sedang bertugas terlindungi. 

Pernah juga kami mendapat ancaman lantaran ada pasien sudah dimakamkan dengan protokol Covid-19 tapi ternyata hasil swab PCR-nya negatif. Perlu diketahui bahwa pasien yang masuk ruang isolasi di rumah sakit kami adalah mereka yang hasil pemeriksaan rapid test-nya reaktif dan tes swab PCR-nya positif. Terkadang, hasil rapid test pasien reaktif, tapi hasil PCR-nya negatif. Ini juga merupakan salah satu kendala di mana ada jeda waktu untuk mendapatkan hasil pemeriksaan.

Meski ada kendala, kami sebagai perawat tetap terus berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada pasien. Kami mendapat kesempatan bertugas di ruang isolasi selama satu bulan dan selalu berganti. Perputaran ini bertujuan agar kami tidak terus-terusan terpapar. Stamina kami pun diharapkan tetap terjaga. 

Selama tiga bulan saya bertugas di ruang isolasi (AprilJuni 2020), saya menghadapi empat kelompok petugas (perawat dan pramuhusada) yang memiliki perbedaan karakter dan cara bekerja. Termasuk cara mengatasi setiap kendala yang dihadapi. Ada yang menanggapi dengan tenang, ada juga yang terkadang terbawa suasana. Namun, karena kami bekerja dalam satu tim yang anggotanya beragam, kami berusaha menyelesaikan semua persoalan dengan baik. 

Kini, dengan jumlah orang yang terkonfirmasi positif terus bertambah, kami sebagai perawat harus berusaha menjaga diri agar tetap dan lebih sehat. Kami harus menjadi pertahanan terakhir dan terbaik untuk pasien-pasien tercinta. Sungguh suatu kebahagiaan bagi kami saat melihat pasien di ruang isolasi dapat pulang dalam keadaan sehat dan tersenyum. 

Jakarta, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top