Pegiat Hak Asasi Manusia ini sudah sepuluh tahun menjadi komisioner Komnas Perempuan dan menjabat ketua pada periode 2010-2014. Ia lulus S-2 dari Universitas Leiden dan hampir menyelesaikan studi doktoral di Universitas Amsterdam, Belanda. Kini, ia menjadi konsultan di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Melihat suami masuk rumah, saya bingung, juga sedih. Masker yang dia kenakan kelihatan begitu lusuh. Talinya telah compang-camping. Hanya masker itu satu-satunya yang dia punya.
Lebih sedih lagi, saat itu, saya merasa dia seperti sosok manusia berbahaya yang biasa ada di film-film. Sosok yang sangat berisiko bila disentuh. “Sedih, sedih, gimana ini, enggak bisa meluk.” Perasaan campur aduk. Padahal sudah tiga pekan kami tidak bertemu. Rindu pun mendera, sangat.
Suami yang baru pulang dari Jambi pun harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari di rumah kami di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Di sinilah revolusi relasi, kompleksitas eksistensial, kegulanaan, dan kecanggungan dimulai, tak terbayang sebelumnya. Tentu penyebabnya adalah kehadiran makhluk ketiga yang tak terlihat, virus corona.
Adegan dan perasaan pada 29 Maret 2020 itu hanyalah awal sebuah babak baru dalam hubungan di rumah kami saat itu. Tak terbayangkan sebelumnya, kami, suami-istri, harus membuang hal-hal berharga walau sederhana. Misalnya, kami punya tradisi memeluk sebelum dan sesudah bangun tidur. Tibatiba, kami hanya bisa merentangkan tangan seakan-akan mau mendekap, tapi dari jarak 2 meter.
Kami, yang biasa nyaman berdekatan, walau kadang masing-masing hening dalam kerja, kini mesti membuat jarak. Saat duduk berjemur, kami otomatis seperti posisi parkir mobil, berjajar paralel dengan jarak 2 meter. Kami hanya bisa melihat tengkuk. Rasanya aneh.
Belum lagi birokrasi keamanan lainnya, seperti pisah kamar mandi. Masuk ke kamar juga diatur agar memudahkan pembersihan gagang pintu. Kebetulan, kamar kami ada dua pintu. Suami dari pintu samping, saya lewat pintu tengah. Baju yang bekas dipakai dengan ketat saya pisahkan saat dicuci.
Dalam ritual ngopi pagi yang selama 28 tahun perkawinan kami berbagi cangkir, tiba-tiba kami harus bercerai cangkir. Alat makan-minum pun harus dipisah saat mencuci. Itu membuat tak nyaman dan mungkin menyinggung perasaan kalau kami tidak rasional. Vinda, si bungsu yang sering kami panggil Genduk, tak jarang bilang: “Cuci piringnya enggak usah dipisah, kan corona larut oleh sabun.”
Tak percaya begitu saja, saya cek ke dokter ahli virologi. Menurut dia, lebih aman dipisah. Saya harus sering mengecek info dari sumber online yang akurat kalau mau di-share ke keluarga agar tidak diprotes Vikra, si sulung yang biasa kami panggil dengan Nak Nganang. Dia cermat dalam membaca informasi dan selalu harus akurat.
Saya menjadi lebih cerewet. “Ayah, sudah cuci tangan serius belum?” Entah berapa kali mantra itu saya rapalkan. Sebab, biasanya, walau ia sudah cuci tangan, sisa aroma sambal atau makanan lain masih melekat di jari-jarinya. Dulu, itu tak menjadi masalah. Tetapi, pada saat pandemi, cuci tangan bukan sekadar ritual, tapi harus benar-benar membersihkan karena, bagi saya, ini soal nyawa bersama.
Konstruksi gender kita masih tidak adil, cenderung rewel pada perempuan yang harus cermat dan bersih, sementara lakilaki banyak dimaklumi kalau agak jorok, teledor, dan bandel. Belum lagi soal kedisiplinan memakai masker, yang saya tahu betul berat baginya, karena dia tidak tahan gerah dan ribet.
Saat itu masker langka. Jadi, saya membuat masker sendiri yang nyaman meski banyak kendala. Saya memaksakan diri menjahit, meski tangan saya seperti terpaku besi tajam karena sedang sakit cikungunya. Untuk mengatasi ketiadaan tali masker karena toko-toko tutup, saya menggunting pinggiran celana dalam atau tank top buat tali masker. Tentu ini khusus untuk keluarga. Genduk sempat tidak mau memakai masker tersebut karena tali yang dianggap “tak bermartabat”. Tapi, nyawa lebih penting dibanding asal-usul tali masker tersebut.
Bagaimana menjalani masa isolasi agar aman tapi tetap menyenangkan juga menjadi tantangan kami. Sebab, beredar informasi bahwa kebahagiaan adalah sumber imunitas. Saya pun memutar otak. Saya membuat corner untuk suami di teras belakang rumah kami. Saya memasang semacam garis kuning, seolah-olah menjadi tempat pingitan imajinatif. Di sana ada meja-kursi pojok yang nyaman buat segala hal.
Batas-batas imajinatif juga kami terapkan di meja makan selama 14 hari masa isolasi suami. Kami menghentikan tradisi makan bersama di meja makan, diubah menjadi makan prasmanan dan duduk berjauhan.
Saya tiba-tiba merasa menjadi satpam, menjadi orang “jahat” yang merenggut kebebasan yang biasanya mewarnai rumah kami.
Yuniyanti Chuzaifah
Kami juga berusaha keras menghindari bicara di dekat meja makan. Beberapa kali wajah suami menunjukkan ketidakbahagiaannya saat saya mengingatkan: “Yah, please, jangan bicara dekat makanan kalau enggak pakai masker.” Padahal dia hanya bertanya ke si bungsu nama masakan yang kebetulan hari itu Ayam Karahi Pakistan. Saya tiba-tiba merasa menjadi satpam, menjadi orang “jahat” yang merenggut kebebasan yang biasanya mewarnai rumah kami. Berulang kali mengingatkan atau diingatkan itu kadang bisa santai, tapi tak jarang tegang dan lelah.
Tapi, bukan hanya saya yang berubah. Suami juga tibatiba menjadi pengontrol yang “galak”. Misalnya, saat saya mau belanja ke warung depan rumah, dia akan memperhatikan muka saya, sudah bermasker atau belum. Dia juga sangat ketat untuk urusan ke luar rumah. Padahal, kadang saya harus mencari bahan kerajinan untuk meluruh jenuh atau sekadar mengantar Genduk mencari bahan masakan yang tidak ada di warung sekitar.
Mungkin barang-barang tersebut bukan barang kebutuhan primer. Tetapi, sumber kebahagiaan itu menjadi kebutuhan primer saat kami “terkurung” selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Suami tak jarang mencegah saya dan Genduk, kecuali untuk keperluan yang benar-benar mendesak. Padahal, aslinya, suami adalah penganut kemerdekaan sejati.
Pernah saat saya hamil, dia tidak mengekang saya ikut demonstrasi. Dia hanya minta ke jurnalis anak buahnya untuk turut memantau saya. Atau saat saya mendapat beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke benua lain. Dia justru mendorong dan menenangkan saya yang galau. Dia menegaskan akan menjaga anak-anak selama saya sekolah. “Kesempatan tak akan datang dua kali,” ujarnya saat itu.
Sementara itu, untuk mempertahankan kesehatan, Vinda berjuang menjaga nutrisi dengan memasak makanan yang variatif. Dia juga rajin membuat jejamuan dari empon-empon: jahe, kunyit, temulawak, dan lain-lain. Kami sudah seperti pasukan yang maju ke medan tempur dengan perbekalan dan kecermatan pengamanan yang berlapis.
Dia juga memikirkan logistik. “Bu, kita enggak mau belanja seperti orang-orang?” Saat itu, di Jakarta, terjadi kepanikan berbelanja besar-besaran untuk persediaan. Dengan tegas saya bilang: “Ndak usah, Nak, kita harus waras. Cukup Mei 1998 saja yang ada rush.” Di tengah krisis, anak-anak tetap harus diajak menjaga etika dan solidaritas, termasuk diajak menyumbang dengan gaji awal yang seharusnya dia nikmati.
Siksaan lain dengan anak yang hanya dua, Nak Nganang dengan rasional kami dorong tetap di Yogyakarta karena Jakarta memerah dan kesiapan medis masih tergagap. Kami menghitung rasio korban dan layanan, juga memantau pengamanan kampung-kampung. Menurut kami, Yogyakarta lebih siap. Kami mengirim masker buatan sendiri yang nyaman dan aman, vitamin, madu, buah, hingga jajanan biar lepas jenuh di kosnya. “Di mana-mana diportal,” ujarnya dengan nada tak bahagia. Kami paham, tapi dalam hati kecil bicara: semoga ini cara Tuhan melindunginya.
Meski fisik terpasung di dalam rumah, sebagai pegiat hak asasi perempuan, tak mungkin saya anteng merenung. Ruang media sosial adalah ruang mahaberharga untuk melakukan sesuatu, terutama membela orang-orang yang diduga terkena Covid-19 agar tidak mendapat stigma dan dijaga privacy-nya.
Saya rajin mengingatkan publik untuk peka moral dan tidak panik berbelanja. Saya menyeru sensitivitas masjid agar suara toa tidak mengganggu istirahat sejak pukul 3 pagi yang dapat menurunkan imunitas tubuh buat sebagian orang, juga “menegur” Gubernur DKI Jakarta yang membatasi transportasi umum hingga penumpang berjejal mengerikan di stasiun atau halte bus. Menulis di media massa dan berbagi pengalaman di berbagai webinar juga menjadi “wakaf” pengetahuan saya.
Di tengah masa pandemi, upaya solidaritas, walau kecil, harus dirawat sekeluarga. Kami mengirim tanda sayang, walau tak seberapa, kepada beberapa lansia. Di antaranya korban kerusuhan Mei 1998 di Klender yang dilompati bantuan dan penyintas tragedi 1965 yang kurus dan sedang sakit. Ada juga beberapa kado kecil buat para penyintas tersebut yang berulang tahun, “Terima kasih anakku,” demikian pesan lewat WhatsApp dari salah satu lansia korban tragedi 1965 yang bikin haru.
Untuk para perempuan pembela HAM di dekat rumah, kami mendorong Genduk mengirim jamu dan masakannya. Sebagian dilengkapi masker yang saya buat sendiri, tentu dengan tali yang lebih baik. Saat ada gerakan “Masker for All” oleh Empu, kami membongkar kain dan mengirim beberapa helai untuk mendukung gerakan tersebut, yang dikirim ke lembaga pemasyarakatan, pulau terpencil, hingga wilayah pelosok. Saya, yang hobi membuat aksesori untuk pemulihan diri, membuat anting dari cuilan akhir tenun warna alam dari Empu untuk dikembalikan kepada mereka. Saya menulis pesan: “Sila digunakan untuk fundraising atau dihadiahkan kepada mereka yang berjasa atau di frontline.”
Pandemi membuat rumah kita banyak pagar, tapi kekuatan kasih tak akan pernah mengenal pagar.
Sawangan, 10 Juli 2020