Orang tua tunggal, membesarkan tiga anak sendirian di rumahnya, di pinggir rel kereta di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Rastaria Tarigan berjualan kue dan melayani berbagai pesanan makanan. Dua anaknya sudah bekerja, seorang menjadi perawat dan seorang menjadi sopir ojol; dan seorang anaknya berjuang menyandang talasemia.
Hari itu, akhir April 2020, saya bisa tersenyum. Anak saya, Bertranio, sudah dapat darah. Kulit Bertran sudah cerah meskipun hitam. Saya pun memeluk erat si bungsu yang telah berusia 18 tahun itu. Kami berdua tertawa. “Enggak apa apa ya, Bang. Kan, hitam manis,” saya menyemangati Bertran. Kulit hitam cerah adalah pertanda ia sudah mendapatkan pasokan hemoglobin darah.
Bertran menyandang kelainan genetik talasemia, kelainan genetik yang membuat tubuh tak bisa memproduksi hemoglobin—yang mengikat oksigen dan zat besi—dalam keping darah. Sekali dalam tiga pekan, ia harus menjalani transfusi darah di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta. Dua kantong darah tiap kali transfusi. Kalau telat, badan Bertran lemas tak bertenaga. Sakit sekujur badannya.
Situasi pandemi Covid-19, yang membuat banyak orang tinggal di rumah, membuat pencarian darah donor menjadi tantangan tersendiri. Palang Merah Indonesia (PMI) dan Unit Transfusi Darah (UTD) RS Fatmawati juga “kekeringan” stok darah. Saya mengetuk hati kenalan dan sanak saudara. Saat berbelanja di warung pun, saya pasti bertanya ke orang-orang, apa ada yang bisa mendonorkan darahnya buat anak saya. Tak dinyana, ada pengunjung warung yang bersedia. Padahal saya kagak kenal sama ibu itu. Masya Allah, senangnya.
Esoknya, saya dan Bertran berangkat ke UTD Fatmawati. Sayang seribu sayang, darah si ibu tak memenuhi syarat. Deg. Hati pun mencelos. Sedih. Tapi saya yakin pasti ada jalan. Benar. Saat duduk termangu, seorang lelaki memasuki ruangan UTD, hendak mendonorkan darahnya. “Golongan O, Pak? Buat anak saya, ya, Pak. Boleh?” Saya langsung memberondongnya. Hati saya pun berbunga saat lelaki itu mengangguk. Saking senangnya, saya sampai jatuh waktu jalan mengurus berkas ke ruangan lain. Sampai enggak lihat jalan.
Bertran didiagnosis menderita talasemia saat berusia 11 tahun. Tentu kaget saat kami diberi tahu dokter. Tak ada riwayat keluarga dengan sakit seperti ini. Mantan suami saya memang masih terbilang keluarga dekat. Kata dokter, kemungkinan hubungan keluarga ini yang memunculkan kelainan genetik.
Tak hanya talasemia. Bertran juga menyandang anemia aplastik, kombinasi yang kompleks, yang membuat tubuhnya tak sanggup memproduksi trombosit—sel pembeku darah. Sedikit saja terjadi perdarahan, maka darah akan terus mengalir. Saat kelas II sekolah menengah pertama, ia mengalami perdarahan hebat. Aktivitas yang melelahkan dan makanan yang mengandung terlalu banyak zat kimia berisiko memicu perdarahan yang tak kunjung henti. Bertran pun kerap menjadi sasaran olok-olok teman sekolah, yang bikin hati makin nelangsa.
Situasi pandemi Covid-19, yang membuat banyak orang tinggal di rumah, membuat pencarian darah donor menjadi tantangan tersendiri.
Rastaria Tarigan
Dengan berat hati, saya memutuskan agar Bertran berhenti sekolah. Di rumah di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, ia bisa lebih menjaga aktivitas, makan, dan kebersihan. Saya juga berhenti dari pekerjaan sebagai staf administrasi di koperasi. Saya memilih melayani pesanan makanan dan menjual kue. Mantan suami, yang meninggalkan kami sejak Bertran kecil, tak pernah memberi bantuan nafkah.
Saya sendirian menghidupi keluarga. Anak pertama kini menjadi tenaga administrasi di rumah sakit, yang kedua perawat, yang ketiga nge-Grab, dan yang keempat Bertran. BPJS, juga bantuan Yayasan Thalassemia, banyak membantu biaya pengobatan Bertran.
Menjaga kesehatan dan kebersihan adalah menu seharihari keluarga kami. Jadi, bukan hanya saat wabah Covid-19 ini. Kakak-kakak Bertran juga harus menjaga jangan sampai Bertran terkena flu. Mencuci tangan dan menjaga jarak kalau sedang tak enak badan, itu sudah biasa. Seprai dan baju, semua dicuci setiap hari. Temulawak, kunyit, dan air perasan daun pepaya adalah suplemen penambah stamina yang diminum setiap hari.
Apalagi pada masa sehabis transfusi. Biasanya ada perubahan sifat yang terjadi selama seminggu setelah transfusi. Pernah Bertran jadi uring-uringan. Pernah juga jadi superramah. Kali lain dia jadi suka musik yang belum pernah didengar. Pernah pula dia mendadak alergi dan gatal. Apakah itu bawaan sifat pendonor darah? Kami mana tahu. Yang penting anak saya sehat.
Bertran mengisi hari-harinya dengan saya, mengantar pesanan kue ke toko di sekitar rumah. Meski begitu, ia tetap punya banyak teman. Melalui telepon seluler, dia mengobrol dengan sesama kawan penyandang talasemia di berbagai daerah. Dulu banyak, tapi sekarang tinggal sedikit. Kata Bertran: “Udah pada lewat.” Ada satu kawannya, sesama penderita talasemia, yang sudah berusia hampir 20 tahun dan kini sudah bekerja. “Dia itu teman yang jadi penyemangat.”
Jakarta, Mei 2020