Dahlia Rera Oktasiani, 30 tahun. “Ratu Komunitas”, itu julukannya. Dia jadi anggota belasan komunitas, mulai dari literasi, traveling, lari, vegetarian, penggemar virtual reality, sampai komunitas penggemar ular.
Pernah suatu kali Dahlia diundang mengenalkan ular pada kelompok Wanadri. “Orang-orangnya sangar. Eh, yang ngajarin saya, perempuan, badan kecil gak meyakinkan. Mereka nggak percaya hahaha.” Berkomunitas, bagi Dahlia, adalah kompensasi bagi pendidikannya. “Lulus SMA, saya nggak mau kuliah.” Dia memilih menimba ilmu dari berbagai komunitas.
Ketekunannya berbuah. Pada 2012, Komunitas Initiative of Change menominasikan Dahlia mendapat beasiswa setahun kuliah di Arizona, AS. Di Arizona pun Dahlia aktif berkomunitas. “Sampai dapat award.” Bergabung dg @tempo.institute (TI), tiga tahun lalu, membuatnya melepas gelar Ratu Komunitas.
Gadis ceria ini bertugas merangkul berbagai komunitas menjadi Sahabat TI. “Berkomunitas itu latihan toleransi,” kata Dahlia. “Kita bisa gontok-gontokan beda pendapat, tapi tetep jalan untuk tujuan bersama.” Hal yang paling berkesan? “Masa kecil.” Dulu, tetangga kiri-kanan Dahlia adalah keluarga Kristen. Saling berkirim makanan adalah hal biasa. Tak ada curiga. “Mama pernah nyubit aku, waktu aku tanya apakah yang dikirim itu daging babi. Kata Mama, tetangga kita sudah tahu kita muslim.” Kini, permukiman Dahlia di Bekasi sudah berubah. Pergaulan terbatas pada sesama muslim. “Itu pun harus pilih-pilih, misalnya kubu 01 atau 02 saja.” –
Hal yang bikin bangga? “Saya bisa jadi sahabat buat kembaran saya, Kahlia, yang schizophrenic.” Dengan kondisi turun-naik yg tidak mudah, cinta Khalia tetap tulus. “Kami saling terkoneksi. Saling bantu apa pun keadaannya. Itu bikin saya bangga. Dia juga pernah bilang, bangga sama aku,” katanya sambil menyeka air mata. “Beneran, I am proud of her.” #ceritaperempuan
#PuanIndonesia
#WomenStory
#LifeStory