Jurnalis Tempo Media ini biasa disapa Ndari. Lebih dari 22 tahun, perempuan yang suka jalan-jalan ini “keliling” Tempo, Tempo.co, Koran Tempo, dan kini Redaktur Pelaksana Tempo English.
Malam itu, perut mendadak berontak. Mual disertai nyeri yang sesekali mendera. Tak hanya sekali ke belakang. Berkali-kali. Hingga dini hari, isi perut terkuras habis. Beruntung, malam itu, sakit yang biasa berkunjung—dengan intensitas berbeda-beda—tak dibarengi sakit kepala.
Hingga pagi, masalah perut belum usai. Siang hari, mulai ada yang tak biasa. Badan menggigil. Ini tidak seperti penyakit biasanya. Karena memang kerap datang, saya mengenali gejalanya. Kalau ringan, pagi sudah pasti membaik. Tapi, kalau parah, bisa sampai beberapa hari, ditambah sakit kepala dan lemas badan.
Perdebatan keras terjadi di kepala: ke dokter…tidak… dokter…tidak.
Rasa jeri itu begitu kuat. Tentu pandemi gara-garanya. Jumlah orang yang positif Covid-19 saat itu, pertengahan April, terus meningkat, melampaui 5.000 orang. Mereka tersebar di banyak rumah sakit.
Dari apartemen sederhana tempat saya tinggal, di kawasan Kenari, Jakarta Pusat, raungan sirene ambulans kian sering terdengar, tak kenal waktu. Di sekitar apartemen memang berserak rumah sakit besar. Di antaranya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan RS St. Carolus yang jaraknya tak sampai 1,5 kilometer. Beberapa kilometer lebih jauh, ada RSPAD Gatot Soebroto dan RS Persahabatan. Semua menjadi rujukan pasien Covid-19. Rasanya cukup mencekam setiap kali ambulans wirawiri dengan “jeritannya”. Seolah-olah berteriak mengingatkan: virus corona ini tak main-main.
Saya khawatir membayangkan kemungkinan berbaur dengan orang-orang yang datang ke rumah sakit untuk berobat. Mungkin saja ada yang positif Covid-19, tapi belum ketahuan.
Apalagi berita-berita tentang petugas medis yang terkena Covid-19 pun berseliweran. Pada pertengahan April lalu itu, lebih dari 170 tenaga medis di Jakarta positif Covid-19. Saat itu juga heboh berita tentang 46 dokter di Rumah Sakit Kariadi di Semarang positif Covid-19 dan sedang menjalani isolasi.
Oh, Tuhan. Saya langsung membayangkan Bapak yang mempunyai jadwal ke RS Kariadi pada pertengahan Mei. Menepikan sakit sendiri, saya dan adik-adik serius membahas jadwal Bapak di grup WhatsApp keluarga.
“Minta tunda saja, Mbak,” kata salah satu adik. “Ngeri.” Apalagi Bapak sudah sepuh dan sakit kanker tiroid, sehingga rentan terhadap virus mematikan ini.
Saya didaulat untuk bertanya kepada dokter yang merawat Bapak bila waktu kontrol sudah dekat.
Kembali pikiran ke sakit sendiri. Saya memutuskan menunggu beberapa waktu. Lewat beberapa hari, mual dan nyeri perut menghilang. Tapi, tubuh yang lemas tak jua membaik. Beberapa kali juga merasa sedikit sesak napas.
Sempat tebersit kekhawatiran, bagaimana kalau ini Covid. Saya mencoba mengingat berbagai kemungkinan yang bisa menyebabkan saya terkena penyakit baru yang telah menyebar ke berbagai penjuru bumi ini. Tapi saya nyaris tak pernah ke luar rumah, kecuali ke bawah beli makanan atau ambil belanjaan.
Akhirnya, saya bertukar pesan singkat dengan kawan lama yang seorang dokter. “Takutnya tipus,” kata dokter itu, sambil menyarankan agar saya ke laboratorium. Ke laboratorium pun saya ragu. Alasannya sama: jeri! Bisa saja petugas tidak menyadari dirinya terjangkit virus dari orang-orang yang melakukan tes. Atau dia orang yang positif Covid-19 tapi tidak tahu? Pikiran-pikiran negatif berkelindan di kepala.
Kawan dokter tersebut merekomendasikan beberapa obat untuk sakit saya dan menyarankan membeli secara daring supaya tidak perlu keluar dari rumah. Sejak wabah meluas, segala layanan daring naik daun. Apalagi saya memang menghindari betul ke luar rumah. Untung, semua pekerjaan bisa dilakukan di rumah: editing, menulis, rapat, wawancara, dan lain-lain.
Teman-teman reporter yang tadinya masih banyak ke lapangan, belakangan lebih banyak bekerja dari rumah. Hanya, untuk tugas-tugas yang tak terelakkan mesti ke lapangan atau ke kantor, mereka tetap ke luar rumah. Saya yakin, banyak orang melakukan hal sama, beraktivitas di rumah, demi mencegah meluasnya wabah.
Saya merasa beruntung dengan segala kemudahan layanan daring tersebut. Obat diperoleh dari layanan Halodoc. Saya juga bisa tetap berbelanja beragam barang, termasuk sayur, buah, dan kebutuhan pokok, tanpa pergi ke luar rumah. Bergantian, saya memanfaatkan layanan Brambang, Sayurbox, dan Happyfresh.
Bila bosan pada makanan dari warung di bawah yang bisa diantar ke unit apartemen, layanan pembelian makanan online, Grab Food ataupun Go-Food, juga menjadi andalan. Jajanan dan makanan jualan teman-teman menjadi alternatif, cukup dengan berkirim pesan. Semua kebutuhan bisa terpenuhi dengan gampang tanpa perlu keluar dari rumah.
Tubuh tak kunjung membaik. Dua pekan dari pertama kali sakit, badan terasa lebih lemas. Rasa nyeri kembali muncul sesekali. Iseng menimbang badan, saya kaget setengah mati. Berat badan turun drastis hanya dalam dua pekan. Akhirnya, saya membuat keputusan penting: ke rumah sakit.
Keputusan itu dilanjutkan dengan berpikir keras untuk memilih rumah sakit yang “aman”. Itu artinya, tidak banyak kerumunan, serta layanan dan dokternya bagus. Saya memilih RSCM Kencana, yang memang dekat dari rumah. Saya membuat janji lewat telepon untuk menjadwalkan pemeriksaan pada hari berikutnya. Saya mengontak sahabat yang kebetulan tetangga di apartemen, Mardiyah Chamim, untuk menemani kalau dia tidak ada keperluan.
Menjelang siang, saya dan Mardiyah ke RSCM. Deg-degan. Rasanya seperti uji nyali. Kami sama-sama tak pernah keluar dari apartemen sejak ada anjuran tak ke luar rumah dan ada kebijakan bekerja dari rumah pada pertengahan Maret lalu.
Masker, cek! Baju dengan lengan sampai pergelangan tangan, cek! Hand sanitizer, cek! Tisu basah dan kering, cek!
Purwani Diyah Prabandari
Cek persiapan. Masker, cek! Baju dengan lengan sampai pergelangan tangan, cek! Hand sanitizer, cek! Tisu basah dan kering, cek! Untung, sahabat lain, Selma Widi Hayati, meninggalkan tiga lembar masker medis di rumah sewaktu berkunjung sebelum pandemi menyerang. Saat itu, mencari masker medis seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Demikian juga hand sanitizer. Keduanya menjadi barang langka. Kalaupun ada, harganya selangit. Masker yang biasanya Rp50.000 sekotak, menjadi di atas Rp250.000. Bahkan ada yang lebih dari Rp1.000.000. Untuk memasuki area uji nyali, yakni rumah sakit, saya merasa lebih percaya diri mengenakan masker medis.
Tiba di pintu lobi rumah sakit, petugas keamanan yang mengenakan masker mencegat kami untuk cek suhu tubuh. Kami juga diminta mengisi formulir tentang kondisi badan. Lolos, saya langsung ambil nomor urut pendaftaran di lobi. Seperti yang saya bayangkan, suasana saat itu sepi. Hanya ada beberapa orang duduk di kursi yang biasa digunakan untuk pengantre pendaftaran. Mungkin banyak orang seperti saya, gamang ke rumah sakit. Mereka yang datang, seperti saya juga, terpaksa. Seorang petugas menyatakan memang pasien yang datang jauh lebih sedikit dibanding sebelum wabah meluas.
Baru duduk, sudah dipanggil. Kami menuju Klinik Digestif di lantai 3. Ruang tunggu di sini pun tak ramai orang. Ada beberapa anak muda duduk di kursi yang tidak ada tanda silang, tanda tak boleh diduduki. Protokol jaga jarak dijalankan.
Tak lama kemudian, saya diminta masuk ke ruangan dokter. Dokter pun tak beratribut biasa. Baju dokter tertutup rapat dengan lengan panjang. Sementara itu, di muka, selain mengenakan masker, dokter menggunakan kacamata khusus. Saya sampai tak mengenali muka dokter. Tetapi, saya bersyukur dia melakukan itu.
Dokter menyarankan tindakan kolonoskopi (pemeriksaan untuk melihat adanya gangguan atau kelainan pada usus besar dan rektum), prosedur yang saya terima. Karena merasa kerap merasakan perut bermasalah, saya ingin tahu ada masalah apa.
Rupanya, sampar menambah panjang prosedur perawatan. Tentu juga menambah biaya. Bagaimana tidak? Saya mesti melakukan dua hal yang biasanya tidak diperlukan, yakni rontgen toraks dan rapid test. Saya menerimanya. Juga karena saya ingin lebih tahu ihwal kondisi badan.
Lega. “Tidak ada masalah,” kata dokter, membaca hasil rontgen. Demikian pula dengan rapid test yang menunjukkan hasil tak reaktif. Kolonoskopi bisa dilakukan dan berjalan lancar. Hasilnya, ada infeksi, tapi gampang sembuh. Tidak ditemukan masalah lain yang serius. Alhamdulillah.
Rasa syukur kembali saya dapat begitu menerima pesan singkat dari RS Kariadi. Jadwal Bapak ditunda.
“Alhamdulillah,” begitu respons adik-adik di layar telepon seluler.
Tapi, rupanya uji nyali di rumah sakit belum usai. Suatu petang menjelang akhir Juni, saya mendapat kabar dari Klaten, Jawa Tengah, bahwa kondisi Bapak kritis. Bergegas, saya nekat pulang dengan menyewa mobil. Saya tidak punya kemewahan waktu untuk mengurus surat izin keluar-masuk (SIKM) untuk ke luar Jakarta. Saya kembali wira-wiri ke rumah sakit.
Kali ini, hilir-mudik di Rumah Sakit Islam, tempat Bapak dirawat, tak lagi semenakutkan seperti saat bolak-balik ke RSCM Kencana. Meski setiap hari, kadang siang kadang malam, saya menemani Bapak. Rumah sakit meniadakan jam kunjung pasien. Sementara itu, yang menemani pasien dibatasi maksimal dua orang. Di sekitaran ruang-ruang rawat inap terasa lengang. Hanya, di klinik tetap ramai. Tetapi, semua mesti menjalani cek suhu tubuh dan mengisi formulir kesehatan.
“Dulu sempat sepi, sekarang nyaris kembali normal,” kata beberapa petugas rumah sakit. Selain orang takut ke rumah sakit, rumah sakit sendiri mengurangi jumlah pasien yang ditangani setiap harinya.
Setelah 11 hari, Bapak boleh pulang. Tetapi, sentuhansentuhan saya dengan rumah sakit masih belum menghilang. Jadwal Bapak yang tertunda untuk bertemu dengan dokter di RS Sardjito di Yogyakarta mesti segera dijalani. Pada Juli lalu, bersama adik dan ipar, saya pun mengantar Bapak ke Instalasi Kanker Terpadu Tulip di RS Sardjito.
Oh, Tuhan. Apa yang saya takutkan ada di sini. Pasien dan pengantar ramai sekali. Meski kursi diberi tanda jarak duduk, melihat orang begitu banyak membuat jeri. Ada yang duduk di kursi dan kursi roda, ada yang berdiri, ada juga yang kelesotan di lantai. Apalagi kami lumayan lama di keriuhan tersebut karena mesti antre untuk beberapa keperluan, seperti pengecekan tensi, ketemu dokter, hingga antre mengambil obat. Meski telah mengenakan masker dan berbekal cairan pembersih tangan, juga tisu basah, tetap tebersit kegamangan.
Terima kasih, Tuhan, kami baik-baik saja. Dalam kunjungan-kunjungan ke Sardjito berikutnya yang cukup intens, saya dan adik-adik sudah lebih santai. Pasrah, namun tetap waspada. Masker, cek! Hand sanitizer, cek! Jaga jarak, cek!
Klaten, Agustus 2020