Suksma Ratri

Duka, Sakit, dan Sepi itu Teman Abadi ⠀

Tak mudah mencari sosok setegar Suksma Ratri. Perjalanan hidupnya penuh kelokan tajam. Tapi, dia hadapi dengan senyum lebar. “Juga salsa tiap minggu, nek!” 

Ingatannya melayang pada Mei 2006. Mantan suami Ratri sedang sakit parah. Satu setengah tahun sebelumnya, mereka bercerai lantaran si mantan suami melakukan KDRT. “Nah, saat sakit itu, dia nelpon dan minta aku tes HIV.”

Deg!

Setelah dites, Ratri terbukti positif HIV. “Gua udah tahu, sih, bakal begini. Mantan aku tuh pake narkoba, jarum reramean.” Hanya satu yg disesalkan Ratri, “Dia bilang udah tes HIV sebelum kami menikah. Yg aku nggak tahu, mestinya tes itu harus diulang tiga bulan kemudian. Buat memastikan hasil tes itu beneran negatif atau cuma semu.”

Beruntung, hasil tes darah Srikandi, anak satu-satunya yg ketika itu masih 2,5 tahun, negatif. “Itu yang terpenting. Kalau saya, mah, bisa terus berjuang hidup.” Sampai kini, Srikandi sudah kelas 1 SMA dan tumbuh menjadi gadis remaja yang penuh empati. “Dia bangga pada bundanya.” ⠀

Ratri memang sosok pejuang. Ketika pertama kali menerima kabar positif HIV, dia sama sekali tidak panik. “Mungkin karena akunya tenang, Mama dan keluarga besar juga tenang. Bisa menerima apa yg terjadi.” 

Perjalanan mencari terapi medis lumayan berkelok tajam. Ketika itu, obat ARV (antiretroviral) untuk menekan jumlah virus HIV di dalam tubuh sangat susah didapat. Orang dengan HIV harus berjuang menjaga diri tanpa disertai obat. ”Aku cuma mengandalkan buah merah, herba ini-itu, buat jaga stamina.” 

Ratri kemudian menjadi konselor HIV/AIDS. Dia jadi tempat curhat sana-sini, membantu mencari solusi bagi teman yg terkena diskriminasi lantaran positif HIV. Tak jarang juga dia merescue teman yg sakit parah dan tak berani terbuka tentang kondisinya pada keluarga.

Perjalanan mencari terapi berjalan terus. Karena keterbatasan obat ARV, baru pada 2012, enam tahun setelah Ratri diagnosa positif HIV, Ratri bisa mengakses obat ARV. Itu pun dengan kombinasi pil yg terbatas. “Obatnya bikin aku alergi. Aku jadi anemia, keliyengan berat, dan ruam-ruam hebat di sekujur badan.”

Dokter yg menangani Ratri keukeuh tak mau mengubah kombinasi pil. “Perlu eyel-eyelan hebat sampai akhirnya dokter mengubah kombinasi pil.” Tapi, celaka, koktail ARV yang baru ini pun memiliki efek samping dahsyat, “Depresi, anxiety, suicidal, vivid dream, you name it. Semua efek gua alami.”

Pada masa-masa berat ini, Ratri melukai diri sendiri. Dia menyilet pergelangan tangannya. Tubuhnya kuyu. Layu. “Sempat menyangkal gitu. Aku nggak terima juga dibilang depresi, wong sehari-hari aku dikenal sebagai sosok ceria.” 

Sampai akhirnya, teman-teman dekatnya mengintervensi. “Aku dikawal betul. Nggak boleh ada benda tajam di rumah. Kalau mau buka bungkus makanan, harus panggil temen gue.” Untuk sementara, obat ARV distop. Detoks. Sistem tubuh harus dibersihkan dulu. 

Jalan hidup tak bisa diduga. Ratri berkenalan dengan pria Inggris, Chris Pearman, yang kemudian menjadi suaminya. Pada 2016, mereka pergi ke London. Nah, di negeri inilah Ratri menjalani tes menyeluruh. Berbeda dengan yang dihadapi Ratri di Indonesia, dokter di London itu begitu sabar dan telaten menjelaskan segala jenis pil dan efeknya bagi tubuh. “Gratis pula. Karena saya kan bayar pajak, melalui visa. Jadi saya diperlakukan seperti warga negara Inggris.” 

Berkat bantuan dokter London itu, Ratri  menemukan formula yang pas. “Badan rasanya enak. Nggak ada efek sama sekali.” 

Ratri sangat disiplin menjaga kesehatan, termasuk disiplin minum obat ARV. “Cuma sekali telat minum obat, itu pun gara-gara diculik enak sama temen-temen. Nggak nyangka main sampe malam.” Buat ODHA, menurut Ratri, tantangan paling sulit adalah menjaga disiplin minum obat ini. “Kalo soal menghadapi diskriminasi dan stigma, teman-teman udah pada jago. Tapi, menghadapi disiplin diri sendiri, minum ARV nggak boleh telat, nah…itu tantangan paling sulit.”

Sampai kini, Ratri masih jadi konselor. Ada sepuluh ODHA yang dia dampingi. Ratri juga tak segan berbagi kiat menjaga kesehatan, kiat disiplin minum obat, di media sosial. “Banyak yg terus japri, curhat.”

Bagaimana dengan depresi? Sudahkah berlalu?

Bagi Ratri, duka, kesedihan, dan kesepian adalah teman abadi. “Kita tak pernah bisa menghilangkan tiga hal dalam hidup: misery, loneliness and pain (MLP).” Sebagai pengingat, juga penguat jiwa, Ratri menato huruf MLP itu di pergelangan tangan kanannya, tepat di lokasi dulu dia sering menorehkan silet sampai nadinya berdarah.

Tato itu bergambar infinity dengan tulisan MLP, yang berarti duka, kesepian, kesakitan adalah teman kita yang abadi. Kapan pun MLP akan siap muncul. “Kalau saya sedih, saya pandangi tato infinity MLP ini, langsung saya seperti mendapat energi kembali.”

Ratri sadar, menjadi konselor berarti siap menjadi “tempat sampah” bagi beragam persoalan orang lain. Jadi, penting baginya untuk merawat hati dan kewarasan. Caranya, sesekali dia menjadi model fashion Sri Kendes, untuk membantu sesama aktivis melawan diskriminasi LGBT.

Ratri juga rajin menari salsa tiap akhir pekan. “Tiga-empat jam menari salsa itu bikin kita happy. Nggak mikir persoalan apa pun. Life is good.” Mimpi yang belum tercapai?

Ada dua hal. Pertama, Ratri ingin bikin acara televisi yang ngejelasin a sampai z apa itu HIV/AIDS. Supaya masyarakat lebih kenal dan paham, tidak menganggap HIV serem dan mendiskriminasi orangnya. “Mimpi kedua, saya ingin ada rumah singgah tempat orang-orang ODHA, korban KDRT, atau siapa pun yang membutuhkan, punya tempat berlindung.”

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top