Alumnus Michigan State University di bidang curriculum and T\ teaching ini bergerak di bidang pendidikan sejak 1980 di LBH Jakarta di bagian non-litigasi, LBH Jakarta. Ia adalah perintis Perguruan Al Izhar, Jakarta Selatan. Sejak 2006, Henny menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru. Sejak 2010, ia berfokus pada isu kebinekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
“Kami, lansia, tidak pernah diberi informasi jelas. Semua orang berfokus pada apa yang tidak boleh, larangan ini dan itu. Lupa memberi tahu apa yang masih bisa kami lakukan,” begitu komentar Saparinah Sadli, saat saya meneleponnya, beberapa bulan lalu.
Bu Sap, dialah ikon gerakan perempuan di negeri ini, mentor dan teman diskusi yang selalu mencerahkan. Bu Sap sosok yang luar biasa gigih. Usianya 94 tahun. Pandangannya selalu jernih, seperti oasis sejuk di tengah gurun. Itu sebabnya, kami senang bertandang ke rumah Bu Sap.
Sebelum masa pandemi, kami bertemu dua pekan sekali, membahas berbagai persoalan atau sekadar melepas kangen. Pandemi mengubah segalanya. Seruan #dirumahsaja bergaung sejak akhir Februari 2020. Saya tak lagi bertandang ke rumah Bu Sap.
Tiga bulan tanpa bertemu dengan Bu Sap, rasanya tak tertahankan. Akhirnya, dengan berbagai persiapan, termasuk konsultasi dengan seorang dokter ahli kesehatan masyarakat, kami membuat janji temu.
Sore itu, Jumat, 29 Mei 2020, saya bertamu ke rumah Bu Sap. Dua puluh menit perjalanan terasa lama. Saya sangat bersemangat, menantikan pertemuan yang tertunda berbulan-bulan.
Pukul 4 sore. Ibu Saparinah Sadli duduk rapi di teras depan rumah. Tawa lebar menyambut saya. Berbunga rasa hati melihat keadaan Bu Sap yang sehat dan cerah.
Sebuah kursi disiapkan dekat tangga masuk teras. Jarak di antara dua kursi itu sekitar 3 meter, sangat aman. Kami samasama mengenakan masker dan berfoto dengan gembira. Ya, itu momen bersejarah untuk kami berdua. Inilah pertama kali saya ke luar rumah sejak akhir Februari. Ini juga pertama kalinya Bu Sap menerima tamu setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ditetapkan pada Maret lalu.
Tidak banyak yang kami bicarakan sore itu. Saya tak ingin kata-kata mengganggu perjumpaan kami. Terasa betapa berharganya waktu. Berpelukan, cium pipi kiri-kanan, adalah kemewahan yang entah sudah lama berlalu. Kini, dengan masker dan jaga jarak, kami sudah cukup bahagia bertukar pandang dan senyum.
Tepat 30 menit, saya pamit. Tak ada sentuhan fisik. Kami saling menjaga. Ada rasa haru yang terus menguat, dari berpamitan, perjalanan pulang, dan terus mengendap hingga kini.
Benar apa kata Bu Sap. Selama masa pandemi, belum terdengar informasi khusus untuk lansia. Sedangkan pergerakan telah terjadi di mana-mana. Saya coba mencari di Google, dengan kata kunci lansia dan pandemi. Nyatanya, tak ada informasi yang berguna buat lansia. Berita masih didominasi larangan. Padahal, ternyata pertemuan dimungkinkan, meski perlu penerapan protokol Covid-19 dengan disiplin ketat.
Kenyataannya, sampai saat ini belum terdengar upaya serius pemerintah untuk menggunakan potensi lansia.
Henny Supolo Sitepu
Kita tak sadar, ada perkara urgen dan berharga yang tidak atau belum cukup kita bagikan kepada lansia, yakni informasi tentang hal-hal yang boleh dilakukan. Karena PSBB berpotensi merenggut kebutuhan dasar lansia: bersosialisasi dan berinteraksi.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Merujuk pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, jumlah lansia di Indonesia sebanyak 24 juta orang dari total 265 juta penduduk saat itu. Pada 2020, menurut Kementerian Kesehatan RI, usia 60 tahun ke atas diperkirakan sebanyak 9,9 persen dari total populasi dan meningkat menjadi 13,82 persen pada 2030.
Jumlah lansia amat besar dan penting diperhitungkan sebagai potensi bangsa. Kenyataannya, sampai saat ini belum terdengar upaya serius pemerintah untuk menggunakan potensi lansia. Komunitas lansia biasanya kelompok masyarakat beranggotakan sesama lansia juga, yang mencari jalan sendiri agar bisa hidup sehat dan aktif.
Dalam buku Sahabat Lansia Tangguh (Saparinah Sadli dan Evita Djaman, 2020) disebutkan bahwa potensi seseorang tidak berhenti pada usia tertentu. Pengetahuan bidang neuroscience menunjukkan bahwa kemampuan otak tetap berkembang dan berlangsung seumur hidup bila diberi stimulasi terarah.
Bersosialisasi dan berinteraksi, Bu Sap paham betul itulah kebutuhan penting lansia. Sebulan sekali, sekitar 60 sahabat lansia tangguh (SLT) berkumpul di sebuah rumah di Kebayoran Baru. Komunitas yang berawal dari enam peserta berkursi roda ini melakukan senam otak, dansa, menyanyi, serta berdiskusi dengan mengundang pembicara. Tak jarang juga mereka sekadar mengobrol ringan. “Tujuan pertemuan adalah bersosialisasi, berinteraksi, dan belajar bersama teman, lama maupun baru,” kata Saparinah Sadli sebagai pendiri SLT.
“Ada teman saya yang demensia. Wajahnya selalu gembira melihat aktivitas orang-orang di kiri dan kanan. Kondisinya tak memungkinkan dia mengikuti kegiatan. Dia hanya mengamati,” kata Bu Sap melanjutkan, “Lansia membutuhkan interaksi sosial, apa pun bentuknya.”
Ada lagi lansia kenalan Bu Sap, yang selalu menantikan datangnya pagi. Ia menikmati kesempatan berbelanja ke pasar, naik kendaraan umum. Kebahagiaannya ada di perjalanan, juga di pasar, saat ia bertemu banyak orang. Kata Bu Sap, “Itulah bentuk sosialisasi yang dia perlukan!”
Cerita Bu Sap tentang lansia sangat saya ingat. Teman saya pernah ditegur karena selalu waswas bila ibunya pergi. “Ibumu butuh bertemu dengan orang baru, jangan dilaranglarang!” Teman saya khawatir, ibunya letih lalu sakit. Ia lupa, sebagaimana dirinya juga, ibunya membutuhkan kenalan baru dan belajar melalui interaksi dengan orang lain.
Beragam, mandiri, berdaya. Saya bersyukur dikelilingi lansia yang penuh semangat. Selain Bu Sap, ada Hartini Mochtar, adik ibu saya, yang berusia 90 tahun pada 1 Juni 2020.
Saat pandemi diumumkan, Bu Hartini sedang menyiapkan acara ulang tahun. “Saya sedang menyiapkan syukuran usia saya yang ke-90. Begitu ada pengumuman pandemi, semua persiapan saya batalkan,” kata Hartini Mochtar, yang tinggal di Surabaya.
Hartini sosok yang penuh karya. Ketua Badan Arbitrase Nasional Perwakilan Surabaya ini tetap menjalankan sidang di tengah pandemi. Tak mungkin berbagai perkara dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian. Tantangannya adalah mencari cara agar proses sidang arbitrase berjalan aman.
Persidangan arbitrase harus dilakukan secara tertutup. Karena itu, persidangan via video conference bukan pilihan. Persidangan harus dilakukan secara offline, dengan protokol dan standar ketat Covid-19. Jumlah orang yang hadir di ruangan sangat dibatasi, hanya benar-benar untuk yang berkaitan langsung dengan perkara.
Tante saya ini, Bu Hartini, tak segan belajar hal baru sebagai sarana berbagi ilmu. Ia belajar memakai aplikasi Zoom. Webinar BANI Surabaya “Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase di Tengah Pandemi Covid-19” menarik 500 peserta dari berbagai kota besar di Indonesia. Ia pembicara kuncinya. Beberapa webinar lanjutan dilaksanakan untuk melayani permintaan masyarakat yang membutuhkan. Tante saya tak lupa bergembira. Hidup bukan sekadar urusan pekerjaan, tapi juga berinteraksi dengan sahabat. Bu Hartini rutin melatih gerakan yang diajarkan guru line dance Komunitas Sanggar Mutiara yang didirikannya. Itulah olahraganya. “Bergembira, bergerak, sekaligus melatih koordinasi otak,” kata Bu Hartini suatu kali.
Ada lagi sosok perempuan yang semangatnya selalu menjadi inspirasi. Dialah Ibu Nancy Ginting, yang pada 4 November 2020 genap berusia 100 tahun, sahabat yang tinggal di Tomang, Jakarta Barat. Sudah seabad usianya, tapi mantan guru privat ini tetap bersemangat dan gembira.
“Selama PSBB saya membaca, menonton National Geography, dan berkebun,” katanya. Semua dilakukan di atas kursi rodanya. Membaca dan menonton tayangan NatGeo membuatnya seakanakan terus berada dalam hobinya: berjalan-jalan menikmati alam. Tahun lalu, Ibu Nancy ditemani Monica, putrinya, mengunjungi Goa Maria di Tritis Gunung Kidul. Perjalanan sulit, namun ia mengenangnya sebagai pencapaian. “Walaupun perlu ditandu untuk mencapai mulut goa,” kata Bu Nancy.
Kreativitas Mbak Las, asisten rumah tangganya, membuat Ibu Nancy mempunyai banyak kegiatan. Misalnya, ia menyemai bibit bayam. Dengan tekun menempatkan bibit di tengah beberapa busa persegi empat. Kebun adalah bagian rumah yang selalu mendapat sentuhan dan perhatian Bu Nancy.
Peran Mbak Las sebagai teman bicara aktif merupakan stimulan penting. “Bahkan menonton televisi pun bisa seru karena Mbak Las terus menggali pikiran Mami,” kata Monica. Kenangan atas peristiwa, tempat, dan sosok-sosok sahabat menjadi energi bagi Bu Nancy.
Sayangnya, pandemi membuat kunjungan keluarga dan kerabat jadi terhambat. Pernah dicoba semua anak, menantu, dan cucu berkumpul menggunakan aplikasi Zoom. Namun, banyaknya wajah dan kebisingan suara beberapa orang sekaligus terlalu membingungkan bagi Bu Nancy. Walhasil, atas usulan Mbak Las, Monica menghentikan pemakaian Zoom untuk pertemuan keluarga.
Saparinah Sadli, Hartini Mochtar, dan Nancy Ginting, ketiganya adalah sosok yang menghangatkan hati. Keteguhan, semangat, dan keinginan berbagi yang mereka miliki selalu menerbitkan haru.
Saya pun lansia kini. Usia saya 66 tahun. Begitu pun, saya belum pernah belajar mengenai lansia dan perkembangannya. Padahal saya sudah berada di sana. Lansia tidak dibicarakan atau menjadi topik diskusi yang pernah saya hadiri. Bahkan di dunia pendidikan sekalipun. Sementara itu, pada sistem kekeluargaan kita, peran lansia sebagai bagian “alam keluarga” pada tiga pusat pendidikan konsep Ki Hadjar Dewantara, pasti besar.
Percakapan dan bacaan yang diberikan Ibu Saparinah Sadli-lah yang membuka mata saya. Belum semua selesai saya baca, tapi rasanya saya menangkap dasar-dasarnya. Salah satunya “lansia itu beragam, mandiri, dan berdaya”. Lansia bukan angka statistik pada Susenas semata.
Tiga perempuan lansia ini memperlihatkan kekuatan masing-masing. Mereka merupakan bukti bahwa, sama seperti kelompok usia lain, lansia juga beragam. Keteguhan mereka menggunakan waktu sebaik yang mereka bisa merupakan cermin kemandirian dan keberdayaan. Seize the day, nikmati, dan gunakan waktu yang ada. Sebaik mungkin.
Jakarta, September 2020