Kitong Pu Tanda Heran ala Corona

Alumnus S-1 dan S-2 di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Hana kini peneliti full time di Balai Litbang Kesehatan Papua, Kementerian Kesehatan RI. Bidang penelitiannya adalah mikrobiologi molekuler penyakit infeksi dan penyakit terabaikan, terutama kusta. Pada masa pandemi ini, Hana adalah bagian dari tim yang bertanggung jawab terhadap pemeriksaan Covid-19 di Papua dan Papua Barat.

“Mak, ko naik ke lantai dua!” begitu teriak Mohammad Fajri Rochman, rekan kerja saya di Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua, di Jayapura. Wajah Fajri pucat. “Sekarang! Ayo, cepat, Mak. Macam ada yang positif ini.” 

Hari sudah petang. Pukul 08.00 waktu Indonesia timur. Tergopoh-gopoh saya mengikuti Fajri naik ke lantai dua, menuju ruangan Laboratorium Biomolekular, tempat mesin polymerase chain reaction (PCR, untuk tes virus) berada. Rekan kerja saya, Tri Nury Kridaningsih, Semuel Sandy, dan Tri Wahyuni, tampak berada di dalam ruangan mengerumuni layar mesin PCR. Terasa ketegangan memenuhi udara. 

Segera saya kenakan pakaian khusus, alat pelindung diri (APD), sesuai dengan standar. Lalu, saya masuk ke ruangan menyibak kerumunan teman kerja yang berbalut jas laboratorium, masker, dan pelindung rambut itu. Layar komputer benderang, menampilkan hasil tes. Ada satu dari empat sampel yang diperiksa menunjukkan hasil positif. Wajah teman-teman menyiratkan berbagai emosi, campuran rasa cemas, waspada, dan siap menghadapi hari-hari yang berat. Kami paham, satu sampel positif ini sama sekali bukan kasus tunggal. 

Hari itu, 22 Maret 2020, hari yang tak akan terlupakan. Itulah hari kedua kami resmi membuka layanan sebagai Laboratorium Pemeriksa Covid-19 di Papua. Hari itu pula pertama kali kami mendeteksi kasus positif virus corona. Pandemi resmi singgah di Tanah Papua. 

Kemunculan kasus positif di Papua ini sudah keniscayaan. Papua, dengan jalur penerbangan yang sibuk, tentulah menjadi bagian dari rantai penularan pandemi. Tempat kami bekerja, Litbangkes Papua di Jayapura, menjadi satu dari 12 laboratorium rujukan yang menangani Covid-19 di Papua dan Papua Barat. Hotma Hutapea, rekan saya, diminta membentuk tim pemeriksa sampel di Litbangkes Papua. Perjalanan yang bergelombang, sudah kami perkirakan. 

“Mak,” begitu saya dipanggil oleh kolega saya yang usianya lebih muda. Nama saya Hana Krismawati, asli Solo, Jawa Tengah. Setelah tamat kuliah magister Biologi di UGM, pada 2012, saya merantau ke Papua, bekerja di Litbangkes Papua, lalu berkeluarga dengan laki-laki Papua. Sebenarnya saya adalah peneliti penyakit kusta. Namun, sejak berita pandemi Covid-19 mengintip Indonesia, pikiran dan tenaga saya pun tersita untuk penyakit baru ini. 

Malam itu, segera kami membuat laporan. Kasus pertama Covid-19 telah dideteksi di Papua dan harus dilaporkan ke Gugus Tugas Covid-19, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional. Malam itu juga, kami rapat dan atasan menugaskan saya berangkat ke Jakarta untuk mengambil keperluan logistik laboratorium. “Berarti besok ko tra boleh gagal berangkat ke Jakarta. Tra boleh gagal pulang ke Jayapura. Ambil logistik sebanyak mungkin dan sesegera mungkin kembali ke Papua. Bandara akan ditutup tanggal 24 Maret,” kata Antonius Oktavian, Kepala Litbangkes Papua. Berdebar, cemas, sekaligus bersemangat saya menerima instruksi atasan saya itu. Misi mengambil logistik ke Jakarta tak boleh gagal. 

Berdebar, cemas, sekaligus bersemangat saya menerima instruksi atasan saya itu. Misi mengambil logistik ke Jakarta tak boleh gagal.

Hana Krismawati

Secara keseluruhan, perasaan kami semua campur aduk ketika itu. Di satu sisi, kami senang karena prosedur laboratorium sudah berhasil mendeteksi Covid-19. Namun, di sisi lain, kami juga tegang karena virus sudah masuk, sementara logistik kami sangat terbatas. Reagen PCR hanya cukup buat menguji 50 sampel. Modal alat pelindung diri yang ada pada kami hanya selusin masker N95 dan 10 potong pakaian hazmat—yang hanya cukup untuk pemakaian enam hari. Keterbatasan APD ini membuat kami hanya bisa melibatkan sedikit tenaga kerja. 

Artinya, setiap peneliti yang terlibat dalam pengujian Covid-19, harus siap bertugas dari pagi hingga malam. Tak boleh ada hazmat yang bocor. Tak boleh ada kelalaian hingga membuat peralatan terbuang sia-sia. Setiap lembar pakaian hazmat begitu berharga. Kebelet pipis, misalnya, harus ditahan sampai minimal delapan jam supaya tidak harus mengganti hazmat

Malam itu, 22 Maret, saya juga bekerja lembur sampai jauh malam, mempersiapkan keberangkatan ke Jakarta. Surat pengantar antar-instansi, dokumen, daftar kebutuhan, semua harus siap dan rapi jali. Tak boleh ada yang ketinggalan. 

Pagi hari, 23 Maret 2020, saya berangkat ke Jakarta. Saya menyandang tas ransel berisi segala kebutuhan. Baju ganti dan alat mandi, botol alkohol 70 persen, cadangan masker, tisu basah, tumbler air, hingga bekal nasi goreng. Di dalam pesawat, sambil terus berdoa, saya perlahan menyantap nasi goreng. Pukul 12.32 waktu Jakarta, saya tiba di Jakarta. Bandara Soekarno-Hatta, yang biasanya ingar bingar, siang itu tampak lengang. Nglangut. Saya jadi agak sentimental menyaksikan Jakarta yang tidak seperti biasanya. 

Segera saya menuju Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan, di Jalan Percetakan Negara. Waktu tersedia tak sampai tiga jam, termasuk perjalanan dari bandar menuju lokasi. Ada dua titik yang harus saya datangi, mengambil aneka rupa pesanan, dari masker, APD, hingga reagen. “Fokus. Fokus. Fokus, Hana. Jangan ada yang terlewat,” begitu kata saya dalam hati. Empat daftar pesanan sudah didapat lengkap untuk Papua. 

Pukul 3 sore. Saya bergegas menuju bandara. Melalui bantuan seorang teman, saya dipertemukan dengan salah satu donatur APD bernama Nissa, salah satu pengusaha di bidang alat kesehatan. Kami janji bertemu di bandara. Ini pertemuan pertama kami. 

Semesta bermurah hati. Satu koli APD berisi 100 pakaian hazmat, 10 kotak masker, dan 2 kotak N95 dibawanya, semua untuk Papua. Rasanya ingin memeluk erat dia, cipika-cipiki atas bantuan luar biasa berharga ini. Tapi, tentu tak bisa. Saya hanya bisa berterima kasih tak terhingga. Solidaritas yang mengharukan dan menghangatkan hati.

Sore itu juga, saya bersiap kembali ke Papua. Pesawat berangkat pukul 10 malam. Saya tiba di Jayapura pada pukul 7 pagi, 24 Maret 2020. Saya mendarat di Jayapura dengan lima boks karton berisi kebutuhan APD untuk dua minggu, reagen untuk tes 500 sampel, dan berbagai kebutuhan lain. Perjalanan kilat dengan protokol ketat selesai. Saya bersorak, yaaayyy! Mission accomplished. 

Malam hari, 24 Maret 2020, Gubernur Papua Lukas Enembe mengumumkan Papua menerbitkan surat edaran. Bandara ditutup. Puji Tuhan. 

Pekan-pekan berikutnya adalah hari-hari yang tidak pernah saya bayangkan dalam hidup saya, baik sebagai peneliti maupun sebagai manusia. Sampel yang harus diuji berdatangan dari berbagai kabupaten di Papua dan Papua Barat. Saban hari datang puluhan hingga ratusan sampel. Ritme kerja semakin gila. Bekerja dari pagi hingga malam dalam balutan pakaian hazmat tanpa makan, minum, bahkan tanpa ke toilet menjadi menu sehari-hari. Kasus-kasus positif baru terdeteksi sebagai konsekuensi contact tracing yang makin gencar, membuat semakin banyak sampel yang harus kami uji. 

Selain ritme kerja yang menggila, kami dihajar dengan krisis logistik yang datang berulang setiap dua atau tiga minggu. Pontang-panting kami menelepon berbagai pihak. Kami mengerahkan semua relasi yang kami tahu. Kendalanya sama, pengiriman menuju Papua. Penerbangan reguler tidak bisa masuk ke Papua, demikian juga kargo yang terbatas. Kami bahkan hampir mengeluarkan pengumuman untuk menutup laboratorium karena logistik habis sama sekali. 

Krisis logistik pada saat seperti ini bagaikan kehabisan amunisi di tengah medan perang, sementara musuh menyerang dari berbagai penjuru. Rumah sakit dan dinas kesehatan dari semua kabupaten di Papua sangat mengharapkan hasil pemeriksaan kami, satu-satunya laboratorium yang ada di Papua saat itu. Saya ingat kata-kata seorang dokter yang mengirim sampel kepada kepala saya, “Sio, kalau Litbangkes Papua habis bahan baru, bagaimana kitong pu pasien ini?” Benar-benar saya mau menangis saat itu. Logistik, oh, logistik.

Ada sebuah pernyataan seorang pendeta yang sangat terkenal di Tanah Papua. “Barang siapa yang bekerja di Tanah ini dengan setia, jujur, dan dengar-dengaran (mau mendengar tuntunan Tuhan), ia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain,” begitulah ucapan Pendeta Kijne, yang bertugas pada 1947. Tanda heran maknanya adalah keajaiban. Jadi, kira-kira, pernyataan itu berarti siapa yang bekerja sungguh-sungguh di Tanah Papua, dia akan menemui keajaiban demi keajaiban. 

Dan, terjadilah keajaiban demi keajaiban untuk kami. Saat pertama kali pandemi datang, saya harus merelakan dana penelitian kusta hampir Rp 1,2 miliar, yang sudah saya tunggu lama. Alokasi dana dipindahkan seluruhnya untuk dana pemeriksaan Covid-19. Tidak mengapa, untuk Papua, saya mau melakukan apa saja. Hal yang sama dilakukan teman-teman peneliti lain, yang merelakan alokasi riset dialihkan semuanya untuk penanganan Covid-19. 

Tanda heran lain datang susul-menyusul. Melalui tangantangan yang rela berbagi APD meskipun pengirimannya susah. Melalui para pemangku birokrasi yang memberi kami fasilitasi untuk reagen. Melalui masyarakat Papua, entah orang asli atau pendatang, yang berinisiatif mengirimi papeda kuah ikan dan nasi bungkus. Melalui keluarga yang rela kami tinggal sampai larut malam. 

Sampai tulisan ini diturunkan, akhir Desember 2020, sudah 57 ribu sampel kami periksa dari berbagai kabupaten di Papua. Setiap hari kami menguji 250-500 sampel dari berbagai daerah di Papua. Kapasitas SDM kami tambah. Stok logistik terus diupayakan dikirim tepat waktu oleh Gugus Covid-19 Nasional. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, juga para donatur dari berbagai pihak terus mengirimkan APD kepada kami.

Saya tidak tahu kapan peperangan ini akan berakhir. Apakah kehidupan kita sebagai manusia akan kembali seperti dulu lagi? Sebagai generasi yang terpilih untuk menanggung pandemi ini, saya banyak belajar dan belajar bahwa krisis yang dihadapi dengan tabah dan tidak menyerah akan membawa kita pada banyak kejutan. 

Keajaiban datang bersama virus corona. Kitong pu tanda heran ala corona

Jayapura, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top