Kanker dan Pandemi

Mantan jurnalis Media Indonesia, Astaga.com, dan Sinar Harapan yang kini menjadi Pemimpin Redaksi Jaring.id dan Wakil Direktur Program Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Ia menulis sejumlah buku nonfiksi, di antaranya Kembang-kembang Genjer (2006), Berpolitik tanpa Partai (2011), Tentang Sedih di Victoria Park (2013), dan Mimpi Jadi Caleg (2013). 

Awal April 2020, saat kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 1.677 dan pemerintah DKI Jakarta tengah mempertimbangkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, saya berada di ruang praktik dokter radioterapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo—tengah bernegosiasi dengan dokter yang meminta saya melakukan radiasi, tindak lanjut terapi kanker yang sudah saya jalani selama ini. 

Sel kanker berkarakter agresif yang bersarang di tubuh saya harus segera diserang dengan sinar-X jika tak ingin bermetastasis. Mastektomi payudara kiri yang dilakukan pada Juni 2019 dan enam kali kemoterapi yang saya jalani dalam rentang enam bulan dianggap belum cukup. 

“Tidak ada jaminan bahwa sel kanker tersebut tak muncul lagi setelah radiasi diberikan. Peluangnya 50 : 50,” ujar dokter yang usianya saya taksir lima tahun lebih muda dari saya. 

Saya bimbang. Apalagi dokter tak menampik ada kemungkinan bahwa terapi radiasi bisa memunculkan kanker baru atau penyakit lain di masa depan. “Tapi, sejauh ini semua efek bisa dikontrol,” katanya buru-buru saat melihat raut wajah saya berubah. 

Sebenarnya saya tak terlalu kaget dengan keterangannya karena sejumlah referensi kanker yang saya baca menyebutkan efek samping terapi kanker, dari yang ringan sampai yang merenggut nyawa. Tidak mengada-ada bahwa ada pasien kanker yang meninggal bukan karena kankernya, melainkan karena penyakit lain yang muncul akibat dampak terapi yang ia jalani. 

Awalnya saya tergerak untuk tak melanjutkan terapi. Namun, sejumlah cerita yang saya dengar dari para pasien kanker di ruang tunggu tentang kemunculan kembali sel kanker mereka gara-gara tak melanjutkan terapi radiasi membuat saya bimbang. Belum lagi referensi tentang kanker yang saya baca menyebutkan bahwa tak ada “peluru ajaib” untuk penyakit kanker. Kanker bukan satu penyakit, melainkan banyak penyakit. Jadi, terapi yang dibutuhkan oleh tiap pasien kanker bisa berbeda. Ada yang cukup dengan pembedahan dan kemoterapi, ada yang perlu kombinasi: bedah, kemoterapi, radiasi, dan terapi target. Jenis obat kemoterapi pun berbeda-beda.

“Oke, saya lakukan,” kata saya kepada dokter. Saya berpikir bahwa pola makan, olahraga, dan meditasi yang saya jalani rutin sejak setahun lalu bisa mengantisipasi efek terapi yang tak diinginkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Setidaknya aktivitas tersebut berhasil “menyelamatkan” saya dari dampak jangka pendek tak mengenakkan dari pembedahan maupun kemoterapi. Selain kerontokan rambut yang saya alami seusai kemoterapi kedua, juga mual ringan dan muntah dua kali setelah kemo ketiga, saya tak mengalami dampak yang diceritakan maupun dialami pasien lain, seperti diare, sariawan, kulit hitam hingga mengelupas, atau sakit pada kuku-kuku jari. Saya masih bisa pergi ke kantor setiap hari dan mengajar di kampus dua kali seminggu selama menjalani kemoterapi. Satusatunya hal buruk yang saya alami adalah pingsan di KRL seusai kemoterapi ketiga—saat hendak pergi ke kantor—gara-gara saya tak mengkonsumsi buah dan air putih yang cukup pada pagi hari, telat tidur pada malam hari, dan berdiri terlalu lama di KRL. 

Tapi, saya yakin bahwa hal-hal tersebut bisa saya antisipasi dengan lebih baik saat ini, terlebih efek radiasi—yang diceritakan oleh para pasien dan referensi yang saya baca—tak seburuk kemoterapi. 

Sebelum menandatangani surat persetujuan pengambilan tindakan, mendadak saya mengingat pandemi corona yang telah merenggut 157 jiwa di Indonesia per 1 April 2020. 

“Harus minggu depan, ya, mulainya? Bukannya nunggu pandemi reda dulu?” kata saya membujuk dokter. 

“Iya, lebih cepat, lebih baik. Kita juga tidak tahu kapan pandemi akan berakhir. Bisa-bisa ke depan lebih parah.” 

“Oke. Baiklah.” 

Maka, saya menandatangani surat persetujuan tersebut dan menjadwalkan pembuatan simulator untuk memastikan sinar-X mengarah pada target yang tepat. Segera setelah simulator jadi, saya harus menjalani 26 kali radiasi yang akan dijadwalkan setiap hari, kecuali hari libur. Itu artinya saya harus bolak-balik dari Depok—tempat tinggal saya—ke RSCM, yang berlokasi di Jakarta Pusat, pada Senin-Jumat, lebih-kurang selama empat pekan.

Menyiasati Corona 

Tanggal 14 April 2020, empat hari setelah Jakarta menerapkan PSBB, saya mulai menjalani rutinitas terapi radiasi. Awalnya, saya berniat menggunakan transportasi KRL dari rumah ke RSCM—lebih praktis dan menghemat waktu. Namun, suami mengkhawatirkan potensi penularan Covid-19 di kereta. Akhirnya, saya menyerah untuk diantar dengan mobil ke RSCM setiap hari. PSBB membuat jalanan Depok-Jakarta lengang di jam-jam yang biasanya sibuk—hal yang saya syukuri di tengah rasa waswas penularan Covid-19 karena tiap hari harus pergi ke rumah sakit. 

Sebagai pasien BPJS, radiasi untuk saya bukan sekadar soal berbaring di ruang berudara dingin selama 20 menit dengan bertelanjang dada dan tanpa selimut, tapi juga berada dalam kerumunan antrean pasien yang menunggu panggilan. Seorang kawan mengusulkan agar saya mengenakan kacamata goggles guna menghindari penularan corona. Namun, saya menolak. Saya merasa baik-baik saja dengan masker medis penutup hidung dan mulut, kacamata plus-minus, hand sanitizer, serta tisu basah dan kering yang selalu tersedia di dalam tas. 

Di ruang tunggu radioterapi, saya hanya melihat sedikit pasien dan perawat yang menggunakan masker dan face shield, serta satu pasien yang menutup seluruh tubuhnya dengan jas hujan. Jumlah pengguna face shield ini bertambah seiring dengan waktu dan peningkatan jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia. 

Saat memasuki ruang radiasi untuk mendapat sinar pertama, saya membayangkan adegan di poster-poster terapi radiasi untuk pasien kanker payudara yang selama ini saya lihat di rumah sakit maupun internet: perempuan berbaring di velbed dengan baju rumah sakit, tangan di samping kiri dan kanan tubuh, selimut hangat menutup dari kaki hingga pinggang, dan sinar merah radiasi menargetkan sel kanker. Dugaan saya meleset. Begitu masuk ruang radiasi, saya langsung diminta bertelanjang dada dan tidur di atas velbed yang sudah diberi alas tisu. Tak ada baju pasien. Tak ada selimut. Perawat jaga mengatakan, sejak Covid-19 merebak, rumah sakit tak mau mengambil risiko penularan. Baju pasien dan selimut selama ini dipakai bergantian oleh pasien. Jika rumah sakit tetap harus menyediakan baju pasien dan selimut untuk pasien radiasi selama masa pandemi, itu artinya mereka harus menyediakan stok cukup banyak. Rumah sakit tak mau repot. Mereka memilih untuk meniadakan stok tersebut dan cukup mengantisipasi penularan dengan memasang tisu di velbed yang akan digunakan oleh pasien. Saya tidak tahu apakah hal sama terjadi untuk pasien non-BPJS.

Maka, pada hari pertama radiasi—yang biasanya membutuhkan waktu lebih lama dari hari-hari selanjutnya, selama setengah jam saya berbaring dengan tubuh menggigil dan tangan yang nyaris kaku karena harus diangkat di atas kepala dan tak boleh diturunkan hingga seluruh proses penyinaran selesai. Jaket yang saya bawa juga tak berguna karena tak boleh digunakan untuk menyelimuti tubuh. Alasannya, ada unsur besi pada ritsleting yang dapat mengganggu proses radiasi. 

Hari itu, waktu 30 menit rasanya seperti berjam-jam. Tanpa saya minta, pikiran saya melamunkan drama penyaliban Isa Almasih yang dipercaya oleh kaum Nasrani. Bukan pada sakit fisiknya, melainkan pada perasaan kesepian, ditinggalkan, dan dipermalukan.

Hidup Sehat 

Hari-hari selanjutnya, saya mulai terbiasa dengan proses radiasi. Perbekalan dalam tas saya bertambah dengan selendang bulu yak yang akan berfungsi sebagai selimut di ruang radiasi dan sepasang kaus kaki. Saya juga mulai menikmati proses menunggu panggilan radiasi sebagai “me time” karena saya bisa membaca buku atau menonton Netflix, meski sesekali terinterupsi koordinasi pekerjaan kantor. Keputusan kantor untuk menerapkan work from home sejak pertengahan Maret lalu membuat saya tidak perlu merasa bersalah karena tidak bisa mampir ke kantor selama hari-hari radiasi. 

Lima hari sekali selama proses radiasi, saya harus diambil darah dan berkonsultasi dengan dokter untuk memastikan kondisi fisik saya tetap stabil. Ini bukan hal mudah. Pada hari ke-10, hemoglobin saya anjlok, sehingga saya harus mendapat transfusi. Namun, untunglah, di hari-hari selanjutnya hingga hari terakhir, kondisi fisik saya stabil. Warna gosong di dada yang ditinggalkan sinar radiasi perlahan menghilang berselang sebulan setelah radiasi terakhir. 

“Harus minggu depan, ya, mulainya? Bukannya nunggu pandemi reda dulu?” 

Fransisca Ria Susanti

Mulai Agustus 2020, saya hanya perlu kontrol tiga bulan sekali. Hasil USG, mamografi, dan bone scan terakhir menunjukkan bahwa sel kanker dalam tubuh saya berhasil “ditidurkan.” Namun, saya tahu bahwa kanker bukanlah penyakit yang gampang disembuhkan. Seorang onkolog dari Amerika Serikat, Siddharta Mukherjee, dalam bukunya yang fenomenal: Kanker, Biografi Suatu Penyakit, menyebutkan sampai hari ini belum diketahui secara pasti penyebab kanker, dan karena itu, belum ada satu pun obat mujarab yang bisa menghilangkan kanker. Itu sebabnya, saya mencoba berdamai dengan kanker di tubuh saya dan menerimanya sebagai “kenormalan baru”. Saya hanya berharap ia bisa “tidur selamanya” dengan kombinasi terapi yang saya jalani: medis, pola makan food combining, olahraga, dan olah napas.

Saya tahu bahwa saat ini bukan hanya saya sebagai pasien kanker yang menempuh “kenormalan baru”. Pandemi membuat setiap orang di seluruh penjuru dunia menjalani “kenormalan baru”. Tapi, pengalaman mengajari saya bahwa satu-satunya cara untuk membuat kita tak tumbang pada “kenormalan baru” adalah menjaga pikiran, tubuh, dan jiwa kita tetap sehat. 

Jakarta, November 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top