Ibu dari dua anak, Imaji dan Raphael. Bekerja sebagai produser/koordinator lapangan/jurnalis TV independen. Meliput isu politik dan ekonomi selama Covid-19 sejak Maret 2020 untuk beberapa saluran TV internasional.
Saat anjuran stay at home dan work from home digalakkan pemerintah pada Maret lalu, kedua anak saya juga ikut galak. Mereka sadar bahwa sebagai jurnalis, ibunya kerap blusukan ke mana-mana untuk meliput. Terlebih anak sulung saya, Imaji, yang tengah belajar di Inggris dan memutuskan tidak balik ke Indonesia. Imaji melaporkan lockdown di UK pada 24 Maret 2020. Tidak ada yang boleh keluar dari rumah. Dia memarahi saya panjang-lebar dalam bahasa gado-gado karena melakukan donor darah. “Jangan terlalu optimistis bahwa Mimi tidak akan kena! You never know. Anyone can get it. Semua sudah diperingatkan buat social distancing, tapi Mimi malah ke manamana. Siapa tahu Mimi carrier yang tidak ada gejala dan justru menularkan ke orang lain. You cannot help everyone, Mi. Prioritize yourself now, please!” Saya mengiyakan karena poin-poin dia memang benar, namun tak berjanji akan mematuhi. Rasa ingin tahu saya jauh lebih besar ketimbang rasa takut.
Rentetan larangan Imaji masih tersimpan rapi di WhatsApp saya. Namun, pesan satu ini (kategori “bukan larangan”) benar-benar bikin jantung mau copot. Tertanggal 5 Maret 2020, sehari sebelum ultahnya ke-20, ia menulis, “Mimi, I cannot stop coughing! Kalau aku corona bagaimana?” Saya menjawab, “Kamu demam?” Imaji: “Enggak. Aku sudah minum obat batuk, Strepsil tablet, dan berkumur air garam.” “Berarti bukan kena corona. Semoga hanya flu biasa. Kalau ada matahari, coba anakku berjemur. Pakai masker dan jaga jarak, ya!” Kalimat yang lebih ditujukan untuk menenangkan diri sendiri sebetulnya. Saat itu sudah terkonfirmasi 87 kasus positif Covid-19 di UK. Tak ada gunanya membuat anakku yang jauh dari keluarga semakin panik dan sedih. Imaji pun sempat mengutarakan kekhawatiran akan terkena imbas Covid-19 berupa perlakuan rasis secara random yang terjadi di jalan terhadap pelajar berwajah Oriental-Asia. Mereka dipukul dan disiram air tanpa sebab. Pesan lain yang saya terima, misalnya pada Sabtu, 14 Maret 2020, foto rak-rak kosong di toko Waitrose. Rupanya itu rak tisu dan makanan kaleng. Bukan hanya di Waitrose stok jenis barang ini kosong. Orang panik dan berbelanja dalam skala besar. Rupanya beda negara, beda yang diserbu pembeli. Stok yang habis di pasaran Jakarta di antaranya alkohol, hand sanitizer, masker, vitamin C, dan multivitamin.
Ketidakpatuhan pada nasihat baik anak wedok membawa saya bersinggungan dengan hidup Ibu Darsi, 41 tahun, ibu tunggal dua anak usia sekolah yang berjualan kopi keliling. Ia tinggal di sebuah kompleks bedeng kayu sangat sederhana berlantai dua. Saya dan kru disambut oleh bau wangi deterjen yang menguar dari deretan jemuran pakaian bercampur aroma ikan asin yang tengah digoreng, riuh rendah tawa bocah, suara kaki naik-turun tangga kayu sempit, bunyi musik dangdut entah dari kamar sebelah mana, dan raung bising knalpot sepeda motor yang tengah disetel.
Ada sekitar 40 kamar petak ukuran 3 x 3 meter atasbawah yang dihuni oleh buruh di sekitar Cilincing beserta anak-anaknya. Jaga jarak manalah bisa, terlalu banyak jumlah manusia dalam satu area. Saya bisa melihat senyum lebar mereka karena tak seorang pun memakai masker. Dan tak elok rasanya menolak jabat tangan hangat mereka. Protokol kesehatan yang dianjurkan sungguh tak berlaku di sini.
Darsi menyewa kamar petak seharga Rp300.000 per bulan. Kamarnya tertata rapi, ada mesin jahit listrik dekat pintu yang dipakai untuk membuat masker yang dijajakan seharga Rp5.000. Sejak dipecat tanpa pesangon dari pabrik garmen pada 2019, Darsi berjualan kopi keliling dengan sepeda motor yang sudah dimodifikasi. Jok belakang digantungi rak kecil berisi untaian berbagai minuman kemasan instan, dari kopi hingga bubuk sirup rasa buah. Tersedia juga wadah isi potongan es batu, termos air panas, dan setumpuk gelas plastik. Pembeli dagangannya adalah para pengemudi ojek daring yang pada masa pandemi tak lagi bisa kongko dan berkumpul sembari menunggu penumpang. Alhasil, pendapatannya menurun drastis. “Saya pernah bekerja dari pagi sampai sore, cuma laku tiga gelas minuman seharga Rp12.000. Belum lagi bentrok sama Satpol PP karena kan enggak boleh berkerumun. Saya takut terpapar virus, tapi terpaksa harus terus bekerja demi kebutuhan hidup. Kalau saya diam di rumah saja, kami bisa busung lapar. Ini the power of kepepet,” ujarnya. Senyum tetap menghiasi wajah Darsi saat menceritakan kesulitannya. Putus asa tak ada dalam kamusnya. When life gives you lemon, make lemonade! (Ketika hidup memberimu lemon, buatlah limun!).
Kondisi pandemi adalah perjuangan hidup atau mati mencari setetes darah.
Aji Yahuti
Perempuan asal Solo Sragen ini datang menjajal hidup di Ibu Kota sebagai buruh pabrik garmen pada 1998 ketika krisis moneter tengah parah menghantam seantero negeri. Kerusuhan di mana-mana. Ia ingat berada di Perumahan Gading Griya, Jakarta Utara, ketika pecah bentrokan massa antara penjarah yang hendak menyerbu Indomaret dan penghalau bersenjata parang panjang. Kedua grup sama beringasnya. Darsi yang ketakutan bersembunyi di salah satu ruko. Dampak kerusuhan seperti inilah yang juga dikhawatirkan Darsi terjadi kembali bila kehidupan ekonomi rakyat terpuruk berkepanjangan akibat Covid-19.
Saya juga bertemu dengan remaja bernama Fahmi, 15 tahun, dan Betranio, 20 tahun, penderita talasemia. Sejak situasi pandemi diumumkan, masyarakat takut ke rumah sakit. Bahkan para pendonor reguler pun berpikir ulang bila harus ke RS. Akibatnya, ketersediaan darah sangat langka, sementara penderita talasemia memerlukan transfusi darah untuk tetap hidup. Kondisi pandemi adalah perjuangan hidup atau mati mencari setetes darah. Alasan inilah yang membuat saya memutuskan mendonorkan darah di Unit Transfusi Darah di RS Fatmawati Jakarta Selatan. Toh, sudah tanggung keluar ke sana-ke mari, jadi sekalian saja donor darah, pikir saya.
Fahmi hobi belajar, tak pernah absen mengikuti pelajaran sekolah lewat telepon seluler ibunya, bahkan saat antre menunggu pendonor darah B+ di ruang Unit Transfusi Darah. Mata pelajaran favoritnya: bahasa Inggris. Ia sempat menyanyikan lagu Wiz Khalifa, See You Again, sebagai ungkapan kerinduan bersekolah dan bertemu dengan teman-temannya: It’s been a long day without you, my friend. And I’ll tell you all about it when I see you again. We’ve come a long way from where we began. Oh I’ll tell you all about it when I see you again. When I see you again….
Ah, ah, atmosfer rumah sakit! Dinding-dinding putih, aroma kuat disinfektan, wajah lelah pasien menunggu giliran, dokter dan perawat wira-wiri menggunakan baju hazmat (hazardous material), masker, dan face shield. Dokter Adib Khumaidi, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Emergensi Indonesia, berbagi kisah tentang “the power of kepepet” tenaga kesehatan. Beliau dan saya sama sedih dan prihatin sekali akan kelangkaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan (nakes), sementara “perang” masih panjang. Korban dari pihak nakes sudah dan masih terus berjatuhan. Bagi saya pribadi, para nakes adalah pahlawan sesungguhnya di pertempuran melawan siluman Covid-19.
Dokter Adib memperagakan cara mendaur ulang masker N95 agar bisa dipakai beberapa kali: masker direndam dalam cairan alkohol di wadah plastik tertutup, dikocok-kocok, kemudian dijemur selama beberapa menit. Di lain kesempatan, perawat Nicku Ganda Pambudi dari ICU RS Tarakan, salah satu rumah sakit rujukan Covid-19, menceritakan betapa trenyuh hatinya mendampingi mereka yang sekarat, mendengarkan keluhkesah rindu kesepian di saat terakhir tanpa kehadiran keluarga. Nicku sendiri memutuskan tidak pulang ke rumah selama hampir sebulan karena khawatir membawa virus ke anak-istrinya. Ia menginap di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Timur.
Hotel Grand Cempaka merupakan milik BUMD DKI Jakarta, PT Jakarta Tourisindo (Jaktour), yang sejak 26 Maret 2020 dialihfungsikan untuk menampung sekitar 400 nakes dari beberapa RS rujukan Covid-19 di Jakarta. “The power of kepepet” pemda DKI Jakarta yang patut diacungi jempol. Selain fasilitas kamar yang nyaman, makanan bergizi 24 jam, ada pula bus antar-jemput dari RS tempat nakes bertugas ke hotel. Lift hotel dilengkapi tusuk gigi kayu sekali pakai guna menghindari tombol-tombolnya ditekan langsung dengan jari telanjang. Para nakes memilih tinggal di sini karena khawatir menularkan virus ke anggota keluarga, tidak tersedia ruang/kamar pribadi di rumah mereka, dan penolakan dari tetangga. Direktur Jaktour Novita Dewi berkisah tentang suami seorang perawat yang setiap hari menjemput botol berisi pompaan air susu ibu (ASI) bagi bayi mereka yang baru lahir.
Saya pun sempat tercengang ketika mampir ke Tanah Abang. Lengangnya bak kuburan. Agak-agak seram gimana gitu! Seumur-umur meliput Tanah Abang, baru kali ini saya lihat di sana kosong dan bersih tanpa pedagang di kios-kios ataupun kaki lima, tanpa macet kendaraan, tanpa nyaring peluit tukang parkir. Mirip adegan kota mati di film-film horor (minus musik berintonasi muram). Hanya pemulung sekali-dua lewat membawa gerobak kosong menyapa kami yang tengah syuting. Ada spanduk oranye besar di pintu masuk Blok A & B bertuliskan: “Operasional Tanah Abang Blok A, B, F, dan G untuk Sementara Waktu Ditunda/Dihentikan Sampai Tanggap Darurat Covid-19 Berakhir. Mengikuti Arahan Gubernur DKI Jakarta Nomor 361 Tahun 2020 tentang Status Tanggap Darurat Bencana Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta”.
Namun, pada pengujung hari saat liputan usai, menelepon Ibunda tercinta menjadi pengadem gundah hati. Doa beliau saya percayai sebagai tameng pelindung tersakti ke mana pun kaki melangkah. Selama beberapa bulan ke depan, saya tak berani sowan ke rumah mereka mengingat kondisi paru-paru Ibu yang lemah. Baru pada saat Lebaran, saya merasa aman mengunjungi Ibu dan Bapak. Betapa gembira mereka melihat anak mbalelo-nya ini masih sehat. Buktinya: entah berapa piring ketupat, opor, dan sayur Lebaran masuk ke perut saya!
Jakarta, Agustus 2020