Koordinator Program di LSM Internasional yang berbasis di Belgia. Sebelumnya, dia adalah Deputi untuk Divisi Wanita Transgender di GWL-INA, sebuah LSM yang berfokus pada tanggapan HIV untuk populasi kunci di Indonesia. Ia juga berpengalaman bekerja di United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Asia Pacific Transgender Network (APTN) di Bangkok, dan juga Program Officer untuk Hivos Regional Office of South East Asia.
Maret, April, Mei 2020. Inilah tiga bulan bersejarah bagi hidup saya.
Sepanjang periode itu, hati saya penuh gejolak. Maret, saya menjalani operasi transisi medis di Thailand. Sepanjang hidup, saya memimpikan perubahan ini, secara fisik, dari laki-laki menjadi perempuan. Luka-luka bekas operasi belum sembuh benar, tapi yang terpenting transisi fisik sudah saya jalani.
Bermalam-malam saya tak nyenyak tidur. Hati saya terus bergejolak. Saya belum memiliki identitas resmi sebagai perempuan yang diakui di mata hukum. Eksistensi saya sebagai perempuan belum sepenuhnya saya genggam. Saya masih harus berjuang.
Persoalannya, ketika itu, dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dijalankan di Jakarta. Berita dan media sosial semua dipenuhi kekhawatiran. Angka penularan dan korban meninggal akibat Covid-19 setiap hari bertambah. Di tengah situasi serba tak menentu seperti ini, saya bergulat dengan rentetan pertanyaan. Apakah ini saat yang tepat mengurus legalitas identitas sebagai perempuan? Bagaimana jika nanti saya justru terinfeksi Covid-19 dalam proses pengurusan identitas ini?
Dua puluh delapan tahun saya menantikan momen transisi ini, hampir sepanjang umur saya. Apakah harus menunggu pandemi berlalu? Tapi, kapan pandemi akan berakhir? Jika tidak saya lakukan sekarang, kapan lagi? Mumpung keberanian saya masih menggumpal kuat setelah transisi medis di Thailand itu. Namun, keraguan juga muncul. Dengan kondisi tubuh yang belum sepenuhnya fit akibat operasi, risiko terinfeksi Covid-19 lebih besar. Nyawa taruhannya.
Saya berpikir. Merenung. Bukankah, tidak mendapat pengakuan secara legal bahwa saya adalah seorang perempuan sama saja rasanya seperti mati? Jadi, pilihannya ada dua. Pilihan pertama, terus hidup tanpa pengakuan identitas dan terhindar dari Covid-19. Pilihan kedua, menjalani proses transisi legal dengan menghadapi risiko pandemi.
Akhirnya, saya memilih menjalani proses transisi legal di pengadilan. Begitu pentingnya pengakuan ini untuk saya, meski risikonya adalah saya tertular penyakit yang bisa merenggut nyawa saya. Apalah artinya saya hidup kalau tidak diakui sebagai perempuan. Kalaupun saya tertular dan mati, setidaknya saya mati dalam perjuangan untuk diakui sebagai perempuan. Sesuatu yang menurut saya lebih sejalan dengan nilai dalam hidup saya.
Rabu, 1 April 2020, saya menelepon kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Saya bertanya apakah layanan permohonan kasus perdata tetap tersedia pada masa pandemi. Jawabannya, iya. Kantor PN Jakarta Timur buka setengah hari. Hati saya bersorak. Tak membuang waktu, esok paginya, 2 April 2020, saya mendaftarkan diri sebagai pemohon perubahan identitas di PN Jakarta Timur.
Transisi, bagi kebanyakan transpuan, adalah hal yang sangat penting. Ada tiga aspek transisi, yakni transisi sosial, medis, dan legal. Tak ada keharusan seorang transgender menjalani ketiga proses transisi itu sekaligus. Tiap individu bisa melakukannya dalam aspek yang berbeda, bergantung pada pengalaman, nilai-nilai yang dianut, akses terhadap informasi, dan ketersediaan sumber daya. Saya telah menjalani transisi sosial dan medis, lalu ingin melengkapinya dengan aspek transisi legal.
Negara kita tidak mengenal konsep identitas berdasarkan gender. Pengakuan identitas harus didasari apa yang tertulis dalam kartu identitas. Prosedur perubahan jenis kelamin di kartu identitas bisa dilakukan dengan mengajukan permohonan resmi di pengadilan. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman bagaimana menjalani transisi legal pada masa pandemi, sebuah hal yang sama sekali tidak mudah.
Langkah pertama sudah saya ambil. Mendaftarkan kasus perdata pergantian jenis kelamin di PN Jakarta Timur. Menurut petugas, jadwal sidang akan disampaikan melalui surat elektronik. Namun, saya tunggu hari demi hari, e-mail yang dimaksudkan tak kunjung datang. Deg-degan, harap-harap cemas menanti kepastian jadwal.
Saya mencari jadwal sidang di laman PK Jakarta Timur, mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan. Daftar dokumen yang harus saya siapkan banyak juga. Akhirnya, titik terang datang. Yang saya tunggu-tunggu pun tiba. Saya dijadwalkan sidang pada akhir April 2020.
Ada dua orang saksi yang harus saya siapkan untuk persidangan. Hakim akan melakukan verifikasi dan mengkonfirmasi data kedua saksi ini. Salah satu saksi disarankan datang dari anggota keluarga pemohon. Di sini saya paham betapa pentingnya peran keluarga dalam sistem kenegaraan kita.
Sidang pertama. Saya sangat gugup. Materi persidangan yang sangat personal buat saya ternyata dijalankan secara terbuka. Siapa pun bisa masuk ke ruang sidang dan mendengarkan kisah hidup saya. Saya kuatkan hati menjalani sidang.
Pada sidang pertama ini, hakim bertanya mengapa saya harus mengajukan permohonan pergantian jenis kelamin? Apakah ada salah tulis di akta kelahiran? Apakah pemohon mengalami kelainan genital, sehingga harus mengajukan permohonan pergantian jenis kelamin? Berbagai pertanyaan diajukan. Tampak bahwa hakim, juga yang hadir di ruangan itu, tak pernah mendapat permohonan seperti yang saya ajukan.
Perlahan saya menjelaskan alasan saya. “Lebih ke soal psikologis, Pak Hakim,” saya berkata. Wajah Pak Hakim dan orang-orang yang hadir di ruangan itu bertambah bingung. Saya sadar, permohonan ini adalah soal yang masih tabu di negeri ini. Sangat sedikit transgender yang menempuh jalan transisi legal seperti saya. Lebih banyak yang memilih hidup tanpa pengakuan identitas sesuai dengan kata hati, baik karena benar-benar pilihan, karena kurangnya informasi, maupun karena stigma dan diskriminasi yang masih melekat kuat bagi kalangan komunitas trans.
Tiba giliran memeriksa kelengkapan dokumen. Pak Hakim meminta semua dokumen dan surat yang berbahasa Inggris diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Saya ditanya kapan proses translasi bisa selesai? Tanpa ragu saya menyanggupi, “Satu minggu, Pak Hakim.” Jawaban ini membuat Pak Hakim tercengang dan bertanya, “Kenapa Saudara buru-buru? Bukankah sekarang sedang PSBB?”
Saya paham, di tengah situasi pandemi, persoalan identitas mungkin dianggap bukan prioritas oleh banyak orang. Namun, buat saya, pengakuan ini sangat esensial. Lebih cepat lebih baik.
Satu pekan berlalu. Dokumen sudah beres. Saya menjalani sidang kedua. Lagi-lagi, saya harus meyakinkan majelis mengenai keperempuanan saya. Kakak saya, yang hadir sebagai saksi, dihujani pertanyaan. “Apakah Saudara pernah melihat kelamin adik Saudara? Apakah ada gangguan? Bagaimana keluarga tahu kalau pemohon adalah perempuan?”
Pak Hakim kemudian menyatakan perlunya pendapat ahli. Saya sudah menyiapkan semuanya. Surat dari psikiater, endokrinolog atau ahli hormon, dokter bedah, semua tersedia. Akhirnya, Pak Hakim berkata, “Uji psikologi sudah, tes hormon sudah, operasi bedah sudah. Berarti tinggal aspek hukumnya saja, ya?” Pertanyaan ini segera saya jawab dengan jawaban yakin dan penuh harapan, “Iya, Pak Hakim.”
Proses persidangan yang membuat saya “makan hati” pun berakhir. Pak Hakim menyetujui dan menyatakan bahwa dalam dua minggu lagi akan ada penetapan pengadilan. Saya tidak perlu lagi ke pengadilan mengingat penerapan PSBB diperketat.
Saya bersyukur, tapi juga waswas. Apakah benar penetapan dari pengadilan akan tepat waktu sesuai dengan yang dijanjikan atau tidak.
Pada 13 Mei 2020, penetapan status jenis kelamin telah resmi berhasil saya dapatkan. Akhirnya, perjuangan meraih pengakuan sebagai perempuan telah selesai. Tiga proses transisi sudah saya jalani: transisi sosial, transisi medis, dan transisi legal. Nama saya resmi berganti dari Kevin Halim menjadi Stephanie Kevin Halim.
Saya paham, di tengah situasi pandemi, persoalan identitas mungkin dianggap bukan prioritas oleh banyak orang.
Stephanie Kevin Halim
Kendati prosesnya tidak mengenakkan, saya bersyukur majelis hakim yang baik berkenan mengabulkan permohonan saya. Kondisi PSBB juga membuat orang-orang yang hadir di sidang terbuka relatif lebih sedikit, sehingga saya tidak perlu terlalu banyak bersinggungan dengan orang asing. Betapa tidak nyaman menyaksikan banyak orang yang tidak kita kenal mendengar kisah personal yang sebenarnya cukup traumatis untuk diingat.
Sebagai penutup, harus saya tegaskan bahwa transisi ini pilihan saya sebagai individu, karena ada dorongan dari dalam diri yang tak bisa saya bendung. Saya tidak ingin langkah saya diartikan bahwa semua transpuan harus menjalani proses transisi legal untuk diakui sebagai perempuan.
Transpuan adalah perempuan. Pengakuan legal tidak menentukan nilai keperempuanan seorang transpuan. Transpuan adalah perempuan. Nilainya sama, haknya sama, untuk dihargai sebagaimana layaknya perempuan.
Jakarta, Agustus 2020