Pandemi Ini Menguji Sistem Imunitas Saya

Berpengalaman lebih dari 25 tahun sebagai wartawan di Majalah FORUM Keadilan, Trust, Jurnal Nasional dan kabar3.com. Pernah menjabat sebagai Corporate Secretary di PT BUMN Hijau Lestari I, anak perusahaan Perhutani. Kini menjadi penulis profesional dan konsultan hukum.

2 Maret 2020. Berbagai berita di media massa mengabarkan temuan kasus pertama Covid-19 di Indonesia yang dirilis langsung oleh Presiden RI Joko Widodo. Sejak saat itu, info seputar Covid-19, baik di dalam negeri maupun di mancanegara, secara terus-menerus membanjiri berbagai kanal berita. 

Cerita tentang wabah penyakit jenis baru yang kemudian menjadi pandemi ini, mau tak mau, membuat sebagian besar masyarakat awam menjadi dicekam rasa panik, cemas, khawatir, dan takut akan penularan Covid-19. Tak terkecuali saya yang masih harus menjalani kontrol rutin setiap tiga bulan, pascatindakan medis kanker payudara—operasi dan kemoterapi—dua tahun yang lalu. 

Tidak bisa dimungkiri, situasi pandemi membuat para pejuang dan penyintas kanker payudara menjadi waswas, cemas, dan khawatir akan dampaknya. Terlebih, kanker adalah salah satu penyakit penyerta (komorbid) yang bisa memperparah kondisi pasien bila terkena Covid-19. 

Penyakit penyerta lainnya yang perlu menjadi perhatian, antara lain, diabetes melitus, autoimun seperti lupus/SLE, ginjal, jantung koroner, hipertensi, tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronis, dan penyakit yang berkaitan dengan geriatri. 

Bisa dibayangkan betapa cemasnya kelompok berisiko tersebut. Hal ini diperparah oleh situasi dan kondisi pelayanan kesehatan pada beberapa bulan awal setelah dirilisnya kasus pertama Covid-19. Mayoritas perhatian dan sumber daya difokuskan pada penanganan penyakit yang disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan menyerang sistem pernapasan ini. 

Dengan demikian, porsi perhatian dan pelayanan kesehatan bagi pasien penyakit lainnya menjadi berkurang. Apalagi kanker payudara, yang termasuk bukan penyakit menular dan dalam kelompok jenis kanker, biasanya kanker paru-paru lebih didahulukan. 

Akibatnya, tantangan yang dihadapi pada situasi seperti itu adalah berkurangnya sumber daya (tenaga medis) untuk pasien kanker payudara, keterlambatan dalam screening dan diagnosis, dan keterlambatan terapi. Pada masa awal pandemi itu, organisasi profesi kedokteran mengimbau para pasien untuk menunda dulu treatment medis bila tidak dalam keadaan darurat medis untuk jangka waktu sekitar 6-8 bulan. 

Karena orang yang berusia lanjut rentan terhadap virus corona, para dokter subspesialis yang umumnya berusia lanjut diminta untuk tidak praktik terlebih dulu. Sarana kesehatan yang lebih pada pencegahan dan deteksi dini ditutup sementara. 

Semua pembatasan tersebut membuat keterlambatan dalam penanganan kanker, dalam hal ini kanker payudara. Padahal, penanganan penyakit kanker sebenarnya tidak boleh ditunda mengingat perkembangan sel kanker yang pada umumnya sangat cepat. Celakanya lagi, ketika semua pihak berharap virus corona bisa segera menghilang, WHO malah kemudian mengumumkan bahwa virus corona akan bersama kita untuk jangka waktu yang lama, bahkan mungkin tidak akan pernah hilang. 

Protokol kesehatan pun digencarkan. Memakai masker dengan benar jika terpaksa ke luar rumah; menjaga jarak minimal 1,5 meter; mencuci tangan dengan sabun sesering mungkin di bawah air mengalir atau menggunakan hand sanitizer

Rasa panik, cemas, khawatir, dan waswas akan penularan virus corona sempat membuat masyarakat berbondong-bondong memborong masker serta vitamin C dan vitamin D. Akibatnya, stok masker dan vitamin tersebut sempat kosong di berbagai apotek. Saya mengalami sendiri betapa sulitnya mendapatkan “barang langka” tersebut di semua apotek di sekitar lokasi rumah. 

Walhasil, saya terpaksa membeli masker di online shop dengan harga empat kali lipat dari harga normal. Apa boleh buat, karena memang perlu bila harus ke luar rumah, misalnya jadwal kontrol ke rumah sakit.

Untuk daya tahan tubuh, berhubung stok vitamin dan suplemen habis, saya pun membuat sendiri ramuan minuman empon-empon, yang terdiri atas jahe, kunyit, temulawak, kencur, dan diberi perasan jeruk lemon. Banyak masyarakat melakukan hal serupa. 

Tren positif lainnya adalah berjemur matahari pagi. Banyak yang mendokumentasikannya di berbagai media sosial. Foto-foto selfie saat berjemur di bawah sinar matahari pagi menjadi trending topic. Rupanya, pandemi Covid-19 ini membawa berkah tersendiri. Masyarakat menjadi tergugah atau diingatkan kembali untuk menjalani hidup sehat. 

Situasi pandemi membuat para pejuang dan penyintas kanker payudara menjadi waswas, cemas, dan khawatir akan dampaknya.

Retno Kustiati

Namun, ketakutan akan terpapar virus corona masih menggelayut di benak. Adanya komorbiditas (penyakit penyerta) yang saya miliki, yakni kanker payudara makin meningkatkan potensi terjangkit Covid-19. Inilah yang saya takutkan. Apalagi bila datang waktunya untuk kontrol rutin ke RS Kanker Dharmais. 

Pada awal-awal maraknya isu Covid-19, banyak rekan sesama pejuang dan penyintas kanker payudara yang gamang untuk datang ke rumah sakit. Beberapa di antara mereka memilih tidak memenuhi jadwal tersebut.

Saya sempat dilanda kegalauan itu. Namun, setelah mendengar berbagai pertimbangan dari beberapa pihak yang mengerti masalah ini, akhirnya saya memutuskan untuk tetap mematuhi jadwal kontrol rutin. Dengan syarat: mematuhi secara ketat protokol kesehatan selama di rumah sakit. 

Apalagi setelah menyaksikan pemaparan dari dokter subspesialis bedah onkologi yang menangani saya, dr. Walta Gautama, Sp.B(K)Onk. dalam sebuah serial webinar yang diadakan Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) pada Juni 2020. Menurut dia, setelah memasuki era new normal, pasien kanker payudara tidak perlu takut, cemas, dan khawatir berlebihan. Segeralah memeriksakan diri ke rumah sakit dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Sebab, kini rumah sakit-rumah sakit pun telah membuat mekanisme yang aman bagi para pasien dengan memisahkan alur pelayanan antara pasien Covid-19 dan pasien penyakit lainnya. Terlebih-lebih bagi RS Kanker Dharmais yang merupakan rumah sakit kanker nasional, pasien yang dilayani spesifik pasien kanker. Dengan demikian, tidak menjadi rujukan untuk pasien Covid-19. 

Berdasarkan data RS Kanker Dharmais pada Mei 2020, kata dr. Walta, dari 1.500 pasien yang disaring melalui screening Covid-19 dasar, yang diduga orang tanpa gejala ketika dites swab ternyata hanya tujuh orang atau 0,46 persen yang positif. 

Jadi, pasien kanker jangan terlalu cemas atau stres dalam menghadapi pandemi ini. Sebab, stres dapat menyebabkan sistem imun melemah. “Penyakit kankernya itu sendiri saja sudah membuat stres si pasien, ketambahan lagi stres karena pandemi Covid-19. Jangan sampai ini terjadi,” ujar dr. Walta. Yang penting, dia mewanti-wanti, patuhi secara ketat protokol kesehatan. 

Alhamdulillah, jadi ringan ini pikiran. Akhirnya, saya menjalani kontrol rutin dengan hati yang tenang, namun tak mengurangi sikap kehati-hatian: pakai masker dengan benar, jaga jarak, dan rajin mencuci tangan atau memakai handrub yang disediakan di sejumlah titik di rumah sakit. 

Puji syukur pula kepada Allah SWT, hasil semua check-up medis menunjukkan hasil yang bagus. Ini semakin memompa semangat saya untuk menjemput sehat, dari pejuang kanker payudara (sebutan untuk pasien kanker yang menjalani treatment medis, antara lain, kontrol rutin selama lima tahun) menjadi penyintas kanker (pasien kanker yang telah menjalani treatment medis sampai 10 tahun).

Semoga saya diberi umur yang panjang agar bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama, minimal bagi orang-orang terkasih di sekeliling saya. Demikian doa yang selalu saya panjatkan. 

Hari demi hari saya isi dengan kegiatan dan pikiran yang positif. Menjalani pola hidup sehat dan melakukan kegiatan atau hobi yang bermanfaat, antara lain, menulis dan merawat tanaman. Kepedulian terhadap sesama—membantu semampu kita, mulai dari hal yang kecil—merupakan obat yang mujarab. 

Selain itu, mulai menyisir teman-teman yang punya kemampuan bergerak, kemudian melakukan diskusi virtual untuk saling tukar informasi dan merencanakan apa yang bisa kita perbuat, serta mengeksekusi rencana tersebut. Rasanya hidup jadi penuh gairah. 

Seiring dengan itu, kabar akan hadirnya vaksin Covid-19 membuat kita semua menjadi lega, terlepas dari masalah kontroversi tingkat keamanan dan efektivitasnya. Semua hal memang bisa saja terjadi karena pandemi corona ini merupakan sesuatu yang baru bagi kita semua. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan kondisi ini. Inilah era new normal atau era adaptasi perubahan baru. 

Jakarta, Desember 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top