Sabar Itu Butuh Kesabaran

Perempuan 49 tahun ini aktif menggarap program penguatan masyarakat sipil di beberapa provinsi di Indonesia. Ia berpengalaman sekitar 20 tahun dalam organisasi non-pemerintah yang bekerja pada isu perburuhan, perempuan, kelompok rentan dan minoritas, serta penguatan masyarakat sipil dan pemerintah lokal di Hong Kong, Timor Leste, dan Indonesia. 

16 Maret 2020. Empat hari setelah aku harus bekerja dari rumah di Angkasa Indah, Wali Kota Jayapura mengumumkan semua organisasi perangkat daerah (OPD) dan sekolah-sekolah diliburkan, terhitung 17 Maret hingga akhir bulan, dan berlanjut hingga Juni. Masyarakat dibatasi beraktivitas di luar rumah, hanya selama 12 jam. Sementara itu, Gubernur Papua sempat memberlakukan sistem kerja setengah hari untuk staf OPD dan menginstruksikan anak didik untuk belajar dari rumah. 

22 Maret. Datanglah berita yang tak diharapkan. Ada lima kasus positif Covid-19 di Provinsi Papua, yang tersebar di Jayapura, Biak, dan Merauke. Mulailah, pembicaraan di sekitarku menunjukkan kekhawatiran akan pertambahan angka positif Covid-19, baik di grup WhatsApp maupun obrolan santai. Kata-kata lockdown mulai terdengar, dari Bupati Mimika Eltinus Omaleng hingga status-status di Facebook teman-teman di Jayapura. 

24 Maret. Kasak-kusuk lockdown pun menjadi kenyataan. Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Papua dan bupati/wali kota menyepakati ditutupnya bandar udara, pelabuhan, dan pos lintas batas negara untuk mobilitas manusia selama 14 hari, terhitung mulai 26 Maret hingga 9 April. Keputusan pemerintah Papua pun diikuti Papua Barat, mendahului daerah-daerah lain di Indonesia. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sempat tidak setuju terhadap keputusan ini. 

Setiap hari otakku berpikir ekstrakeras: jam ke luar rumah yang dibatasi dan suasana di sekitar perumahan di Angkasa Indah yang sepi setelah pukul 6 sore, bekerja online dari rumah, dan memastikan semua anggota staf betul-betul bekerja dari rumah, juga penyesuaian mekanisme kerja dari tatap muka ke metode daring dengan mitra kerja di pemerintah daerah Papua dan Papua Barat. Bisa dibayangkan, mitra-mitra kerja kami tentu tidak biasa bekerja secara daring menggunakan Google Hangouts, Teams, ataupun Zoom. Semuanya berkecamuk di kepala. 

Belum lagi ketambahan kontrak kerjaku dengan sebuah lembaga non-pemerintah yang akan berakhir 2 April 2020 dan belum pastinya kontrak kerja dengan lembaga lain di Jakarta. Kondisi kesehatan ibu yang tinggal di Jawa Timur yang turun-naik juga membuat ketar-ketir

Kabar yang menambah galau rupanya masih berlanjut. Penutupan bandara diperpanjang hingga 23 April. Sementara itu, jam kegiatan di luar rumah dipangkas, hanya boleh dari pukul 6 pagi hingga pukul 2 siang. Pada Mei pun demikian. Orang-orang mulai kasak-kusuk mengenai dampak penutupan bandara serta pelabuhan di Papua dan Papua Barat. Bagaimana dengan mereka yang sakit dan membutuhkan fasilitas di luar provinsi? Apalagi santer terdengar kabar bahwa Gubernur Papua sendiri telah diterbangkan ke Jakarta dengan Batik Air karena kondisi kesehatannya. Telur, lemon, dan bawang bombai sempat menghilang dari pasar. Kegalauanku kian buruk. 

4 Juni. Pukul 5 pagi, aku menerima informasi mengenai hasil pertemuan Forkompimda, Pemerintah Provinsi Papua, dan para bupati yang menyepakati adanya relaksasi transportasi udara dan laut. Lumayan, ada keajaiban. Saking semangatnya, keesokan harinya, pukul 08.00, aku sudah antre di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) di Dok II untuk melakukan tes polymerase chain reaction (PCR). Lebih dari 100 orang antre untuk tes ini. “Rapid test dulu, baru nanti PCR,” kata petugas yang menjawab pertanyaanku, di bawah tenda Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di halaman Labkesda. Riuh. \

Kudengar percakapan di sebelahku, beberapa orang dari Bank Mandiri akan melakukan tes PCR karena mereka sudah melakukan rapid test. Oh, benar. Jadi, rapid test dulu, mendapat hasil, lalu PCR, seperti yang dijelaskan petugas tadi, pikirku. Hampir dua jam aku di Labkesda hingga aku mendapat hasil rapid test: non-reaktif. Gratis. 

“Untuk PCR test, Ibu ke dinas kesehatan dulu karena yang mengurusi Gugus Tugas Covid-19,” kata petugas yang sejak awal sudah menjelaskan, setelah ikut rapid test, baru boleh PCR. Lah, informasinya berubah lagi? Bukankah dinas kesehatan bekerja dari rumah, pikirku. 

Kubawa hasil tes cepat untuk membeli tiket di kantor Garuda. Nihil. Garuda belum bisa menjual tiket karena belum mendapat persetujuan terbang dari pemerintah daerah. Hanguslah hasil rapid test-ku. 

Aku pun mulai mengurus surat izin keluar-masuk (SIKM) Jakarta. Minta tolong teman untuk mendapat surat dari Ketua RT (rukun tetangga) di Cawang dan dari kantorku. Nah, untuk mengurus SIKM, ternyata butuh tes PCR. 

Pada saat itu, pemerintah Papua pun mulai mengabarkan bahwa per 8 Juni, kapal laut Ciremai mulai bisa mengangkut penumpang, sementara Garuda Indonesia per 10 Juni dan Batik Air per 12 Juni. Tapi, semua hanya sekali dalam seminggu. Kemudian terbit surat lagi yang menjadwalkan Garuda Indonesia dan Batik Air akan terbang empat kali, mulai 10 Juni hingga 19 Juni saja. 

Petunjuk teknis yang ditandatangani Plt. Sekretaris Daerah, M. Ridwan Rumasukun, memperjelas syarat-syarat bagi mereka yang hendak keluar-masuk Papua. Aku serta para calon penumpang Garuda dan Batik Air hanya bisa terbang menuju ke Jakarta. PCR atau rapid test di Labkesda berlaku tujuh hari sejak tanggal diterbitkan. Kemudian, kami harus mengisi electronic-Health Alert Card (e-HAC) Kementerian Kesehatan dan harus mendapatkan surat persetujuan izin keluar dari Gubernur Papua. 

Pertanyaan kian banyak di kepala. Bagaimana bisa ikut tes PCR untuk bisa ke Jakarta? Hasil rapid test di provinsi lain hanya berlaku tiga hari, sementara di Papua berlaku tujuh hari? Di mana kami harus mengurus surat izin keluar Papua dari kantor Gubernur? 

Kutelepon RS Provita, kutanya dokter di Puskesmas Tanjung Ria, semua jawabannya sama: tidak memberikan pelayanan PCR test. Di akun Instagram Kominfo Jayapura pun aku menanyakan di mana kami bisa melakukan PCR test. Kominfo menyarankanku agar ke puskesmas dan rumah sakit. Setelah kujelaskan informasi yang kupunya, Kominfo Jayapura tak merespons lagi. 

10 Juni. Akhirnya, tanpa informasi yang jelas, aku dan human resource officer kantorku menuju kantor Gubernur. Alamak, antrean berjubel di depan pintu di ruangan sebelah ruang sekretaris daerah. Tak berjarak. Semua mau masuk, mengurus surat izin keluar Papua. 

Kujumpai rekan kerjaku yang sudah di depan pintu dan menunggu giliran untuk masuk. Setelah sekitar satu jam menunggu antrean di luar ruangan, kami dipersilakan masuk. Duduklah kami bersama pengantre lainnya selama 30 menit. Tak berjarak, tak ada hand sanitizer, tak ada fasilitas cuci tangan. Urusan di depan petugas yang menerima berkas-berkasku hanya perlu satu menit. Surat izin keluar Papua dijanjikan selesai pada 11 Juni. 

11 Juni. Aku melakukan rapid test kedua di Labkesda. Pengantre tetap berjubel. Aku harus menunggu 30 menit dan berebut dengan yang lain untuk bisa mendapatkan formulir rapid test. Kami betul-betul berebut untuk mendapatkannya. 

Kuperhatikan semua petugas berpakaian lengkap sesuai dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Sungguh luar biasa, batinku. Di tengah cuaca Jayapura yang panas ini, mereka dengan sabar melayani satu per satu pemohon rapid test

13 Juni. Aku menyambangi lagi kantor perwakilan Garuda. Mereka tidak mau melayani pembelian tiket tanpa surat izin keluar Papua. Garuda tidak bersedia memprioritaskan kursi untukku, meski aku anggota Garuda Miles Platinum Elite Plus. 

Seorang bapak dengan antusiasnya mengatakan bahwa dia menunggu surat izin keluar itu sampai pukul 9 malam pada Jumat, 12 Juni. “Bukankah kantor Sekda tutup jam 3 sore, Pak,” tanyaku. “Pokoknya, saya tunggui sampai jam 9 malam, Mbak,” katanya. Selalu ada keajaiban, meski itu tidak terjadi kepadaku, pikirku dengan senyum manyun.

Keputusan pemerintah Papua pun diikuti Papua Barat, mendahului daerah-daerah lain di Indonesia. 

Selma Widhi Hayati

Ternyata surat izin keluar dari sekretaris daerah baru bisa diambil Senin, 15 Juni, pukul 13.00. Bukan Kamis, 11 Juni. Itu pun drama. Staf di kantor sekretaris daerah memintaku untuk cek di dinas perhubungan. Sesampainya di sana, mereka menginformasikan bahwa surat-surat itu sudah dikembalikan ke sekretaris daerah. “Sabaaaaar, mbak’e,” kataku kepada diriku sendiri.

Melihat banyaknya pemohon rapid test di Labkesda yang bisa mencapai 200 orang setiap hari, aku mulai khawatir akan ketersediaan tiket. Traveloka adalah jawabannya. Tanpa perlu surat izin keluar, tanpa hasil rapid test. 

17 Juni. Aku kembali melakukan rapid test karena hasil tes pada 11 Juni akan kedaluwarsa untuk di Bandara Soekarno-Hatta dan Adi Soemarmo. Aku telah memutuskan untuk pulang ke Jawa Timur lewat Solo. Tes kali ketiga ini aku lakukan di RS Provita. Tidak enak, tiga kali rapid test dengan gratis di Labkesda. Biaya rapid test Rp 450 ribu. Untunglah, untuk transit di Cengkareng tidak perlu tes PCR, tapi harus tinggal di wilayah bandara. 

Semua persyaratan akhirnya lengkap. “Kalau besok kita diberhentikan oleh polisi di jalan karena sudah di jalan sebelum pukul 06.00, ya, kita jelaskan saja,” kata Om Anton yang akan mengantarku ke bandara.

18 Juni 2020. Akhirnya, pukul 05.00, kami menembus Angkasa, Jayapura, dan Sentani. Banyak deretan kursi dan meja di halaman luar bandara. Tanpa bertanya-tanya, aku langsung menuju pintu masuk keberangkatan. Tidak ada petugas yang mengarahkan para penumpang. Tidak seperti biasanya.

Sampai di depan meja check in, petugas Batik Air menyarankan agar kami menjaga jarak. Begitu sampai giliranku, petugas memintaku kembali ke meja di beranda depan bandara untuk mendapat pengesahan semua dokumenku: hasil rapid test, surat izin keluar dari sekretaris daerah, dan e-HAC. Diantar petugas Batik Air, aku keluar dan mendatangi satu per satu meja petugas setelah suhu badanku memenuhi syarat untuk terbang. Semua dokumenku pun distempel dan diparaf. Aku kembali ke meja check in. Lancar. 

“Tolong siapkan hasil rapid test dan surat keterangan diri bermeterai!” petugas Batik Air berteriak kepada kami sebelum naik pesawat. 

Surat keterangan diri? Apa ini? Aku intip mereka yang membawa surat keterangan bermeterai. Ah, rupanya surat itu surat keterangan sehat bagi mereka yang tidak melakukan rapid test. Oalah, kok aku susah-susah rapid test tiga kali, sementara penumpang lain cuma bikin surat bermeterai. 

“Silakan langsung menuju pesawat,” kata petugas, seolaholah menepis kejengkelanku. Aku pun melangkah ringan dan senyum-senyum sendiri menuju pesawat. Dalam hati, the journey begins, sesuai dengan moto Batik Air. Pulang kampung. 

Madiun, September 2020

PUBLISHED BY Puan Indonesia
Go Top