Yang Tak Jujur di Tengah Pandemi

Dokter lulusan Universitas Brawijaya, Malang, tahun 2007. Mendalami bidang emergency medicine, manajemen kedokteran pada masa darurat, seperti bencana dan wabah. Saat ini bertugas di Rumah Sakit Muhammadiyah, Lamongan, Jawa Timur. 

Pukul 8, Ahad malam, saya sampai di rumah kos setelah seharian bekerja. Sebelum pintu rumah terbuka, sebelum menyentuh apa pun, semua perlengkapan saya semprot disinfektan. Tas, sepatu, dan telepon seluler tak boleh lewat kena semprot. Begitu pintu terbuka, saya langsung menuju kamar mandi. Semua baju saya rendam dan cuci saat itu juga. Mandi keramas tak boleh ketinggalan. Minimal satu jam semua baru selesai. 

Setelah bersih-bersih, barulah saya masuk ke kamar kos. Saya usahakan tidak keluar dari kamar. Enggak enak sama teman-teman kos yang lain. Mereka juga sedang menjaga jarak fisik. Makan, minum, semua saya lakukan di kamar, dengan standar kebersihan yang juga ketat. 

Pukul 10 malam, setelah badan bersih, barulah saya punya waktu membalas pesan-pesan via WhatsApp. Kalau sudah di kamar, jam segini baru bisa sedikit bernapas lega. 

Prosedur dekontaminasi dan kebersihan diri bagi tenaga medis dilakukan berlapis-lapis pada masa pandemi Covid-19 ini. Apalagi dokter dan perawat yang bertugas di ruang isolasi pasien. Mereka harus menjalani prosedur yang lebih panjang. Saban berangkat kerja, sebelum memulai aktivitas, para dokter dan perawat mesti mengenakan alat pelindung diri (APD) dari kaki sampai kepala. Ponsel juga dibungkus plastik steril. Kami terbiasa mengetik di ponsel yang dibungkus plastik. 

Setelah jam kerja usai, kami sekali lagi harus menjalani prosedur dekontaminasi. APD dikumpulkan di tempat pengolahan limbah. Mandi, keramas, dan semua baju harus diganti dengan pakaian bersih yang dibawa dari rumah. Baju kotor kemudian menjadi tugas tim laundry rumah sakit. Setelah rangkaian proses dekontaminasi selesai, barulah kami boleh pulang ke rumah. 

Begitu sampai di rumah pun, kami harus mandi keramas lagi sebelum bisa beraktivitas bersama keluarga. Kami bekerja keras agar jangan sampai menularkan virus ke orang lain, terutama keluarga di rumah. Sungguh sebuah perjuangan tersendiri. Itu sebabnya, saya tidak paham kenapa ada perawat yang diusir dari kos. Tak perlu ketularan dari kami karena kami menjalani prosedur dekontaminasi yang tidak mainmain. Ngenes, nelangsa rasanya mendengar ada yang mengusir perawat dari kos.

Sebagai Kepala Bidang Pelayanan Medis Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, Jawa Timur, saya tidak selalu bertemu pasien Covid-19 di ruang isolasi. Tugas saya memastikan semua lini berjalan lancar dan aman. Saban hari, saya memeriksa kondisi rumah sakit, dari ujung ke ujung, dari instalasi gawat darurat, poliklinik, ruang isolasi, sampai instalasi pengolahan limbah. Sekali-sekali saya ikut memeriksa pasien supaya tim dokter dan perawat tidak merasa sendirian. Mereka pahlawannya. Kami di bagian manajemen ini habis-habisan mendukung supaya semua bekerja penuh semangat. 

Di Lamongan, dalam tiga pekan terakhir April 2020, ada 18 ribu perantau yang kembali ke kampung. Sebagian dari mereka adalah penjual ayam goreng dan soto yang merantau ke berbagai kota besar. Sebagian lainnya merupakan pekerja migran di Malaysia atau Singapura. Belasan ribu orang yang datang ini berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Ada yang masuk karantina mandiri di berbagai desa dan banyak juga yang dirujuk ke rumah sakit untuk diperiksa. Ratusan orang, saban hari, datang ke RS Muhammadiyah Lamongan untuk diperiksa kesehatannya. 

Tak semua yang datang mau bersikap jujur. Ada yang lebih dulu berlama-lama menyemburkan angin dari kipas angin atau pendingin udara ke badannya. Ada yang mengkompres dahinya dengan es, semata-mata supaya suhu badannya tersamarkan dan dibolehkan masuk desa. Tidak sedikit yang menolak memberi tahu riwayat perjalanan dan kontak dengan siapa saja. Banyak juga yang marah-marah. Kami dibilang tidak punya nurani, tidak punya hati, bisanya cuma bikin susah orang lain. Macam-macam. Padahal, pada masa penyebaran virus corona ini, kejujuran tentang gejala sakit, riwayat kontak, dan riwayat perjalanan adalah hal mutlak. 

Setiap hari, 12 jam pelayanan dibuka di unit yang merespons Covid-19 di RS Muhammadiyah Lamongan. Ada 6-12 orang tenaga kesehatan, terdiri atas dokter, perawat, peracik obat, dan perekam medis, yang terbagi dalam dua shift. Pagi hari, pasien yang datang lebih banyak. Konsentrasi tenaga untuk pagi hari. 

Merasa deg-degan menghadapi Covid-19? Tentu saja. Setiap hari, setiap saat, banyak hal yang bikin khawatir. Terutama karena virus ini masih sangat dinamis. Kondisi pasien yang berubah, bisa dengan cepat memburuk, menjadi sumber kekhawatiran utama. 

Padahal, pada masa penyebaran virus corona ini, kejujuran tentang gejala sakit, riwayat kontak, dan riwayat perjalanan adalah hal mutlak. 

dr. Zuhdiyah Nihayati

Bagi saya, risiko terinfeksi virus corona bukan hal yang merisaukan. Manajemen RS Muhammadiyah Lamongan sudah punya prosedur ketat, termasuk bagaimana menyediakan APD bagi semua tenaga kesehatan. Prosedur dekontaminasi di setiap lini pun dijalankan, sehingga kekhawatiran terinfeksi bisa diminimalkan. Yang bikin degdegan adalah kalau kami menerima pasien yang kondisinya berat. Juga kalau pasien dan keluarganya tetap tidak mau jujur ketika digali keterangannya. Itu benar-benar bikin pusing. 

Namun kami tetap mesti mengurus mereka. Bahkan, ketika sudah di rumah, kami mesti siaga. Saya biasa tidak tidur hingga tengah malam. Saya terus memantau situasi rumah sakit dari rumah. Seperti juga malam ini, saya menunggu telepon dari rumah sakit, menanti kabar perkembangan seorang pasien yang sedang dalam kondisi kritis. 

Seperti kaset rusak yang terus berulang memutar musik yang sama, saya ingin berbagi pesan kepada semua pihak. Jaga kesehatan diri dan keluarga. Juga, jangan tak jujur kepada kami, tenaga medis. Jagalah kami agar kami bisa melaksanakan tugas menjaga kita semua. 

Lamongan, Mei 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top